stupa

Makna Membangun Stupa

Stupa berasal dari sebuah kata dalam bahasa sansekerta stūpa yang secara harfiah berarti tumpukan atau gundukan. Kata tumpukan disini mengacu pada tumpukan tanah atau batu-batu yang dibangun untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk menyimpan abu atau relik dari seorang suci yang telah meninggal [5].

Pada zaman Sang Buddha, terdapat dua kisah tentang pembangunan stupa yang berkaitan dengan Sang Buddha sendiri dan juga salah satu murid terdekatnya yaitu Arya Sariputra [1, 3]. Seperti tertulis dalam Mahaparinibbana Sutta, Arya Ananda pernah bertanya pada Sang Buddha, ‘Apa yang harus dilakukannya terhadap tubuh Sang Buddha setelah beliau parinirwana?’ Sang Buddha menjawab dengan berkata bahwa abu kremasi tubuhnya haruslah disimpan dalam sebuah stupa yang dibangun pada perempatan jalan; seperti ketika memperingati meninggalnya seorang Raja Penguasa Dunia (Cakravartin). Setelah Sang Buddha wafat, relik tubuh beliau dibagi menjadi delapan bagian dan dibagikan secara merata kepada delapan suku yang pada saat itu berdiam di India Utara. Masing-masing suku tersebut kemudian membangun sebuah stupa untuk menyimpan relik Sang Buddha.

Siswa Sang Buddha yang lain, Arya Sariputra, setelah meninggal, abu kremasi dan reliknya disimpan di dalam rumah seorang perumah tangga, Anatapindaka yang ingin menghormatinya. Namun pada suatu hari, umat awam itu pergi keluar rumah dengan mengunci pintu sehingga murid-murid dari Arya Sariputra tidak dapat menghormati relik tersebut. Ketika hal ini diberitahukan kepada Sang Buddha, maka beliau mengatakan bahwa suatu bangunan harus didirikan untuk menyimpan relik Arya Sariputra, sehingga semua orang dapat dengan bebas melakukan penghormatan terhadap relik tersebut.

Tujuan menyimpan objek-objek tertentu atau relik yang berkaitan dengan orang-orang suci yang telah meninggal di dalam suatu bangunan yang religius, baik secara utuh ataupun hanya sebagian saja, kemungkinan berkaitan dengan keyakinan bahwa ada hubungan yang tidak terpisahkan antara seseorang dengan bagian-bagian yang menyusun tubuhnya. Hal ini berlaku bahkan setelah orang tersebut meninggal, dan secara fisik berpisah dengan bagian-bagian tubuhnya tersebut. Dengan demikian, dikatakan bahwa seseorang akan merasakan kehadiran orang suci yang dihormatinya, di depan sebuah stupa yang dibangun untuk memperingati orang suci tersebut dan menyimpan reliknya.

Sang Buddha sendiri menganggap bahwa stupa adalah objek yang religius dan merupakan Tubuh Dharmanya (Dharmakaya). Beliau juga mengatakan bahwa Arahat, Bodhisatwa, dan Tahtagatha, patut didirikan stupa, dan siapapun yang melakukan hal ini dan memahaminya, akan mendapatkan kemajuan dalam batinnya. Dengan demikian, stupa juga sangat bermanfaat bagi orang hidup yang menghormatinya [1].

Semasa pemerintahan Raja Asoka di India, banyak stupa dibangun bukan untuk memperingati orang suci yang telah meninggal, tetapi untuk menandakan kedudukan agama Buddha sebagai agama utama di India [5]. Demikian pula di Asia Timur dan Asia Tenggara, banyak stupa didirikan sebagai bukti pengakuan terhadap agama Buddha di wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian, adanya stupa juga dapat menjadi petunjuk seberapa luas ajaran Buddha tersebar di suatu wilayah. Dikisahkan juga bahwa guru buddhis yang sangat terkenal, Arya Nagarjuna, pernah membangun banyak stupa berukuran kecil yang mengelilingi Vihara Mahabodhi tempat dimana Buddha Shakyamuni mencapai Pencerahan, sebagai upaya untuk menghindari amukan gajah liar yang sering datang dari kawasan hutan yang berdekatan dengan vihara tersebut.

Stupa merupakan salah satu dari objek religius terpenting, khususnya untuk Buddhisme aliran Vajrayana. Objek ini, dalam berbagai aspek ajaran Buddha, mempunyai tingkatan makna yang berbeda pula. Makna dari terjemahan kata stupa dalam bahasa Tibet adalah ‘wadah persembahan’, dan dalam tradisi Tibet rupang Buddha, kitab suci, dan stupa secara berturut-turut merupakan simbol religius dari tubuh, ucapan, dan pikiran Buddha. Makna yang terdalam dari stupa adalah bahwa objek ini merupakan simbol dari Tubuh Dharma Buddha [1, 3].

Di India, praktek mendirikan stupa merupakan suatu tradisi yang berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sebelum dikenalnya cara membuat rupang yang merupakan pengaruh dari kebudayaan Yunani. Praktek mendirikan stupa ini telah dilakukan bahkan sebelum zaman Sang Buddha, dan dipertahankan sampai sekarang.

Dalam perkembangannya, stupa menjadi sebuah monumen Buddhis yang berkaitan dengan peringatan suatu kejadian penting atau berhubungan dengan objek-objek religius tertentu. Banyak dari para guru besar buddhis, membangun stupa pada masa hidupnya, karena mengetahui kebajikan besar yang dapat diraih. Seiring jalannya waktu, makin banyak objek-objek dan nilai-nilai religius dimasukkan dan dikaitkan dengan stupa sehingga monumen ini terkadang diartikan sebagai miniatur dan seluruh alam semesta. Stupa juga dikatakan sebagai bentuk lebih konvensional dari mandala. Saat ini, suatu bangungan stupa dengan atau tanpa relik, atau bahkan lukisan stupa pada sebuah dinding atau tempat lainnya, dianggap sebagai suatu objek religius dan layak untuk dihormati, setara halnya dengan penghormatan terhadap kitab-kitab atau rupang suci [5].

Struktur dan Isi Stupa

Pada dasarnya, sebuah stupa terdiri atas sebuah kubah (dome), yang diletakan di atas sebuah alas (base) yang ditinggikan dalam satu atau dua tingkat, dan di atas kubah tersebut terdapat sebuah harmika (secara harfiah berarti ‘tanah berpagar’) yang terdiri atas dasar harmika dan sebuah ‘as roda‘ atau batang yang menopang payung-payung atau roda-roda berbentuk bulat [1, 3]. Pada zaman India kuno, jumlah payung atau roda di atas kubah stupa adalah tiga belas buah, yang merupakan simbol tertinggi dari suatu kerajaan dan suatu tanda penghormatan bagi seorang Raja Penguasa Dunia atau kerajaan dengan daerah kekuasaan yang sangat luas.

Dalam prakteknya, bentuk dari kubah, alas, harmika, dan payung-payung diatasnya dapat beragam tergantung dari maksud dan tujuan didirikannya stupa, budaya lokal, ketrampilan dari pengrajin lokal, dan keyakinan masyarakat setempat [1]. Untuk itu, tidaklah mengherankan apabila bentuk dan gaya arsitekstur stupa dapat berbeda antar negara, bahkan antar daerah dalam suatu negara. Kita dapat mengamati hal tersebut misalnya dengan cara membandingkan stupa-stupa yang terdapat di negara-negara Asia dimana ajaran Buddha pernah atau masih berkembang, misalkan India, Sri Lanka, Thailand, Kamboja, Nepal, Tibet dan Indonesia.

Pada masa hidupnya, Buddha telah memberikan gambaran tentang struktur sebuah stupa yang berbeda-beda tergantung tingkat kesucian dari orang yang akan dibuatkan stupa [1, 3]. Berkaitan dengan Arya Sariputra, Sang Buddha menjelaskan demikian, ‘Buatlah alas yang terdiri dari empat tingkat, yang diatasnya terdapat sebuah kubah, bre (yaitu artifak yang berbentuk persegi empat seperti harmika), sebuah ‘as roda’, dan satu, dua, tiga, atau empat sampai tiga belas payung, dan letakan juga sebuah mantel hujan’.

Ketika membangun stupa untuk Arya Sariputra, Anatapindaka juga bertanya pada Sang Buddha, apakah struktur stupa tersebut juga berlaku untuk semua Arya atau hanya untuk Arya Sariputra saja. Sang Buddha menjelaskan bahwa stupa untuk seorang Tahtagatha harus dibuat dengan ornamen yang lebih lengkap, yaitu dengan minimal 13 payung. Untuk Pratyeka Buddha, penutup payung tidak seharusnya digunakan dan bagian-bagian lain menyerupai stupa untuk Tahtagatha. Stupa untuk seorang Arahat harus mempunyai 4 payung, hanya 3 untuk Anagamin, 2 untuk Sakrdagamin, dan hanya satu untuk Srotapanna [1]. Untuk umat biasa yang penuh kebajikan, stupa dibangun tanpa payung dan as roda. Jadi jelaslah disini bahwa perbedaan struktur stupa untuk berbagai macam tingkatan orang suci, terletak pada perbedaan jumlah payung yang didirikan diatas kubah stupa.

Secara umum, alas untuk kubah stupa yang terdapat di atas permukaan tanah, terdiri atas sebuah bagian yang sering disebut dengan ‘tahta singa’ (singgasana), dan satu bagian lain di atasnya yang disebut ‘dasar 10 kebajikan’. Tahta singa dapat berbentuk segi empat atau segi delapan, dan harus sama bentuknya dengan tingkatan atau undakan yang akan diletakan diatasnya. Bagian tengah dari tahta singa ini haruslah kosong untuk menampung berbagai benda materi misalkan batu-batu berharga, bahan obat-obatan, biji-bijian, dan tanah [1].

Setelah meletakan berbagai macam objek religius di dalam bagian tengah yang kosong dari tahta singa tersebut, maka harus diletakan sebuah penutup tahta, yang berbentuk bunga teratai yang besar. Di atas alas teratai tersebut, dasar 10 kebajikan dan undakan diatasnya harus diletakan dengan membiarkan bagian tengahnya kosong. Bagian ini dapat diisi dengan miniatur rupang Buddha yang biasanya terbuat dari gips atau tanah liat (tsa-tsa) dan dharani sebanyak mungkin yang bisa ditampung. Dikatakan bahwa semakin banyak tsa-tsa yang disimpan didalam stupa, maka akan semakin besar kekuatan dan berkah dari stupa tersebut. Bagian kosong ini dapat juga diisi dengan abu kremasi, kitab-kitab suci, gambar-gambar dan sebagainya [1].

Diatas undakan dengan dasar 10 kebajikan tersebut, harus diletakan sebuah alas lagi yang juga berbentuk teratai, yang dinamakan ‘alas kubah’. Menurut penjelasan dari kitab-kitab suci, di dalam kubah dapat diletakan berbagai macam persembahan seperti tujuh macam persembahan (yaitu air minum, air pembasuh, bunga, dupa, cahaya, parfum, dan makanan) yang diatur sedemikian rupa dengan sebuah lukisan mandala sebagai alasnya. Juga dikatakan bahwa sesuai tradisi kadampa, kubah stupa juga dapat berisi kitab-kitab suci [1].

Payung-payung atau roda yang disusun bertingkat di atas kubah stupa, akan ditopang oleh sebuah batang atau as roda yang diatasnya dihiasi sebuah miniatur stupa dan dibawahnya mempunyai alas setengah vajra. Jumlah payung ini beragam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Biasanya, kertas-kertas mantra atau dharani akan dilekatkan pada batang atau as roda tersebut [1].

Ritual Pembangunan dan Konsekrasi Stupa

Cara melakukan ritual yang berkaitan dengan pembangunan dan konsekrasi stupa dapat ditemukan dalam kitab-kitab suci buddhis, contohnya dalam versi bahasa Tibet dari dua teks utama yaitu Vimalosnisa dan Rasmivimala. Versi asli dari kedua teks ini adalah dalam bahasa Sansekerta, namun kini hilang dan tidak dapat ditemukan lagi [1].

Namun demikian, ritual-ritual yang dijelaskan dalam kitab suci tersebut banyak yang berkaitan dengan tradisi dan ajaran Tantra, dan hanya dapat dilakukan oleh seorang Vajra Acarya (pendeta Tantra) yang berkualitas, yang telah memahami arti dari berbagai mantra, mudra, dan ajaran tentang penolakan terhadap samsara, batin pencerahan (boddhicitta), dan kekosongan (sunyata). Proses pembangunan stupa dimulai dengan pemilihan tempat yang sesuai, dan berakhir dengan konsekrasi final. Untuk mensucikan bangunan stupa, disamping menyimpan relik-relik, maka dapat dimasukan gulungan-gulungan yang diatasnya tertulis mantra-mantra atau dharani [1].

Manfaat Membangun Stupa

Di dalam kitab-kitab suci, dapat ditemukan beberapa penjelasan Sang Buddha tentang cara kerja hukum karma dan akibatnya, yang berhubungan dengan stupa sebagai suatu objek unggul untuk menghimpun kebajikan. Kisah-kisah ini dapat ditemukan misalnya dalam Sutra Tentang yang Bijak dan yang Dungu tentang Tujuh Anak Laki-laki Menteri Mrgara, Si Penolong Gajah, Sepuluh Putra Sumana, Perumah Tangga Srija, dan Bhiksu Yasobhadrika [2, 4].

Dalam cerita tentang Tujuh Anak Laki-laki Menteri Mrgara [2], dikisahkan bahwa terdapat 32 anak yang terlahir di dalam suatu keluarga bangsawan dan dianugerahi dengan kekayaan dan kekuasaan. Ketika Arya Ananda bertanya tentang sebab mereka mendapatkan hasil karma seperti itu, Sang Buddha menjelaskan sebagai berikut: ‘Ananda, di masa lampau ketika Buddha Kasyapa muncul di dunia, ada seorang wanita yang sungguh-sungguh menghormati Tri Ratna. Wanita tersebut membeli banyak bubuk wewangian, mencampurkannya dengan minyak, dan kemudian secara terus menerus mengoleskannya pada stupa. Pada suatu hari, ketika wanita tersebut sedang duduk di pinggir jalan dan mengolesi stupa; lewatlah 32 orang pemuda dan lalu membantunya. Hal ini membuat wanita itu bergembira dan membuat suatu harapan, ‘Dengan kebajikan karena telah membantu saya mengolesi stupa ini dengan minyak wangi, semoga dimanapun kalian dilahirkan, akan menjadi tampan dan menarik, dan dianugerahi dengan kekuatan yang luar biasa. Harapan wanita tersebut menyenangkan ketiga puluh dua pemuda tersebut dan mereka juga mengucapkan suatu harapan, ‘Dengan kebajikan membantu wanita ini mengolesi stupa dengan minyak wangi, dimanapun kami terlahir, semoga kami terlahir dengan kasta yang tinggi, dianugerahi dengan kemakmuran, dan semoga wanita ini selalu menjadi ibu kami. Semoga kami selalu bertemu dengan Buddha, belajar Dharma, dan dengan cepat memperoleh hasilnya. Semoga hal yang sama akan terjadi pada wanita ini’. Disebabkan oleh kebajikan mengoleskan minyak wangi pada stupa dan harapan baik mereka, maka 32 pemuda tersebut selalu terlahir dengan kasta tinggi selama lima ratus kelahiran’.

Dalam kisah Sepuluh Putra Sumana [2], Arya Ananda bertanya kepada Sang Buddha tentang sebab sepuluh orang bhiksu dapat terlahir dengan kasta tinggi, bertemu dengan Sang Buddha, dan mencapai tingkat Arahat. Lalu Sang Buddha menjelaskan sebagai berikut: ‘Ananda, dimasa lampau, sembilan puluh satu kalpa yang lalu, Buddha Visvabhuj muncul di dunia untuk menolong banyak mahluk dan kemudian mencapai parinirwana. Stupa yang tak terhingga banyaknya dibangun untuk menyimpan relik-reliknya. Pada suatu hari, ketika seorang wanita tua sedang memperbaiki salah satu stupa yang rusak, lewatlah sepuluh orang pengembara dan bertanya apa yang sedang dilakukannya. Wanita tua tersebut menjawab sebagai berikut: ‘Stupa ini adalah tempat persembahan. Jika saya memperbaikinya, saya akan mendapatkan buah dari kebajikan yang besar’. Mendengar hal ini, para pengembara itu bergembira dan menolong wanita tua tersebut untuk memperbaiki stupa. Ketika pekerjaan mereka telah selesai, para pengembara mengucapkan suatu harapan untuk terlahir kembali sebagai anak dari wanita tua tersebut. Dari waktu kejadian tersebut sampai 91 kalpa berikutnya, mereka selalu dilahirkan sebagai dewa atau manusia yang selalu berbahagia dan diberkahi tiga hal yaitu tampan dan menarik, dihormati oleh semua orang, berumur panjang dan tidak mendapatkan kelahiran di alam-alam rendah. Lalu sekarang mereka telah bertemu dengan Sang Buddha, semua ketidakmurnian mereka telah dibersihkan, dan memperoleh kebahagiaan sebagai seorang Arahat’.

Akar kebajikan yang menyebabkan seorang perumah tangga bernama Srija mencapai tingkat Arahat, berasal dari tindakannya pada kehidupannya yang lampau, ketika dia terlahir sebagai seekor lalat dan tidak sengaja mengelilingi sebuah stupa. Hal ini terjadi ketika dia hinggap diatas satu tumpukan kotoran hewan yang terbawa air hujan, dan kotoran tersebut mengelilingi stupa [4].

Dikisahkan juga [4], pada zaman Sang Buddha, terdapat seorang bhiksu bernama Yasobhadrika yang walaupun mempunyai suara yang sangat merdu, tetapi mempunyai wajah yang sangat buruk seperti babi. Dua hal ini merupakan akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya pada kehidupan yang lampau ketika dia bekerja sebagai seorang pembuat stupa. Karena stupa yang akan dibangun sangatlah besar, maka pekerja ini mengucapkan banyak kritikan, meragukan manfaat besar didirikannya stupa tersebut, dan mengeluh dengan berkata bahwa pekerjaan membuat stupa ini tidak akan pernah selesai. Tetapi kemudian, ketika stupa tersebut telah selesai dibangun, pekerja itu merasa kagum akan keindahan stupa tersebut, menyesali kritikan dan keluhannya selama ini, dan melekatkan sebuah lonceng pada stupa itu sebagai persembahan. Hal ini juga dilakukannya sebagai cara untuk mempurifikasi akibat perbuatan buruknya yang dilakukan selama pembangunan stupa. Namun demikian, tetap saja pekerja tersebut terlahir sebagai orang dengan wajah yang sangat buruk seperti seekor babi, dan akibat perbuatan baiknya memberikan persembahan berupa lonceng pada sebuah stupa, dia dapat menjadi seorang bhiksu, bertemu dengan Sang Buddha, dan mempunyai suara yang merdu.

Dengan demikian, tidak terhitung banyaknya manfaat yang diperoleh dari membangun stupa. Pada dasarnya, membangun stupa merupakan sebuah metode unggul untuk menyucikan karma buruk dan menghimpun berlimpah-limpah kebajikan [3]. Dengan dasar kebajikan ini, seseorang akan lebih mudah untuk memperoleh realisasi atas Tahapan Jalan menuju pencerahan. Berikut adalah manfaat-manfaat utama dari membangun stupa yang dijelaskan dalam kitab suci [3]:

1. Kebajikan dari membangun 1000 stupa, akan membuat seseorang menjadi Pemegang Ajaran Mantra Rahasia Mahayana, memiliki kewaskitaan, dan mengetahui semua aspek ajaran Buddha.
2. Setelah meninggal, tidak akan terjatuh ke alam rendah dan sebaliknya terlahir sebagai seorang raja
3. Akan terlahir kembali dengan indera yang lengkap dan penampilan yang menarik
4. Segala karma buruk dan pandangan salah, termasuk lima macam kesalahan berat, akan tersucikan dengan memimpikan sebuah stupa, melihat stupa, atau mendengar suara dentingan stupa.
5. Membangun sebuah stupa yang kebajikannya didedikasikan untuk orang yang telah meninggal dapat mengubah jenis kelahiran kembali orang yang telah meninggal tersebut, dari kelahiran di alam rendah, menjadi kelahiran di alam tinggi dan kemudian bertemu dengan ajaran Buddha.
6. Kebajikannya dapat menyembuhkan mereka yang mempunyai penyakit serius.
7. Akan mendapatkan konsentrasi arus-Dharma, dimana tidak akan melupakan satu kata pun yang berkaitan dengan Dharma yang telah didengar.
8. Terlahir kembali menjadi seseorang yang berkecukupan, mempunyai ucapan dan kepribadian yang memesonakan, mempunyai pandangan mata yang menggembirakan, dann terpelajar dalam lima ilmu pengetahuan.
9. Akan dipuji di segala penjuru, dihormati baik oleh para dewa dan manusia.
10. Akan panjang umur dan harapannya akan dengan mudah terpenuhi.

Selain itu, juga dijelaskan manfaat mengitari sebuah stupa searah jarum jam (pradaksina) sebagai berikut [3]:

1. Akan terhindar dari delapan macam ketidakberuntungan yaitu terlahir kembali di alam-alam rendah seperti neraka, hantu kelaparan, dan binatang, terlahir sebagai dewa umur panjang, manusia barbar, orang dengan pandangan salah, mempunyai indera yang tidak lengkap, atau di suatu tempat dimana tidak ada ajaran Buddha.
2. Tidak akan dapat disakiti oleh para mahluk jahat selama seratus kalpa.
3. Akan diberkahi dengan kesempurnaan, kekuatan, dan ketekunan.
4. Mencapai pencerahan dengan cepat dan mempunyai kewaskitaan
5. Akan mempunyai tubuh seorang Buddha yang berhiaskan tanda-tanda utama dan sekunder dari seorang mahluk agung.
Pembangunan Stupa oleh Dharma Centre Kadam Choeling

Mengingat manfaat-manfaat besar yang didapat karena membangun sebuah stupa, dan dengan sebuah pemikiran sederhana bahwa setiap orang dapat membangun stupa dengan cara berpartisipasi menyumbangkan sejumlah dana yang tidak terlalu besar, akhirnya Dharma Centre Kadam Choeling bersama anggotanya telah berhasil mendirikan sebuah stupa di Gadog, sebuah daerah antara Jakarta dan Jawa Barat. Stupa tersebut diharapkan akan dapat memberikan aspirasi kepada banyak orang untuk mencari Jalan yang penuh dengan kedamaian dan sebagai ladang kebajikan.

Kini, dengan motivasi yang sama, kami kembali mengajak semua orang untuk ikut berpartisipasi membangun sebuah stupa lagi di halaman depan centre Kadam Choeling Bandung, di Jalan Sederhana no 83 Bandung. Stupa kedua yang akan dibangun ini, memiliki arsitektur yang indah dan bernilai khas. Stupa tersebut akan merupakan kembaran dari stupa-stupa yang terdapat di Candi Kalasan Yogyakarta, namun saat ini tidak dapat disaksikan lagi. Bentuk stupa tersebut langsing dan menjulang tinggi, sehingga lebih mirip sebuah monumen.

Stupa ini akan dibangun untuk memperingati Pemutaran Roda Dharma oleh Buddha Sakyamuni dan guru-guru suci buddhis sampai zaman sekarang. Dengan adanya stupa ini, diharapkan semua mahluk akan terinspirasi untuk mempraktekan Dharma sehingga mendapatkan berkah yang luar biasa. Stupa ini juga sebagai wujud ungkapan terima kasih dari umat Buddha Indonesia terhadap jasa para guru yang telah menjaga dan mengembangkan ajaran Buddha hingga saat ini, karena tanpa mereka kita tidak akan dapat merasakan nektar Dharma dan menuju Jalan pembebasan dari samsara.

Guru-guru yang amat baik dan berjasa mulai dari guru dari negeri Sriwijaya, Swarnadwipa Dharmakirti; guru Atisa Dipamkara Srijnana, Jey Tsongkapa guru besar Tibet, guru-guru biara Nalanda sampai Dalai Lama XIV, guru yang amat berharga Yang Mulia Dagpo Rinpoche Jhampel Jampa Gyatso, Narada Maha Thera, Bhiksu Ashin Jinarakkhita, dan masih banyak yang lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Stupa ini juga merupakan sebuah monumen tanda komitmen Dharma Centre Kadam Choeling untuk memajukan Bumi Nusantara. Mencerminkan cita-cita dan aktivitas kita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, dan melambangkan api semangat pembebasan dari samsara yang tidak kunjung padam.

Motivasi kita dalam membangun stupa ini haruslah murni dan tidak tercemar oleh harapan pribadi semata. Untuk itu, marilah kita bersama-sama mewujudkan pembangunan stupa ini demi kebahagiaan semua mahluk, bangsa dan tanah air, dan pembebasan semua mahluk dari penderitaan samsara. Kita harus membangkitkan motivasi ini hanya demi tercapainya masyarakat Indonesia yang damai dan sejahtera, dan pembebasan semua mahluk dari penderitaan yang dialaminya saat ini, sehingga mereka tidak akan terpisahkan lagi dari kebahagiaan tertinggi.

Kebajikan dari membangun stupa ini juga harus kita dedikasikan untuk terciptanya kedamaian dan kesejahteraan di Bumi Nusantara ini dan pencapaian Kebuddhaan kita demi semua mahluk. Sehingga setiap orang dan semua mahluk suatu saat akan selalu merasakan kebahagiaan dan bukannya penderitaan, suatu kondisi yang didambakan oleh mereka dari hati yang paling teramat dalam.

Daftar Pustaka
[1] Dorjee, Pema. 2001. Stupa and its technology. A Tibeto-Buddhist Perspective. Indira Gandhi National Centre for The Art and Motilal Banarsidass Publishers Private Limited. New Delhi. 189 pp.
[2] Frye, S. 2004. Sutra Tentang Yang Bijak dan Yang Dungu. Kadam Choeling Bandung. 346 pp.
[3] Kadam Choeling Bandung. 2006. Stupa, monumen bagi kebahagiaan orang tuaku. Kadam Choeling Bandung. 18 pp.
[4] Rinpoche, Pabongka. 2001. Liberation in Our Hands. Part Two: The Fundamentals. Mahayana Sutra and Tantra Press. Howell, New Jersey. 403 pp.
[5] Wikipedia. 2008. Stupa. http://en.wikipedia.org/wiki/Stupa.

By: YM. Lobsang Choepel

PROJECT 100.000 TSA-TSA Stupa dilakukan oleh semua center Kadam Choeling Indonesia. Pembangunan stupa ini dilakukan dalam rangka pengumpulan kebajikan untuk kelancaran pembangunan Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling.

Tahap-tahap dalam pembuatan 100.000 stupa:
– Pembuatan tsa-tsa Buddha Amitayus
– Penggulunggan mantram
– Wrapping mantram dengan Buddha Amitayus
– Pembuatan stupa