Indonesia Lamrim Retreat 2016: “Jatuh Cinta”-lah pada Guru Spiritual

  • December 31, 2016

Indonesia Lamrim Retreat 2016: “Jatuh Cinta”-lah pada Guru Spiritual

29 DESEMBER 2016—Seperti hari-hari sebelumnya, Biksu Bhadraruci kembali mengajak kita merenung di awal hari kelima Indonesia Lamrim Retreat 2016. Sebagian besar hidup kita gunakan untuk bekerja dan mengejar cita-cita. Tentu banyak orang-orang yang pekerjaannya dapat membantu orang lain, tapi tidak sedikit juga yang bekerja mati-matian hanya demi mengumpulkan harta materi saja. berguna atau tidakkah kerja yang kita lakukan selama ini? Kalau begitu, apa definisi ‘berguna’? Di sini, sesuatu yang berguna adalah sesuatu yang bisa kita bawa ke kehidupan selanjutnya setelah mati nanti. Barang apa pun yang tak memenuhi kriteria ini tak bisa dikatakan ‘berguna’, biarpun mungkin tak salah.

Bagaimana cara kita memastikan bahwa kita selalu mengerjakan sesuatu yang berguna? Satu-satunya cara adalah dengan bertumpu pada guru spiritual. Bisakah kita tidak bertumpu pada guru spiritual dan mengandalkan diri sendiri? Tentu saja bisa. Namun, kalau begitu ceritanya, kita tentu sudah mencapai tingkatan Arhat, dan seorang Arhat tak perlu lagi susah-payah menyimak ajaran. Faktanya, Buddha historis, yakni Buddha Shakyamuni, sudah lama pergi dari dunia ini. Seorang Arahat bisa menjaga diri sendiri, sehingga kita tak perlu mengacuhkan mereka. Namun, menyangkut makhluk biasa seperti kita yang tak mampu mengandalkan diri sendiri, siapa lagi yang bisa kita andalkan? Buddha sendiri kan sudah tiada. Dengan demikian, suka atau tidak suka, tak ada sosok selain guru spiritual yang bisa menolong kita.

Di hari sebelumnya telah dibahas peran seorang guru spiritual dalam hidup kita, yaitu ibarat dokter yang mengobati sakit yang kita alami akibat berbagai emosi negatif. Guru juga ibarat pilot yang mengantarkan kita ke kebahagiaan sejati, yang harus kita yakini sepenuhnya karena pada beliaulah nyawa kita bergantung. Hari ini Biksu Bhadraruci menjelaskan lebih lanjut bagaimana caranya bertumpu dengan baik dan benar pada seorang guru spiritual.

Bertumpu pada guru spiritual tidak berbeda jauh dengan jatuh cinta. Ketika seseorang sedang jatuh cinta, ia melihat pasangannya dalam segala kesempurnaan yang mungkin (atau memang) tak dimiliki oleh si pasangan. Semua kualitas baik si pasangan dilebih-lebihkan, atau lebih tepatnya, diutamakan dan difokuskan. Di sisi lain, semua kualitas buruknya, seberapa kentara pun kelihatannya, pura-pura diabaikan atau tak dilihat. Apakah ini keliru? Tentu tidak. Namanya saja orang sudah jatuh cinta. Memang demikianlah hakikat dari mencintai. Pasangan kita bisa saja bertubuh gemuk, atau pemarah, atau pencemburu, tapi seseorang yang sedang jatuh cinta tampaknya baik-baik saja dengan semua kekurangan tersebut. Seiring berjalannya waktu, ketika kita sudah semakin terbiasa dengan semua kekurangan ini, kualitas negatif yang ada pun berangsur-angsur memudar sampai menjadi tak ada.

Begitu pula setelah kita memutuskan untuk berguru, kita harus mengembangkan keyakinan pada guru dengan fokus pada kualitas-kualitas baik beliau. Tidak hanya itu, kita haruslah bisa memandang beliau sebagai seorang Buddha. Sama halnya dengan yang pernah dibahas sebelumnya tentang berkah yang kita terima dari Sang Buddha sebanding dengan sebesar apa keyakinan kita terhadap-Nya, berkah berupa realisasi Dharma yang akan kita terima dari guru spiritual juga sebanding dengan bagaimana kita memandangnya. Untuk hasil maksimum, kita harus bisa memandang guru spiritual sebagai seorang Buddha sehingga berkah yang kita terima juga sebesar itu.

Ada alasan-alasan logis yang mengukuhkan fakta bahwa guru spiritual sesungguhnya adalah jelmaan dari pada Buddha, antara lain

  1. Buddha sendiri mengatakan bahwa di zaman kemerosotan, beliau akan hadir dan mengajar dalam wujud-guru yang tampak belum matang secara spiritual,
  2. Guru adalah wakil dari para Buddha dalam menjalankan aktivitas Buddha, yaitu mengajarkan Dharma agar kita dapat mencapai kebahagiaan,
  3. Hingga sekarang para Buddha dan Bodhisatwa masih bekerja untuk kebahagiaan semua makhluk, salah satu caranya adalah mengajari kita via seorang guru spiritual lain;
  4. Persepsi kita tidak bisa diandalkan.

Khusus untuk poin keempat, ada banyak sekali contoh yang bisa kita lihat. Tapi jika kita tidak cukup memiliki karma baik, Kita tidak bisa bertemu Buddha? yang tingkatannya amatlah jauh dari kita. Kita tidak bisa menjalin ataupun kecocokan karena berbeda zaman. Cara kita mempersepsi segala sensasi indera sangat bergantung pada karma dan klesha yang kita miliki. Barang yang biasa saja bisa tampak bagus atau jelek tergantung pada karma kita. Begitu pula ketika melihat guru spiritual dalam tubuh manusia dengan segala kekurangan sesungguhnya Sang Guru sedang dengan mahir merefleksikan kekurangan yang kita sendiri miliki. Kita harus memperbaiki persepsi itu dalam diri kita hingga mampu melihat guru tak bercela, merenungkan kebaikan hati beliau yang memungut kita dari bawah tumpukan abu di api neraka, barulah kita bisa dengan sepenuh hati menerima dan menjalankan Dharma yang beliau ajarkan sehingga kebahagiaan di kehidupan mendatang sampai pencerahan dapat kita capai.

Foto-Foto:

Pelajar, mahasiswa dan profesional muda berkumpul dan menemukan cara menjadi bahagia di Indonesia Lamrim Retreat 2016

Lukisan Avalokitesvara Sebelas Wajah Seribu Tangan yang terbuat dari bahan wayang kulit

Persembahan dupa untuk mengundang Buddha dan rombongannya dalam 6 Praktik Pendahuluan

#ilr2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *