Perjalanan ke Dalam Ruang Batin yang Paling Sunyi

  • June 23, 2014

Dua minggu tinggal dengan para biksu dan melihat kesederhanaan hidup mereka dalam suasana hening serta ketenangan di sebuah biara di Tibet, membuat Noviana Kusumawardhani merasa memiliki ruang yang begitu lega untuk berhadapan dengan diri sendiri.

Memaknai sebuah arti perjalanan setiap orang pastilah berbeda. Bagi saya sebuah perjalanan seperti masuk kedalam ruang-ruang batin yang paling sunyi, bercakap dengan ruang gelap diri kita sendiri. Sepertinya sebuah hal sederhana tetapi tentu saja bagi saya tidak mudah karena hal ini memerlukan keberanian untuk melangkah. Keputusan ingin berdialog lebih jauh ke dalam diri saya sendiri, inilah yang membuat saya berkeputusan mengikuti retreat di biara Dagpo Shedrup Ling di Kullu, propinsi Himachal Pradesh, India. Setelah mengikuti teaching bersama His Holiness Dalai Lama selama hamper seminggu, saya meninggalkan Macleod Ganj, Dharamsala, pada pukul 09.00 menuju Kullu.

Pada awalnya saya pikir jarak tempuhnya tak begitu lama mengingat keterangan di brosur informasi perjalanan ke Kullu hanya menempuh jarak sekitar enam jam. Tetapi ternyata saya baru sampai Kullu lewat pukul 23.00 dan langsung menuju biara malam itu juga. Seorang biksu berperawakan gempal tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang.

Tashi Deleg,” sapanya dengan lembut sambil membawakan koper saya ke tempat penginapan tamu yang sangat sederhana tetapi cukup bersih.

Mungkin ada yang bertanya mengapa saya pergi ke biara ini dan bukan ke biara yang lain? Sejak zaman Sang Buddha Sakyamuni di India (sekitar 500 SM), ajaran Dharma telah disebarkan secara turun menurun dan mencapai puncaknya di zaman biara Universitas Nalanda (abad ke-5 sampai abad ke-12 Masehi). Universitas Buddhis di India ini adalah pusat pendidikan Buddhis terkemuka dan memiliki guru-guru besar yang telah merealisasikan ajaran. Lain halnya dengan Tibet, yang mana pada kurun waktu yang sama, tengah mengalami kemerosotan Buddhisme, sehingga diundanglah Atisha Dipamkara Sri Jnana untuk memurnikan kembali ajaran Sang Buddha. Atisha yang saat itu terkenal sebagai guru lulusan Nalanda paling cemerlang, telah memperoleh ajaran batin pencerahan (Bodhicitta) dengan realisasi yang mengagumkan. Selama 12 tahun beliau telah belajar pada Mahaguru Buddhis Dharmakirti di Swarnadwipa (nama kuno untuk Pulau Sumatera, Indonesia, dalam bahasa Sansekertayang berarti Pulau Emas), tepatnya di Kerajaan Sriwijaya. Fakta sejarah ini ditemukan dalam sejarah India, Tibet dan Tiongkok. Guru Atisha menyusun karya agung, “Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan” (Sanskerta: Bodhipathapradipa) dan merupakan ajaran Buddha Skayamuni yang disusun secara sistematis dan terstruktur sehingga mudah dipraktikkan untuk menuntun setiap orang mencapai pencerahan sempurna. Dengan karya inilah beliau berhasil menciptakan gelombang pembaharuan Budhisme di Tibet.

Sekitar 400 tahun kemudian, saat Buddhisme telah meluas di Tibet, Je Tshongkhapa (Guru Agung yang kelahirannya telah diramalkan oleh Sang Buddha Sakyamuni) menegakkan kembali kemurnian ajaran seperti yang dilakukan Guru Atisha, dengan karya besar “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan” (Sanskerta: Maha-Bodhipatha-Kra_ma, Tibet: Lamrin Chenmo) yang juga ditulis beliau berdasarkan karya Guru Atisha. Je Tsongkhapa yang telah menerima tranmisi ajaran dari semua tradisi yang berkembang di Tibet, berhasil menyatukan Sutradan Tantra yang sebelumnya dipandang tak bisa bersatu. Beliau menjelaskan intisari ajaran Buddha Sakyamuni yang luas dan mendalam menjadi lebih mudah dipelajari oleh banyak orang. Saat Lamrin Chenmo baru saja dirampungkan, Je Tsongkhapa dikunjungi salah satu muridnya, Je Lodro Tenpa. Beliau menyentuhkan Lamrin di kepala muridnya, lalu mendorongnya untuk mendirikan sebuah biara di Tibet Selatan untuk menyebarkan Buddha Dharma dengan karyanya ini. Maka di sekitar abad ke-15 sampai abad ke-17, berdirilah Dagpo Shedrup Ling Monastery yang kemudian disebut Biara Lamrin, karena merupakansatu-satunya biara di Tibet yang mengajarkan lamrin lebih awal, intensif dan sistematis, yang tradisinya terjaga hingga sekarang.

Biara Lamrin atau Biara Dagpo ini kemudian secara turun temurun melahirkan guru-guru besar Lamrin yang disegani. Agama Buddha pun berkembang pesat di Tibet lalu menyebar ke seluruh benua. Rangkaian sejarah ini menjadi bukti yang menunjukkan betapa eratnya koneksi Indonesia dengan Guru-guru Agung yang menyebarkan ajran Sang Buddha di Tibet dan dunia. Untuk lebih lanjut belajar Lamrim Chenmo inilah saya memilih biara ini.

Biara Dagpo Shedrupling, sebuah biara Buddha aliran Gelugpa berada di Lembah Kullu, Propinsi Himachal Pradesh, India, didirikan kembali serupa dengan biara yang asli di Tibet oleh Dagpo Rinpoche. Dagpo Rinpoche lahir di Tibet tahun 1932 dan dikenali oleh YM HH Dalai Lama ke-13 sebagai reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche Jampel Lhundrup. Beliau juga merupakan inkarnasi silsilah dari beberapa guru Mahayana, seperti Guru Serlingpa Dharmakirti salah satu guru besar di abad ke-8 era Sriwijaya tersebut di atas. Dagpo Rinpoche dibimbing oleh dua tutor HH Dalai Lama, yaitu Trijang Rinpoche dan Ling Rinpoche, juga Gomang Khenzur Ngawang Nyima Rinpoche. Dagpo Rinpoche belajar di beberapa vihara termasuk Dagpo Shedrup Ling. Ketika usia 27 tahun beliau melintasi pegunungan Himalaya dengan berjalan kaki menuju India, menghindari invasi Tiongkok ke negaranya.

Tahun 1960 Dagpo Rinpoche berangkat ke Prancis dengan beasiswa Rockefeller, beliau mengajar bahasa dan kebudayaan Tibet di School of Oriental Studies di Paris selama 30 tahun. Setelah belajar bahasa Prancis dan Inggris serta menyerap pola pemikiran barat, tahun 1978 Rinpoche setuju untuk mulai mengajarkan Dharma, beliau mendirikan pusat Dharma yang bernama Centre Bouddhiste Tibetan Guepele Tchanchoup Ling, atau Ganden Ling Institute di Veneux Les Sablons, Prancis. Di pusat inilah, beliau memberikan pelajaran Buddhisme, doa, serta meditasi. Sejak tahun 1978 hingga sekarang beliau telah banyak mengunjungi berbagai negara, di daratan Eropa maupun Asia untuk mengajarkan Dharma, diantaranya ke Italia, Belanja, Jerman, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Dagpo Rinpoche dikenal dengan kesederhanan, cinta kasih, dan kesbaran yang luar biasa. Beliau tanpa henti memberikan nasehat bagi mereka yang mencari tuntunan untuk mencapai pencerahan. Apapun topik yang beliau ajarakan, beliau melakukannya dengan kejelasan yang luar biasa, membawa kemajuan bagi umat manusia.

***

Tidur nyenyak saya dibangunkan oleh suara anak-anak melafalkan mantram padal pukul 04.00. Entah karena saya penyuka cerita-cerita silat dengan imajinasi kehebatan para biksu saktinya itu atau memang biara ini memiliki satu daya magis tersendiri, begitu menjejakkan kaki di sini tadi malam, saya merasa ini adalah “rumah”. Sebuah biara yang indah di Lembah Kullu, dengan sekitar 200-an biksu membuat saya begitu bersemangat bangun. Di antara kabut pagi yang begitu dingin, saya mencoba keluar mencari asal suara-suara itu. Suatu pemandangan yang membuat hati tak kuasa menahan haru adalah pemandangan ketika beberapa biksu begitu tekun melafalkan pelajaran mereka, biksu yang lebih besar membimbing biksu-biksu yang lebih kecil, mengalunkan suara syahdu mantra-mantra Tibet yang terdengar tak asing bagi telinga (ah, jangan-jangan saya dulu biksu Tibet, ya?).

Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 07.00 yang artinya sarapan pagi segera dimulai. Roti dengan mentega dan capati (roti khas India) di suasana yang hening entah terasa lebih nikmat dari biasanya. Para peserta makan tanpa mengeluarkan suara, selama retreat peserta bicara seperlunya saja. Pukul 08.30 tiba-tiba terdengar suara gong dibunyikan berulang kali dan saya pun segera berlari menuju ruang utama tempat kami belajar. Tak lama kemudian ruang utama sudah penuh dengan para biksu yang dengan takzim menunggu Dagpo Rinpoche. Meskipun demikian ada beberapa biksu kecil yang bersendau gurau dan sesekali senior mereka menghardik agar tetap diam. Setelah menunggu sekitar 15 menit, terdengar suara terompet panjang ala Tibet yang menandakan beliau akan segera hadir. Begitu beliau hadir di ruangan, para biksu dan peserta melakukan namaskar (penghormatan ala Tibet). Kemudian kami pun melakukan puja pagi selama dua jam dengan membaca kidung-kidung mantra.

Para biksu itu begitu khusyuk membaca mantra dan saya merasa ada kekuatan yang entah masuk ke dalam batin saya, kekuatan yang damaikan. Setelah kurang lebih dua jam nonstop membaca kidung para biksu dan peserta retreat dipersilakan jika hendak pergi ke toilet. Wah, tentu saja saya pakai kesempatan ini karena hawa yang begitu dingin membuat saya sedikit tidak konsentrasi menahan keinginan untuk buang air kecil. Setelah break 15 menit maka Dagpo Rinpoche pun mulai mengajarkan materi retreat dari kitab Lamrin Chenmo. Tentu saja bukan saya kalau pikiran saya tidak bertanya, ajaibnya beliau seperti membaca pikiran saya, semua pertanyaan yang tersimpan di dalam batin dijawabnya semua.

Tak lama kemudian masuklah serombongan biksu muda yang membagikan susu domba dan nasi Tibet untuk kami. Pada awalnya saya agak gamang memakannya karena didalam nasi tersebut ada banyak kismis (saya begitu suka kismis), tetapi seorang kawan mengingatkan agar setiap makanan yang ditawarkan di biara harus makan karena itu adalah menerima berkah dan ternyata nasi Tibet tersebut enak luar biasa.

Dagpo Rinpoche mengajar smapai pukul 13.00 untuk istirahat makan siang dan diteruskan lagi pada pukul 15.00. Kami pun segera menuju ruang makan untuk makan siang. Makanan utama di biara tersebut adalah nasi atau momo(semacam bakpao berisi sayuran), dan hamper tanpa rasa semua. Istirahat siang selama 1,5 jam saya gunakan untuk mencuci baju dan sedikit beristirahat. Kelas diteruskan lagi sampai sekitar pukul 17.00.

Setelah kelas selesai, saya tertarik untuk mengikuti kelas bahasa Tibet yang diadakan sekolah yang didirikan oleh biara dan menjadi satu halaman dengan biara. Para pengungsi Tibet bisa belajar dan tinggal di sana. Sekolah itu memiliki dua tingkat, ruang-ruang kelas di bawah, dan ruangan diatasnya untuk tempat menginap para murid setiap malam. Setiap menunggu makan malam, setiap senja ada hal yang membuat saya selalu merasa tersentuh, yaitu menyaksikan anak-anak itu berkumpul menyanyikan lagu-lagu daerah Tibet sebagai pengusir rasa kangen mereka ke orang tua termasuk para Rinpoche kecil (Rinpoche adalah sebutan bagi yang mulia, diperuntukkan bagi orang yang merupakan reinkarnasi para guru besar atau pemuka agama Buddha untuk membedakan mereka, pada jubahnya ada baju dalam yang berwarna kuning). Nyanyian itu akan berhenti saat lonceng makan malam berbunyi dan tepat puku 20.00 anak-anak tersebut harus tidur, sementara saya dan peserta retreat mengikuti kelas ulasan yang diadakan oleh biksu Bhadraruci dari Indonesia tentang materi siangnya. Kelas ulasan tersebut selesai pada pukul 23.00.

Begitu keluar ruangan saya agak terhenyak. Ternyata banyak para biksu yang masih belajar melafalkan mantra di halaman biara, mondar-mandir sambil membawa buku-buku pelajaran. Begitulah keseharian saya selama tinggal di biara. Hal yang tampaknya membosankan itu menjadi sesuatu yang luar biasa bagi batin saya. Tetapi ada satu hal yang paling mengharukan selama saya tinggal di sana. Ada dua orang biksu kecil yang setiap sore selalu menunggu dijemput sang ibu (ternyata mereka dari keluarga yang sangat miskin dan oleh orang tuanya “dijual” ke biara). Begitulah selama dua minggu lebih setiap hari selalu sama.

Di akhir masa retreat tersebut saya megikuti upacara Boddhicita, yaitu upacara mengambil sumpah bodisatva (para bodisatva adalah para makhluk yang telah mencapai kebuddhaan tetapi memilih terlahir kembali untuk menolong semua makhluk). Orang Tibet yang tinggal di pegunungan turun gunung berbondong-bondong berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer hanya untuk mengikuti acara ini. Sangat mengharukan. Banyak dari mereka sudah berumur sangat tua, tetapi mereka sangat bersemangat mengikuti upacara ini. Hal in membuat saya tercenung, ternyata orang-orang Tibet ini meskipun dalam kondisi kemiskinan yang amat sangat tetap mementingkan menolong makhluk lain dengan keikhlasan luar biasa.

Dua minggu tinggal dengan para biksu dan melihat kesederhaan hidup mereka dalam hening serta ketenangan, membuat saya merasa memiliki ruang yang begitu legah untuk berhadapan dengan diri saya sendiri. Tidak mudah berani bertanya pada diri sendiri karena diri kita adalah suatu perjalanan maha panjang yang tak bermuara dan tak berujung. Perjalanan yang kadang begitu menyenangkan, kadang begitu menakutkkan karena berhadapan dengan banyak sisi gelap diri kita. Sisi yang kerap ingin kita hindari. Sisi yang sering menohok dan menampar ego kita.

Perjalanan ke dalam diri kita seringkali menimbulkan kemarahan, kekecewaan dan tak jarang kebencianterhadap diri sendiri, tetapi sering juga menimbulkan sukacita, kebahagiaan dan juga pemahaman yang sesungguhnya tentang siapa kita, apa saja tugas-tugas kita di hidup ini dan ke mana tujuan kita di kehidupan ini.

Sering kita menolak tentang diri kita, menyangkal tentang apa yang terjadi di dalam batin kita, entah itu kesedihan, kemarahan, kekecewaan dan berbagai perasaan negative lainnya. Sering juga kita menekan semua itu dan bersikap seolah-olah semua sudah selesai. Padahal semua itu hanya terpendam dan tersimpon begitu lama di ujung relung hati sampai suatu saat nanti meledak berhamburan. Banyak orang berpikir bahwa “move on” adalah bergerak dan mencari hal baru (pacar baru, rumah baru dan lain-lain). Sering orang berpikir ketika mereka sudah “lupa”, mereka sudah “move on”. Itu semua hanya bersifat semu. Kita tidak akan pernah bisa “move on” ketika kita tidak bisa menerima terlebih dahulu semua kesedihan dan kemarahan. Betul, menerima bukan menekan.

“Acceptance is the first step to move on, the second step is letting go”.

Tanpa menerima, kita tidak akan pernah bergerak. Jika sudah menerima kita akan mampu melepaskan.

(Majalah MORE Edisi Juni 2014)

COMMENTS

  • LOLITA DEWI 20-06-2016

    mengangumkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *