Pesan Waisak 2017 dari Tanah Pusdiklat untuk Tanah Air Indonesia

  • May 18, 2017

Di tahun 2017 ini peringatan Waisak kembali diadakan di tanah Pusdiklat yang berlokasi di Desa Sumberoto, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Tahun sebelumnya, Waisak diperingati untuk pertama kalinya di lokasi ini, bersamaan dengan peringatan 15 tahun Kadam Choeling Indonesia dan 10 tahun Bimbel KCI. Waisak tahun 2017 ini kembali digelar namun kali ini berbarengan dengan kunjungan Yang Berharga Pemegang Takhta Drepung Tripa Khenzur Geshe Lobsang Tenpa Rinpoche.

Beberapa agenda penting kunjungan Khenzur Rinpoche di tanah Pusdiklat antara lain dilaksanakannya penahbisan perdana anggota Sangha monastik berdasarkan tradisi Mulasarwastiwada, sebuah agenda yang dijadwalkan satu tahun sebelumnya dan akhirnya terlaksana di tahun ini. Dua orang anggota Sangha baru ini dianugerahi nama penahbisan Yang Luhur Samanera Losang Monlam dan Yang Luhur Samanera Losang Yeshe. Mereka ditahbiskan tepat pada peringatan Waisak yang berlangsung pada tanggal 11 Mei 2017. Sungguh sebuah persembahan berharga dalam rangka memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Sang Guru Agung Buddha Gautama, yang berlokasi tepat di atas tanah Pusdiklat.

Berikut  ini adalah pesan Waisak yang disampaikan oleh Kepala Pusdiklat Jina Putra Tushitavijaya, yang disampaikan di Aula Mahakarunika Avalokiteshvara di hadapan seluruh peserta Waisak 2017.

PESAN WAISAK
Kepala PUSDIKLAT PANGJYAN SANG TUSITA WIJAYENG BHUMI INDONESIA
dalam acara peringatan Hari Waisak 2561/2017
Desa Sumberoto, Kecamatan Donomulyo,
Kabupaten Malang, Jawa Timur
11 Mei 2017

Namo Sanghyang Adi Buddhaya, Namo Buddhaya
Assalamualaikum, Wr.,Wb.
Shalom
Om Swasty Astu

Yang termulia, Khenzur Rinpoche, Kepala Biara Drepung Monastery, India
Yang terhormat, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Malang,
Yang terhormat, Perwakilan Forum  Komunikasi Umat Beragama Kabupaten Malang,
Yang terhormat, Jajaran Pimpinan Kecamatan, Pak Camat, KapolsekdanDanramil,
Yang terhormat, perwakilan Majelis Umat Islam Indonesia (MUI)/PC NU Kecamatan Donomulyo
Kepala Desa Sumberoto beserta perangkat desa dan Kader PKK,
Yang terhormat, para tokoh agama dan masyarakat Donomulyo dan Desa Sumberoto
Yang saya banggakan, para anggota Sangha, Dewan Pembina, dan pengurus yayasan, penyokong, panitia, dan tamu undangan sekalian.
Selamat datang dan terimakasih atas kehadirannya dalam perayaan Waisak Pusdiklat Indonesia Gaden Syeydrup Nampar Gyelwei Ling

Hari Waisak 2561/2017, pada purnama Waisak ini, adalah hari di mana kita umat Buddha bersama-sama merenungkan peristiwa penting dari Buddha Gautama yaitu kelahiran, pencerahan, dan wafatnya.  Apa yang menjadikannya istimewa adalah: kelahiran Siddharta Gautama sebagai manusia menunjukkan harkat dan nilai besar kehidupan manusia yang berharga, pencerahan yang diraihnya adalah buah perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa demi manfaat semua makhluk hidup, dan wafatnya merupakan pertunjukan agung akan ketidakekalan segala sesuatu dan dorongan bagi semua untuk melampaui duniawi, dan menapaki spiritual.

Jadi, ini bukanlah sekedar pesta ulang tahun, bukanlah perayaan keberhasilan, maupun peringatan wafat ribuan tahun seorang pesohor. Buddha Gautama adalah seorang guru spiritual. Tugas utama Beliau adalah mendidik. Jadi, seyogyanya Waisak ini adalah sesi pengajaran. Kita yang berkeyakinan padanya hendaknya memetik pelajaran daripadanya, merenungi untuk kemudian merealisasikannya. Waisak diperingati untuk menarik manfaat dari makna spiritualnya, dari nilai luhur yang terkandung di dalamnya yaitu perjalanan dan perjuangan spiritual seorang manusia biasa demi mencapai kebahagiaan dirinya sendiri dan semua mahkluk.

Lebih lanjut, kita perlu memahami Waisak sebagai Bangsa Indonesia. Apalagi di tanah nusantara ini, telah tertanam nilai-nilai dharma semenjak masa kejayaannya dahulu, yang kemudian menjadi hidup dalam “Bhineka Tunggal Ika” yang berasal dari Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Mari kita dalami lebih jauh tentang Sutasoma yang menginspirasi sebuah kitab yang menelurkan konsep bhineka tunggal ika, nilai luhur dari Indonesia.

Sutasoma dikisahkan dalam Kitab Jataka sebagai seorang pangeran berbudi luhur dan berpedoman dharma dalam tubuh ucapan dan batinnya. Sang Pangeran putra mahkota ini dikisahkan tertangkap oleh yaksa yang kejam dan buas, yang secara khusus mengincar darah para pangeran. Namun, bukan kesedihan dan takut akan nasib jelang ajalnya yang muncul, melainkan kehilangan kesempatan mendengar ajaran kebaikan dari seorang pertapa di istananya. Yaksa menjadi penasaran lalu menguji kejujuran Pangeran Sutasoma dengan mengizinkan dia kembali ke istana untuk mendengarkan satu sesi penjelasan dharma, tapi dengan rasa sinis kalau Sutasoma sekadar menghalalkan dharma demi menyelamatkan nasib tragisnya.

Sutasoma pun kembali ke istana dan berhasil mendengarkan ajaran, dan sesudahnya dengan langkah ringan dan sukacita kembali ke kediaman yaksa untuk disantap olehnya. Yaksa pun heran, takjub, dia tidak menyangka ada manusia yang benar tulus mendengar dharma demi melatihnya, mempraktekkannya untuk pencerahan/moksa meski nyawa taruhannya, meski hidup akan berakhir tragis. Yaksa keheranan, mengapa ada orang yang berlatih kebaikan hati hingga pada tahapan tersebut? Adakah kebahagiaan yang bahkan melampaui terbebas dari kematian? Dengan cara inilah, tanpa kekerasan, tanpa senjata, tanpa pasukan, tanpa darah tumpah, Sutasoma menaklukkan yaksa dan membawanya tertarik dalam jalan spiritual. Dengan cara berpegang teguh pada jalan kebaikan, kepada dharma.

Sutasoma merupakan model seorang manusia yang dengan kekuatan spiritualitasnya, keluhuran, dan kebaikan hati, mampu menawar kejahatan dunia dan mengisinya dengan kebaikan. Dan dari sini hendaknya kita senantiasa mengingat betapa para pendiri bangsa menekankan arti penting spiritualitas dalam hidup berbangsa dan bernegara yang damai dan bahagia, baik lahir dan batin. Bukanlah sebuah kebetulan sila pertama Pancasila adalah tentang Ketuhanan, melainkan sebuah ide yang matang, atau bahkan sebuah kampanye bagi manusia Indonesia sebagai manusia spiritual. Maka untuk memahami bhineka tunggal ika seutuhnya, kita bisa mengingat kembali kisah Sutasoma ini, kualitas-kualitas baiknya yang menginspirasi Empu Tantular melahirkan konsep tersebut lewat karyanya. Dengan cara yang demikian, pemahaman nilai moral dan sosial yang umumnya sudah kita pahami dari “bhineka tunggal ika” yaitu toleransi dan tenggang rasa, pada Waisak ini juga bisa kita melengkapinya dengan perenungan aspek spiritualnya.

Dalam perjalanannya, sejarah mencatat Ajaran Buddha sebagai pandangan hidup, bukan agama misionaris.Sejarah juga mencatat, baik di sejarah dunia maupun Indonesia, Ajaran Buddha tidak pernah memiliki misi untuk mengubah keyakinan penduduk yang berbeda keyakinan. Bahkan, Ajaran Buddha sebenarnya adalah pandangan hidup yang, terlepas dari balutan ritualnya, mengandung nilai-nilai universal.

Dalam Kitab Suci Jatakamala, tercantum bagaimana perjuangan Pangeran Siddharta mencapai kesempurnaan berdana, menjaga moralitas, welas asih,dan kebijaksanaan. Diceritakan kehidupan Buddha sebagai seorang raja yang memimpin suatu daerah yang tertimpa begitu banyak bencana, penyakit, dan kemalangan lainnya.

Para penasihat raja menyarankan solusi mudah namun keji untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun sang raja calon Buddha tak bergeming dan dengan cara yang lembut memilih jalan yang penuh kedamaian. Dan solusinya tampak sederhana. Raja mendorong rakyatnya untuk berpantang, semedi, berbaik hati dengan sesama, hingga akhirnya masa sulit usai. Dan hal baik pun bermunculan, cuaca bersahabat, panen tepat pada waktunya, kejahatan berkurang, semua warga bahagia sejahtera dan sentosa. Yang terjadi bukan sekadar mukjizat, namun kualitas kesabaran, moralitas, muncul secara perlahan dan bersamaan di dalam batin sekelompok orang yang tinggal di sebuah wilayah. Dengan batin yang jernih dan positif, masalah pun akhirnya terlewati dan terselesaikan.

Kesempatan waisak ini juga mengingatkan kita umat Buddha, bahwa ajaran Buddha adalah tentang bagaimana pandangan hidup kita terhadap dunia, diri sendiri, dan sesama makhluk. Dan karenanya cara pandang wajib atau otomatis tercermin dalam laku hidup kita sehari-hari, dalam mengatasi masalah hidup, mencapai tujuan kita, dan berperilaku terhadap sesama. Lalu, Pusdiklat ini didirikan untuk menanamkan pandangan tersebut dalam batin peserta didik, yaitu para biksu dan calon biksu, yang dapat memberikan energi positif ke sekelilingnya melalui praktik penyempurnaan welas asih dan kebijaksanaan. Harapannya, dari kebaikan ini bisa membawa manfaat yang lebih luas dan besar bagi orang lain, masyarakat, dan negara Indonesia. Adalah keyakinan kami terhadap hukum karma, yaitu dengan menanam kebaikan datang buah kebaikan pula.

Para biksu adalah sekelompok orang yang bertekad untuk menjadi manusia sedikit lebih baik. Mereka tidak menikah, memilih kehidupan menyepi untuk bertapa di hutan belantara. Kami memilih tempat ini pun karena ingin jauhi hingar bingar, mencari tempat tenang untuk semedi, melatih batin untuk semakin mendekati kualitas Kebuddhaan karena kitab suci Agama Buddha mengatakan kualitas datang dari kesunyian.

Karenanya jangankhawatir. Kami datang ke sini untuk belajar, bukan mengajar, atau bahkan mengubah keyakinan umat sekitar. Marilah kita buka sekat-sekat di antara kita, membuka tabir kabut ketidaktahuan di antara sesama. Mari kita jalin persahabatan dan persaudaraan antar umat beragama yang saling guyub, gotong-royong, membangun masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Saya yakin jika setiap umat atau pun rohaniwan benar-benar menyelami ajaran masing-masing, maka kita dapat bertemu di satu titik pencapaian di mana kita dapat menembus perbedaan warna, suku, ras, dan bahkan agama yang telah mengantarkan kita ke pencapaian tersebut. Juga keyakinan saya, seiring kita memahami dengan lengkap dan mendalam mengenai kebhinekaan dalam kebersamaan maka akan semakin memperkuat NKRI, menciptakan kerukunan dalam hidup berbangsa bernegara melalui laku tubuh, ucapan, dan pikiran yang berwelas asih dan saling menghargai.

Saya selaku Kepala Pusdiklat juga ingin mengumumkan penerjemahan nama Pusdiklat Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling ke dalam bahasa Jawa yaitu

Pangjyan Sang Tusitawijayeng Bhumi Indonesia

yang berarti Tempat Penakluk Tusita, yang menandakan telah takluknya egoisme manusia dan tercapainya kesempurnaan welas asih dan kebijaksanaan. Penerjemahan ini juga dibuat dalam rangka menghormati dan mensosialisasikan maksud dan tujuan kami lebih baik lagi. Semoga demikianlah hal yang terjadi baik kepada para siswa yang belajar di pusdiklat ini dan kepada penduduk sekitar Desa Sumberoto dan Kabupaten Malang.

Saya menghaturkan Selamat Waisak kepada para umat Buddha yang hadir dalam perayaan Waisak di Pusdiklat ini, juga berterima kasih kepada jajaran pemerintah daerah, tokoh agama, masyarakat, dan terutama umat agama lainnya yang telahberkenan hadir menerima undangan kami.

Semoga momentum Waisak 2561 BE tahun 2017 kembali menginspirasi untuk menghargai kebhinekaan sebagai kekayaan, menjayakan spiritualitas dan nilai luhur.

Meski merayakan di tempat yang sederhana dan jauh dari mewah ini, nuwun sewu masih banyak kekurangan. Namun di tempat ini saya menyaksikan betapa besarnya Indonesia yang berbhinekatunggalIka dan berbasis Pancasila. Perbedaan tidak membuat kita terpisah, sebaliknya membawa persatuan. Terima kasih.

Sarva mangalam.

*******

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *