Mahaguru Atisha, Istadewata Avalokitesvara, dan Praktisi Kadampa

  • February 12, 2016

“KADAMPA” merujuk pada sebuah cakupan luas praktisi Buddhis Tibet yang memiliki kesamaan dalam hal preferensi khusus pada sosok dan ajaran-ajaran dari guru India Atiśa berikut pewaris spiritual Beliau yang berkebangsaan Tibet, Dromtönpa. Atiśa adalah seorang guru Bengal India yang datang ke Tibet pada musim panas tahun 1042 dan tinggal di Tanah Bersalju selama hampir tiga belas tahun, Beliau tak pernah pulang lagi ke India. Tibanya Beliau di Tibet merupakan bagian dari apa yang disebut oleh para ahli sejarah Tibet sebagai “penyebaran Buddhisme yang kedua”—dimulainya kebangkitan besar-besaran Buddhisme di Tibet sebagai akibat dari kemerosotannya pada masa pemerintahan raja Tibet terakhir, Langdarma, dan jatuhnya kerajaan Tibet tengah pada abad kesepuluh. Pada pertengahan abad kesebelas, Tibet telah terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, dengan para keturunan keluarga kerajaan memerintah di beberapa kerajaan ini. Kerajaan Ngari di Barat adalah salah satu contoh daerah kekuasaan, dan para penguasa kerajaan ini berperan penting dalam membawa Atiśa ke Tibet.

Bagi orang-orang Tibet, kedatangan Atiśa ke tanah mereka merupakan peristiwa yang dirayakan, karena kejadian ini menandai puncak dari tahun-tahun pengorbanan, baik pribadi maupun sumber daya materi, yang bertujuan mendatangkan Sang Guru India sekaliber Beliau ke Tibet. Sang Guru India disambut di bagian wilayah perbatasan dengan Nepal oleh sebuah rombongan penyambut yang terdiri dari sekitar tiga ratus pasukan berkuda dari Tibet, yang mengingatkan sambutan orang Tibet untuk mahakepala biara Śāntarakṣita beberapa abad sebelumnya. Sebelum menyentuh tanah Tibet, Atiśa pastilah telah memiliki pemahaman terhadap garis besar sejarah panjang hubungan Tibet dengan Buddhisme—peran sang filsuf besar buddhis India Śāntarakṣita, khususnya peran Beliau memperkenalkan orde monastik; pendirian biara pertama, Samyé, di Tibet tengah; dan upaya-upaya para penerjemah awal Tibet untuk mengirimkan teks-teks klasik India ke Tibet. Atiśa menghabiskan tiga tahun di kerajaan Ngari di Tibet Barat. Kelihatannya bahwa sebagai bagian dari syarat mengizinkan Atiśa pergi ke Tibet, sang penerjemah Tibet Naktso Lotsāwa harus berjanji kepada kepala biara Vikramaśila untuk membawa pulang Atiśa setelah tiga tahun. Jadi, setelah tiga tahun berlalu, terlepas dari permohonan mendesak dari murid-murid Tibet (utamanya dari Dromtönpa) yang bersemangat untuk membawa Atiśa ke Tibet Tengah, Naktso bersikeras untuk menghormati janji serius yang telah diberikannya kepada kepala biara dan membawa Atiśa kembali ke India. Demikianlah Atiśa dan rombongannya memulai perjalanan kembali ke negeri asalnya. Namun, beruntung bagi Tibet, jalan kembali melalui Nepal ketika itu tidak aman karena pecah perang saudara. Ini memberikan alasan masuk akal bagi Naktso—Atiśa memberitahukannya, “Tidak ada kesalahan bila gagal menghormati janji yang memang tidak bisa dipenuhi”—yang lalu setuju dengan lainnya bahwa sang empu seharusnya pergi ke Tibet Tengah, sebuah wilayah yang penting secara historis di dekat Lhasa.

Begitu Guru Atiśa menuju Tibet Tengah, dengan pengecualian persinggahan singkat di awal untuk mengunjungi muridnya Khutön, seorang lama yang kaya dan berkuasa, Dromtönpa bertanggung-jawab atas perjalanan sang guru. Demikianlah dimulainya misi kedua Atiśa di Tibet. Sang guru mengajar dengan sangat ekstensif, membimbing keseluruhan satu generasi murid-murid yang berkomitmen untuk melatih meditasi, bekerjasama dalam proyek-proyek menerjemahkan lebih banyak lagi teks-teks klasik buddhis India ke dalam bahasa Tibet, dan menyusun teks-teks independen terkait pola pikir dan praktik buddhis. Pada tingkatan personal, dikatakan bahwa Atiśa sangat menikmati waktunya di Tibet. Beliau terpesona dengan kemurnian dan rasa segar air di dataran tinggi Tibet sehingga, jamak diyakini, adalah Beliau yang memprakarsai kebiasaan Tibet melakukan persembahan harian dengan air yang dituangkan ke dalam mangkuk-mangkuk yang dipersembahkan di depan altar-altar. Kita juga membaca di dalam riwayat-riwayat guru ini bahwa Beliau memuji kebaikan dari kebiasaan orang-orang Tibet meminum teh. Ketika saya pertama kali membaca tentang hal ini saya benar-benar tergugah, karena dewasa ini kebiasaan minum teh sedemikian luas tersebar di dataran-dataran India di mana saya tumbuh besar. Belakangan saya mengetahui bahwa hanya pada periode kolonialisasi Inggris-lah teh menjadi bagian dari kebudayaan India, yang memungkinkan saya untuk menghargai pendapat Atiśa mengenai kebiasaan meminum teh.

Kontribusi Guru Atiśa terhadap Buddhisme di Tibet dihargai dengan amat sangat mendalam oleh para pengikut orang-orang Tibet sehingga Beliau disanjung dengan gelar “raja” (jowo) atau “Sang penguasa tunggal” (lhachik). Seiring berjalannya waktu, pengorbanan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh para penguasa Ngari dalam rangka membawa Atiśa ke Tibet akhirnya juga mengalami proses dimitoskan, menjadi bagian dari pengisahan penting akan sejarah Buddhadharma di Tanah Bersalju. Sama halnya dengan kisah perjalanan biksu cina Xuan Tsang ke India dalam rangka mencari kitab-kitab buddhis yang telah dipopulerkan dalam legenda berjudul Perjalanan ke Barat, kisah bagaimana raja-raja Ngari melakukan pengorbanan besar untuk membawa Atiśa ke Tibet telah dipopulerkan dalam kisah-kisah dan lakon yang masih dipertunjukkan hingga hari ini. Atiśa meninggal pada tahun 1054 di tempat retret favoritnya di Nyethang, hampir tiga belas tahun setelah Beliau menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Tibet.

Setelah kematian Atiśa, para pengikut Tibetnya mendirikan sebuah tempat untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota-anggota sebuah komunitas tersendiri di Biara Radreng, yang didirikan oleh pewaris spiritual Atiśa, Dromtönpa, pada tahun 1056. Para kelompok praktisi ini akhirnya menyebut dirinya sebagai Kadampa, sebuah istilah yang terdiri dari dua kata yang mencakup makna semantik yang luas—ka merujuk pada kata-kata atau ucapan suci, dan dam merujuk pada nasihat atau instruksi atau pada kata kerja “menjalin ikatan” dan “memilih”.

Sejarah abad kelima belas kelompok Kadam menawarkan empat penjelasan berbeda terkait dengan nama tersebut. Pertama, Kadam bisa didefinisikan sebagai “mereka yang baginya esensi keseluruhan kitab buddhis terintegrasikan ke dalam jalan ketiga cakupan—aspirasi spiritual kapasitas awal, menengah, dan mahir—dan yang baginya semua kitab-kitab Buddha diambil sebagai instruksi-instruksi pribadi.” Interpretasi kedua akan makna Kadam menyebutkan bahwa tradisi ini disebut demikian “karena ayah pendiri Kadam, Dromtönpa, memilih, sesuai dengan instruksi suci Guru Atiśa, tujuh bagian keilahian dan ajaran sebagai praktik utamanya.” “Tujuh bagian” merujuk pada tiga bagian ajaran (tiga keranjang Vinaya, Sutta, dan Abhidharma) dan empat keilahian (Buddha, Avalokiteśvara, Tārā, dan Acala). Interpretasi ketiga adalah ketika Guru Atiśa sedang menetap di Nyethang murid-muridnya mempersembahkan kewenangan besar terhadap kata-kata sucinya, sehingga mereka akhirnya dikenal dengan sebutan “Para Kadampa”—mereka yang memegang kata-kata suci sebagai jalinan mengikat. Interpretasi terakhir adalah para Kadampa dibimbing oleh tiga keranjang kitab (Tripitaka) sebagai keseluruhan praktik Dharmanya dan melakukan pendekatan terhadap ajaran-ajaran Vajrayana berikut praktiknya secara saksama.

Memasuki pertengahan abad keduabelas, sekitar satu abad setelah kematian Guru Atiśa, keturunan spiritual dari sang guru berikut pewarisnya Dromtönpa—para Kadampa—telah tersebar sangat jauh dan luas. Banyak dari guru-guru awal yang telah mendirikan biara dan tempat-tempat retret di berbagai bagian wilayan Tibet Tengah dan Barat. Merangkum pengaruh tradisi Kadam terhadap Buddhisme Tibet secara keseluruhan, kitab Sejarah Biru menyatakan:

Secara umum, selama tiga belas tahun Guru Atiśa di Tibet, sejumlah besar praktisi menerima instruksi-instruksi paling mendasar darinya dan mencapai kualitas-kualitas Dharma lebih tinggi. Jumlah persis para praktisi ini tidak terhitung. Di Tsang ada trio Gar, Gö, dan Yöl, sedang di Tibet Tengah ada trio Khu, Ngok, dan Drom. Ini adalah guru-guru besar yang termahsyur. Namun, di sini, saya telah memberikan uraian panjang lebar terkait pembimbing spiritual yang garis silsilahnya berasal dari Drom dan yang nama-namanya saya lihat dengan mata kepala sendiri. Jika tidak, menurut biografi-biografi mereka, sebagai besar pembimbing spiritual yang muncul di Tibet sesudahnya, berikut para yogi yang menjalani kehidupan sebagai praktisi yang mahir, sudah pasti belajar di kaki seorang pembimbing spiritual Kadam. Karena itulah, Drom adalah sosok yang aktivitas-aktivitas tercerahkannya mengandung kualitas sangat meluas dan bertahan untuk waktu yang sangat lama.

* * * * * * * * * * * *

Petikan dari kitab spiritual klasik “Wisdom of the Kadam Masters”, yang diterjemahkan dan diperkenalkan oleh Thupten Jinpa, Wisdom Publications, Boston, 2013.

 

atisha2

 

Foto atas: Lahan Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling, Desa Sumberoto, Kec. Donomulyo, Kab. Malang, Jawa Timur.
Foto bawah: Wajah rupang Guru Atisa di Istana Payung Perak, Kadam Choeling Indonesia.

 

Baca juga:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *