IPKCI Berbicara Tentang Kartini

  • April 22, 2016

“Aku akan mengajari anak-anakku baik laki-laki maupun perempuan untuk saling menghormati sebagai sesama dan membesarkan mereka dengan perlakuan sama, sesuai dengan bakat mereka masing-masing” (Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 23 Agustus 1900)

Seberapa jauh kita mengenal Kartini? Sebuah pertanyaan yang akan membawa kita menelusuri lorong historis untuk menemukan jejak alur peradaban yang membawa sosok perempuan priyayi yang sederhana ini dipredikasi sebagai “Ibu” dari seluruh umat manusia di bumi Indonesia. Ketika eksistensinya dipertanyakan kembali sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia saat ini, maka masyarakat akan menyebutkan, bahkan menciptakan segala macam simbol dan ungkapan yang dianggap paling merepresentasikan kekaguman mereka terhadap figur pahlawan nasional perempuan ini, mulai dari kegiatan kreasi masakan dan sanggul antar RT, pemakaian kebaya oleh seluruh remaja putri di sekolah maupun pembacaan puisi serta seminar di kalangan intelektual Indonesia. Selalu seperti itu setiap tahunnya sejak rezim Orde Baru berkuasa. Itukah wujud wacana emansipasi yang diusung oleh Kartini dalam pingitannya sebagai perempuan priyayi pribumi Hindia Belanda?

Keresahan serta keingintahuan tentang wacana dan makna perjuangan Kartini mendorong Ikatan Perempuan Kadam Choeling Indonesia (IPKCI) mengadakan diskusi dengan tema “Relevansi Perjuangan Kartini di Era Globalisasi” pada tanggal 21 April 2016 di Istana Payung Perak, Bandung, dengan dihadiri oleh 30 peserta. Diskusi yang dipandu oleh Linda Sudiono ini di awali dengan penjelasan singkat mengenai sosok Kartini dan perjuangannya bagi pembebasan perempuan pada zaman feodalisme.

“Salah satu kutipan surat kartini menyatakan bahwa ‘pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan negeriku, kami bocah-bocah perempuan keluar rumah untuk belajar dan karenanya harus meninggalkan rumah setiap hari’. Dari kutipan ini kita dapat memahami bahwa perjuangan melawan ketidaksetaraan perempuan adalah perjuangan untuk mentransformasi seluruh hubungan sosial manusia dan menempatkan perempuan pada posisi baru yang lebih tinggi” demikian kalimat pembuka yang disampaikan oleh Linda, begitu sapaan akrabnya.

Linda juga menambahkan bahwa “yang dimaksud dengan ‘posisi yang lebih tinggi’ ini tidak mengindikasikan bahwa perempuan harus melampaui laki-laki dalam segala bidang, sebuah dekadensi perjuangan pembebasan perempuan yang selalu dikampanyekan oleh aktivis feminis mainstream, tetapi berkaitan dengan dorongan terhadap perempuan untuk mengejar ketertinggalan sejarahnya agar dapat bergerak dan berjuang bersama beriringan dengan kaum laki-laki secara setara. Hal itulah yang mendorong Soekarno untuk memusatkan tenaga produktif laki-laki dan perempuan pasca kemerdekaan karena Soekarno menyadari adanya ketidaksetaraan warisan sosiohistoris terhadap perempuan, dan Soekarno juga menyadari bahwa kemajuan suatu negara ditentukan oleh kemajuan perempuan (dikutip dari Sarinah).”

Pada sesi kedua peserta diajak untuk menyaksikan penggalan film dokumenter yang berjudul “Pertaruhan” dengan durasi 30 menit. Penggalan ini menyoroti tentang ibu-ibu pemecah batu yang merangkap sebagai pekerja seks karena desakan ekonomi di wilayah Tulungagung, Jawa Timur. Peserta diajak untuk memahami realita yang dihadapi oleh perempuan, khususnya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, sebagai bentuk refleksifitas terhadap perjuangan kartini selama lebih dari satu abad di era globalisasi.

“Hati saya sakit setelah menyaksikan film ini. saya tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau ibu saya adalah salah satu pekerja seks dalam film ini. Ada dua hal yang bisa saya petik, bahwa di luar gemerlap pembangunan globalisasi masih banyak perempuan yang mengalami perbudakan seks dan penindasan karena jenis kelaminnya, kedua bahwa perempuan adalah entitas yang berpotensi untuk berjuang karena perempuan penuh dengan compassion. Setelah lebih dari satu abad emansipasi yang dilakukan oleh Kartini, masih banyak perempuan yang menderita” Dengan berlinang air mata, Rika Lenawaty, salah satu peserta yang hadir dalam diskusi, menyampaikan kesannya tentang film “Pertaruhan”.

Hampir sama dengan Rika, Sinta, salah satu peserta diskusi sekaligus peserta Bimbingan Belajar (Bimbel) Nalanda Study Center berpendapat bahwa dia menyadari adanya ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan. “Untuk itulah saya pikir penting bagi saya untuk berpendidikan tinggi, tidak hanya untuk membebaskan diriku, tetapi juga membebaskan perempuan dan setiap orang yang kesusahan”.

Pendiskusian semakin hangat dengan adanya perdebatan mengenai pelacuran sebagai pilihan atau paksaan. Menurut Nanda, yang juga merupakan peserta Bimbel Nalanda Study Group, perempuan yang terlibat dalam pelacuran seharusnya dapat memilih pekerjaan lain yang lebih bermartabat “Mereka bisa memilih untuk menjadi buruh cuci atau apalah yang tidak perlu mempertaruhkan harga diri mereka sebagai perempuan” Nanda menambahkan.

“Saya lebih sependapat dengan Cik Rika, saya sedih karena ingat sama orang tua. Perempuan banyak yang terpaksa melakukan pekerjaan yang begitu demi anak seperti yang kita saksikan dalam film.” Demikian kutipan pendapat dari Meyuni, peserta Bimbel Nalanda yang berasal dari Batam, Kepri. Sedikit berbeda dengan Nanda, Mey menganggap perempuan merupakan kaum yang selalu mementingkan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. ”Hal ini yang membuat perempuan tidak sanggup memilih untuk menjadi atau tidak menjadi sesuatu” imbuhnya.

Perdebatan yang bergulir seru harus terhenti karena larutnya malam tak lagi dapat diajak berkompromi. Dengan mempertimbangkan antusiasme peserta untuk membongkar salah satu permasalahan klasik perempuan ini, panitia berjanji untuk mengadakan pendiskusian lanjutan tentang asal usul dan sejarah perkembangan pelacuran dalam waktu dekat. Pertemuan kemudian ditutup dengan pembacaan kutipan surat Kartini oleh Dian Mayasari. Di sini peserta diajak untuk belajar mencintai sastra sebagai bentuk ungkapan ekspresi keindahan seni dalam keagungan jiwa manusia.

“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum-hukum yang tidak adil dan paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah berjuang dan menderitalah tetapi bekerja untuk untuk kepentingan yang abadi” (Surat Kartini kepada Ny. Abendon pada tanggal 4 September 1901)

“Kita dapat menjadi manusia seutuhnya tanpa berhenti menjadi perempuan seutuhnya” (Surat Kartini Agustus 1900)

NB: Selain kelas diskusi di Bandung, Ikatan Perempuan KCI juga melangsungkan Puja Tara bersama di Kadam Choeling Jakarta dan Medan dalam rangka Hari Kartini.

 

ipkci_kartini_2

 

ipkci_kartini_3

 

ipkci_kartini_4

 

ipkci_kartini_1

 

ipkci_kartini_5

 

ipkci_kartini_6

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *