Mencapai Kebahagiaan: Ilusi atau Realita?

Mencapai Kebahagiaan: Ilusi atau Realita?

  • August 1, 2011

Contoh kebahagiaan mental adalah perasaan nyaman kalau kita menjalin hubungan persahabatan yang akrab. Kita menikmati pertemanan dengan sahabat-sahabat kita. Ini adalah salah satu sumber kebahagiaan mental. Tapi kebahagiaan ini tidak stabil dan tidak bisa diandalkan. Alasannya semata-mata karena persahabatan itu sendiri tidak bisa bertahan lama. Ketika kondisi berubah, maka segala sesuatu berubah, termasuk hubungan persahabatan juga bisa berubah. Situasi
dan kondisi sangat mudah berubah dan perubahan ini menimbulkan kesukaran bagi kita karena apa yang tadinya kita rasakan sebagai sumber kebahagiaan tiba-tiba saja berhenti menjadi sebab kebahagiaan kita. Ketika sebuah hubungan persahabatan mengalami perubahan, maka kebahagiaan yang timbul akibat persahabatan itu juga berubah.

Selain persahabatan, kita juga memiliki jenis hubungan lainnya, yaitu dengan orang-orang yang bahkan kehadirannya mengganggu kita. Atau orang-orang yang ketika kita memikirkan mereka, kita merasa kesal, marah, atau jengkel. Di sini, situasi yang sama juga berlaku, artinya kondisi tersebut juga tidak stabil. Orang yang tadinya kita anggap menjengkelkan bisa berubah menjadi orang yang kita senangi dan kita tidak mau berpisah darinya. Ketika berpisah darinya, kita merasa tidak nyaman, sedih, kecewa, dan sebagainya.

Kedua jenis kondisi yang dijelaskan di atas tentu sangat dipahami oleh kita semua, karena kita sudah pernah mengalaminya dan bahkan saat ini pun sedang mengalaminya. Itu sebabnya, Bodhisattwa agung, Shantidewa, mengatakan: Seseorang yang tadinya namanya tidak ingin kita dengar, bisa berubah menjadi sahabat kita yang paling dekat. Artinya, kita tidak ingin berpisah darinya. Jadi demikianlah, perasaan senang atau bahagia bisa didapatkan dari jenis-jenis hubungan dengan orang lain, tapi semua hubungan tersebut tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebahagiaan kita.

Kekayaan dan barang-barang kepemilikan juga bisa menjadi sumber kebahagiaan kita. Tapi kebahagiaan seperti ini juga tidak stabil. Kita paham sekali akan kenyataan ini. Suatu hari kita merasa nyaman dan bahagia, tapi hari berikutnya segala sesuatunya berubah menjadi bencana. Kita bisa kehilangan semua harta kekayaan kita. Itu sebabnya kita tidak bisa mengandalkan kebahagiaan kita pada kekayaan dan harta benda.

Contoh paling nyata yang bisa kita amati adalah apa yang menimpa negeri Jepang. Jepang tadinya adalah negara dengan kekuatan ekonomi nomor tiga di dunia. Negara ini sangat kuat dan kaya. Tapi dalam sekejap situasinya berubah drastis dikarenakan bencana alam. Banyak orang yang dirundung kesedihan dan penderitaan akibat peristiwa ini. Ini adalah contoh yang menimpa sebuah negara secara keseluruhan, tapi dalam tingkat pribadi perseorangan, hal yang sama juga bisa terjadi.

Tadi disebutkan bahwa kekayaan dan harta benda tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebahagiaan. Hal yang sama berlaku untuk status dan posisi kita. Sudah sering kita melihat bagaimana orang-orang yang tadinya memiliki kekuasaan dan status yang tinggi tapi akhirnya status tersebut berubah. Ini sudah sangat sering terjadi. Barangkali ada yang bertanya apakah kita bisa berharap untuk bahagia dengan mengandalkan pada kesehatan kita. Orang-orang seperti ini pun pada akhirnya harus mengakui bahwa ia tidak bisa mengandalkan kebahagiaannya pada kesehatan.

Kalau kita salah memahami faktor-faktor yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan, padahal mereka bukan sumber kebahagiaan, maka itu akan mengakibatkan penderitaan bagi kita sendiri. Kalau kita mencengkeram pada keabadian dan menganggap faktor-faktor yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan akan berlangsung selama-lamanya, berarti kita mengingkari perubahan, resiko kehilangan, dan seterusnya. Jadi, ketika situasi berubah dan pasti akan berubah, inilah yang membuat kita terkejut atau kaget. Karena kita terlanjur berharap segala sesuatu tidak berubah, maka ketika perubahan terjadi, inilah yang menyebabkan kita merasa sedih, tertipu, tidak puas, frustrasi, dan seterusnya.

Dengan demikian, cara berpikir dan sikap kita selama ini terbukti sangat tidak realistis, tidak jujur, dan cenderung mengarah pada kekecewaan dan penderitaan. Kita harus bisa melihat sikap-sikap seperti ini seperti ilusi atau bersifat ilusi, sebagaimana judul topik kita. Bersifat ilusi artinya tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dengan demikian, kita dikatakan memiliki sudut pandang yang tidak realistis, karena tidak sesuai dengan realita yang ada. Anda harus benar-benar merenungkan hal ini. Penting sekali bagi untuk bisa mengidentifikasi sumber-sumber atau penyebab yang menyebabkan kita memegang pandangan salah.

 
Transkrip lengkap dapat diunduh pada tautan di atas.
 
* * * * *
 
Dibabarkan oleh:
Yang Mulia Dagpo Lama Rinpoche Jhampa Gyatso