Atisha

atisha

Atisa (982-1054 M) dilahirkan pada keluarga kerajaan di kota Zahor dengan nama Chandragarbha, adalah anak ke dua dari raja yang berkuasa di India bagian timur yang sekarang adalah Bengal. Ayah beliau adalah Raja Kalyanasri dan Ibu beliau adalah Sri Prabhawati. Saudara tua Atisa adalah Padmagarbha dan yang terkecil adalah Srigarbha. Kerajaan tersebut bernama Vikramapura. Pada catatan akhir dari Prajna-paramita-pindartha-pradipa, Tan-gyur edisi Peking, tertulis : Teks ini mengandung dokterin dari Buddha, biksu kelahiran Bengal menulis berdasarkan sastra-sastra dan guru-vacana. Juga pada Bodhi-marga-pradipa-panjika-nama tertulis :”…Dipankara Sri jnana, a descendant of the Bengalae King… representatif dari Buddha masa kini, Dipankara Sri Jnana yang lahir di Bengal”, dan beberapa karya dari beliau mencatat hal yang sama. Pada catatan dari Tibet juga menginformasikan pada kita bahwa tempat kelahiran Atisa adalah Bengal, negeri bagian dari India.
 

Atisa sejak usia muda telah belajar Buddhis. Sebelum ditahbiskan menjadi biksu, Atisa mencari guru untuk belajar Mahayana dan Tantra. Adalah Vidyakokila Muda yang bernama Avadhutipa mengajarkan banyak Dharma pada Atisa dan beliau tinggal bersama dengan guru ini selama 7 tahun. Pada usia 29 Atisa di tahbiskan menjadi biksu oleh Silaraksa dari tradisi Mahasamghika. Dipankara atau Dipankara Sri Jana adalah nama tahbis yang diberikan oleh Silaraksa padanya. Dikatakan bahwa Atisa telah belajar pada 157 orang guru di India dan beliau menjadi seorang cendikiawan besar Buddhis pada masa itu. Atisa mengenyam pendidikan di biara Nalanda, biara Buddhis yang sangat terkenal waktu itu. Sistem pendidikan filosofis Buddhis yang ketat dan mendalam akhirnya membentuk Atisa menjadi seorang cendikiawan hebat. Atas petunjuk Tara, beliau berangkat ke Swarnadwipa untuk memperoleh pelajaran tentang Bodhicitta pada Guru Dharmakirti. Dari Gurunya Rahulagupta, Atisa menerima semua pelajaran tentang Tantra dan mengintruksikan untuk menjadikan Maha Karunika sebagai Istadewata.
 

Apa yang membuat Atisa, seorang biksu yang sangat terpelajar bersusah payah datang ke Sumatera untuk bertemu dengan Dharamkirti? Adalah mengenai Dharma apa yang seharusnya dilatih oleh seseorang agar dapat mencapai pencerahan dengan cepat, dan kesimpulan yang dicapai adalah sama-beliau harus melatih diri dalam batin pencerahan. Salah satu dewi tersebut juga menggambarkan kepada rekannya sebuah metode efektif untuk melatih diri sendiri dalam batin ini. Atisa menghentikan pradaksinanya dan mendengarkan dengan seksama, menerima apa yang mereka katakan bagaikan cairan yang dituangkan dari satu bejana ke bejana lainnya.
 

Lebih jauh lagi pada teks yang sama menjelaskan: ketika Atisa duduk dekat tembok batu yang dibangun oleh Nagarjuna, beliau melihat dua wanita tidak jauh dari sana, satunya muda dan yang satunya lagi tua. Yang tua mengatakan kepada yang muda bahwa siapapun yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat seharusnya melatih diri mereka dalam batin pencerahan. Lalu pada waktu lain, ketika melakukan pradaksina Maha Bodhi Vihara beliau mendengar kata-kata ini diucapkan dari gambar seorang Tathagata di bawah sebuah beranda: “O Bhadanta, seseorang yang berharap untuk mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya sendiri dalam kebaikan hati, cinta kasih, dan batin pencerahan.” Dan ketika melakukan pradaksina pada sebuah bangunan kecil dekat tembok batu tersebut, tidak jauh dari sana beliau mendengar gambar Buddha Sakyamuni berwarna gading berkata, “Yogi, seseorang yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya dalam batin pencerahan.”
 

Dari catatan yang kita peroleh menjelaskan bahwa hanya di Swarnadwipa-lah, oleh Dharmakirti yang telah memperoleh pelajaran inti untuk penerangan (bodhicitta), yang secara unik yakni menggabungkan dua metode yang ada menjadi satu dalam melatih kemajuan batin untuk mengembangkan bodhicitta. Pada Riwayat Guru-Guru Lamrim mengatakan : “Lebih dari itu Beliau juga menerima secara khusus silsilah dua pionir Maha Guru Mahayana: Silsilah Praktek Kebijaksanaan Mendalam oleh Maha Guru Nagarjuna dan Silsilah Praktek Metode Luas oleh Arya Asangha. Tambahan lagi Ajaran tentang Tiga jenis makhluk sesuai tahapan Jalan Menuju Pencerahan Agung yang mana kesemuanya ditransmisikan hingga masuk ke dalam hati sanubarinya dengan tanpa ada yang terlewatkan. Beliau menerapkan gabungan instruksi Abhisamayalamkara dan Prajnaparamita Sutra yang menyebabkan beliau menjadi yang terbaik dari para cendekiawan. Yang juga istimewa adalah kekuatan tekad serta keyakinan akan kebenaran bahwa dengan membangkitkan batin maha mulia Bodhicitta bagai gelombang samudra yang dahsyat maka Beliau mampu memberikan kasih sayang yang besar dan bekerja demi kepentingan segenap makhluk lain sebagaimana instruksi silsilah mendalam yang ditransmisikan dari bodhisattva Manjushri hingga Bodhisattva Shantidewa.” Lebih lanjut dalam teks menjelaskan keagungan dari Dharmakirti : “Beliau yang memiliki bodhicitta nan penuh cinta kasih dan welas asih yang mendalam dan luas kepada segenap makhluk juga memperoleh gelar Sang Metripa yang dicabut dari akar nama Bodhisattva Maitreya. Sejak itulah beliau terkenal sebagai Lama Serlingpa Metripa (Sang Pengasih dan Penyayang dari Pulau Emas).”
 

Setelah kembali dari Sumatera ke India, Raja India Mahapala meminta beliau menjadi kepala biara Vikramasila dan menduduki posisi Pendeta Tinggi. Setelah beberapa tahun kemudian, Atisa diundang ke Tibet untuk menghidupkan kembali Buddhis di tanah bersalju setelah terjadi kemerosotan oleh Raja Langdharma dari tahun 838-842 M. Beliau berangkat dari biara Vikramasila, yang menjadi kepala biara waktu itu adalah Ratnakara.
 

Atisa memberikan sumbangan yang sangat besar pada perkembangan Buddhis di masanya dan masa sekarang, terutama pada kebangkitan kembali Buddhis di Tibet. Setelah kembali dari Sumatera, beliau menyusun Bodhi-patha-pradipa (Lampu Penerangan Sang Jalan), yang menjadi teks dasar oleh Tsong Khapa (1357-1419) menyusun Jalan Bertahap Menuju Pencerahan (Lamrim) selesai pada tahun 1402 yang memberi pengaruh yang luar biasa pada para biarawan, pendeta, maupun para cendikiawan yang mempelajari filosofis Buddhis.