Dromtönpa

drom

1005 – 1064

Dromtönpa yang Berharga,

Yang menguraikan jalan mahamulia,

Oh Perhiasan Dunia,

Ku memohon padamu!1

DROMTÖNPA adalah sosok guru agung, yang dianggap sebagai emanasi Avalokiteśvara—Buddha Welas Asih—oleh orang-orang Tibet. Beliau bukan seorang bhiksu, tapi seorang genyeng, seorang upāsaka (seseorang yang menjaga sila umat awam). Berpakaian selayaknya orang Tibet, Beliau mengenakan mantel tua yang dibalik, bagian berbulu domba di dalam. Seperti kebanyakan umat awam, rambutnya panjang dan penampilannya begitu sederhana sehingga tak seorang pun yang mengira dirinya seorang guru besar. Beliau tidak menunjukkan tanda-tanda luar apa pun akan luasnya pengetahuan dan realisasi spiritual yang agung.

Suatu hari, ketika sedang berjalan kaki menuju Biara Penpo untuk memenuhi undangan mengajar, Beliau bertemu seorang yogi tak dikenal. Sang yogi bergabung bersama, bercakap-cakap sepanjang perjalanan. Cuaca ketika itu panas. Sang yogi melepaskan sepatunya dan menyerahkannya kepada Dromtönpa untuk dibawa. Dromtönpa menerima sepatu tersebut, meletakkannya di dalam ranselnya, di atas barang-barang pribadi miliknya, dan mereka pun melanjutkan perjalanan. Seiring mendekati biara mereka melewati jalur dua baris para bhiksu, beberapa dari bhiksu ini meniupkan tanduk dan terompet, sementara lainnya memegang bunga dan dupa. Yogi tersebut sangat terkejut. Upacara demikian pastilah bukan untuk dirinya karena ia belum pernah mengunjungi biara tersebut. Ia berpaling pada Dromtönpa, bertanya, “Siapa yang sedang diberikan sambutan seperti ini? Pastilah bukan diriku, karena tak seorang pun yang mengenalku di sini.”

“Sepertinya itu buat saya!” jawab Dromtönpa.

Yogi itu pun menyadari siapa sosok teman seperjalanannya. Dengan penuh rasa malu ia pergi begitu saja, tanpa repot-repot meminta kembali sepatunya!

Demikianlah penampilan seorang Dromtönpa yang begitu sederhana.

Berbicara mengenai riwayat Dromtönpa tentu tak lepas dari sosok Atiśa, gurunya yang mulia, yang datang ke Tibet untuk memperbarui Dharma, dan yang telah diramalkan oleh Tārā akan bertemu dengan seorang upāsaka luar biasa yang akan membantu tugas-tugasnya.

Dromtönpa dilahirkan di Tölung, sebuah wilayah yang keras di sebelah Utara Lhasa. Sebagai pengembara muda, Drom mengalami masa kecil yang sulit karena harus menjaga kawanan yak, serta melakukan tugas-tugas teramat sukar yang dibebankan oleh ibu tirinya yang kejam.

Pada usia tiga belas tahun, lelah menjadi korban dari perlakuan yang buruk, ia memutuskan untuk pergi dan mencari salah satu paman dari pihak ibunya di Shu. Mencermati kualitas-kualitas istimewa dan karakter kuat pada anak laki-laki muda ini, sang paman mengatur agar dirinya diasuh oleh Geshe Yung Chögön, yang mengajarinya membaca dan menulis, serta dasar-dasar Buddhisme. Geshe ini juga mengajarinya menghafal doa dan ritual. Sebagai balasan, sesuai kebiasaan, murid melayani gurunya dengan melakukan tugas-tugas rumah tangga sehari-hari, menyiapkan makanan, dan merawat hewan-hewan peliharaan. Ia melaksanakan tugas-tugas ini dengan cakap dan penuh rasa bakti selama empat tahun.

Suatu hari, Yang Mulia Setsün, kepala biara di Biara Drum yang terletak jauh di Kham, sebelah Tenggara Tibet, kebetulan menyinggahi Shu. Ketika itu Drom berusia enam belas tahun. Ia ditaklukkan oleh guru besar ini, yang atas permohonan Dromtönpa sendiri, menganugerahkan ajaran Avalokiteśvara kepadanya sebelum melanjutkan perjalanan ke India dalam rangka bertemu dengan guru-guru besar. Akan tetapi, perjalanan Yang Mulia Setsün terhalang oleh sekelompok orang yang menghadangnya untuk berdebat, dan ia pun memutuskan untuk berbalik, menempuh perjalanan sekali lagi melalui Tölung. Mendengar kabar baik ini, Drom pergi untuk menemuinya dan memohon agar dibawa ke Kham untuk dijadikan abdi. Sang kepala biara menerima dan memberitahukannya untuk bergabung pada tahun berikutnya.

Sembari menunggu, Drom pergi ke Penpo untuk menemui Chang Nanam Dorje, yang menetap dalam pertapaan di Gyel. Ia menerima sila-sila upāsaka dari guru ini, yang memberikan nama Gyelwei Jung-ne, ‘Sumber Segala Kejayaan’. Ia pun bergabung dengan sekelompok kafilah menuju Kham, menempuh perjalanan panjang penuh bahaya.

Ia berusia sembilas tahun ketika tiba di Drum. Setiap hari ia melayani sang kepala biara selama dua puluh tahun dengan bakti yang patut dicontoh, bekerja tanpa mengenal lelah, merawat kuda-kuda dan hewan ternak, dan menggiling biji-bijian sambil menghafal teks. Ia mengayak tepung dan memasak makanan. Di malam hari, ia berkeliling di sekitar kediaman gurunya, mengusir para perampok dan binatang liar. Ia bercerita kepada sesama rekan bahwa berkat keyakinannya, tak pernah ia merasakan sedikit pun rasa lelah atau pun keputus-asaan.

Di kemudian hari, Atiśa menekankan sikap luar biasa dalam melayani gurunya ini, memberitahu Dromtönpa bahwa hingga perjumpaan di antara keduanya, satu-satunya praktik yang pantas disebutkan bukanlah pengetahuan yang didapatkannya dari teks maupun yang telah dipraktikkannya, namun pada sikap berbakti teramat luar biasanya pada Guru Setsün.

Sementara itu, ketika masih di Kham, Dromtönpa berkesempatan untuk mempelajari sūtra dan tantra. Ia pun memperoleh pengetahuan sempurna akan sistem filosofi Madyamaka dan Cittamātra. Lebih lanjut, karena Buddhisme dilarang selama bertahun-tahun, ia mempertanyakan kemurnian dan keaslian ajaran dan teks, meyakini bahwa pastilah telah terjadi perubahan. agar bisa mempelajari teks dalam bahasa Dharma aslinya, Dromtönpa belajar bahasa Sanskerta pada Smirti, seorang pandita India yang telah menetap di Kham. Ketika Smirti memberitahunya bahwa pandita terbesar pada zaman itu adalah Dīpaṃkara Atiśa, seorang pandita berdarah biru, Drom lantas dipenuhi keyakinan dan keinginan teramat mendesak untuk bertemu dengannya. Tak berapa lama, mendengar bahwa Atiśa ada di Ngari, wilayah yang berbatasan dengan Nepal, ia memohon izin Guru Setsün untuk pergi ke sana. Permohonannya dikabulkan: “Pergilah temui Ayahmu”.

Dibekali oleh gurunya dengan segenap perlengkapan yang mungkin dibutuhkan, Dromtönpa berangkat dengan penuh antusias pada sebuah perjalanan teramat panjang yang mencakup wilayah Tibet dari Timur ke Barat. Ia menaruh harapan bisa membawa ‘sang ayah’ ke Ü, dan, berkat kecerdasannya, sambil berjaga-jaga ia menginformasikan dan mengumpulkan bantuan dari para penguasa terpelajar di setiap titik pemberhentiannya. Para penguasa ini setuju untuk membantu sekaligus bersukacita. Kawa Sakya Wangchuk bahwa mengusulkan agar menuliskan surat undangan untuk Atiśa. Menurut kebiasaan, dibutuhkan emas untuk secara pantas menerima kehadiran seorang guru besar berikut proses memohon kehadirannya. Ketrampilan dan kegigihan Drom memungkinkannya mendapatkan emas dalam jumlah mencukupi.

Prosedur-prosedur ini memakan waktu, dan waktu hampir habis. Atiśa bersiap-siap meninggalkan Tibet untuk pulang ke India. Drom tidak begitu mengenal keseluruhan wilayah yang dilaluinya. Ia sempat kesasar dua kali. Kali pertama, seorang bhiksu kasar menolongnya, serta merta lenyap setelah itu. Kali kedua, ia diarahkan pada jalur yang benar oleh seekor rusa. Drom bertanya-tanya, apakah Pehar, sang pelindung agama, atau Tārā, yang menjaganya untuk memastikan agar ramalannya terwujud.

Kini reputasi sang upāsaka telah tersohor hingga Sog, di mana ia menaklukkan seorang penguasa arogan yang memerintah dengan kekejaman. Trengka Berchung memohon kepada Dromtönpa untuk menjadi gurunya dan kembali untuk menetap di wilayah Rating.2 Dromtönpa pun berjanji, dengan penuh keterampilan mengajukan beberapa syarat yang sulit dengan tujuan menyembuhkan sikap tinggi hati dan serakahnya.

Perjalanan dilanjutkan dan Dromtönpa mendekati Gyeshing di Purang, di mana Atiśa melewatkan beberapa hari. Atiśa mulai putus asa untuk bisa bertemu dengan upāsaka yang disebutkan oleh Tārā dan mulai kehilangan harapan. Tārā pun muncul dalam mimpinya sekali lagi, meramalkan kedatangan ‘putranya’ dalam waktu tiga hari.

Dromtönpa baru betul-betul tiba pada hari keempat di siang hari dan langsung mencari Atiśa, yang waktu itu sedang diundang dalam sebuah jamuan makan oleh seorang yang berpengaruh. Mereka bertemu di sudut jalan dan Dromtönpa serta-merta langsung bersujud pada gurunya, yang kemudian memberkahinya. Ketika Atiśa kembali ke tempatnya menginap, Beliau menaruh vas inisiasi yang disiapkan khusus untuk tujuan ini pada kepala Dromtönpa dan menganugerahkan inisiasi Mañjuvajra, sosok utama dari sembilan belas istadewata pada maṇḍala Guhyasamāja.

Setelah melewatkan malam dengan pembahasan, Atiśa menguraikan Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan (Tib. Lamdrön) yang disusunnya atas permohonan Raja Lha Lama Jangchub Ö agar meletakkan urutan tahapan jalan menuju pencerahan yang bisa dipahami oleh jangkauan pemahaman intelektual orang-orang Tibet yang tidak terlalu tinggi.

Celakanya, tiga tahun waktu yang diberikan kepada Atiśa oleh kepala biara Vikramaśila hampir habis, dan dengan penuh penyesalan Beliau berangkat menuju perbatasan Nepal, diantar oleh Dromtönpa. Tiba di Kyirong, mereka mendapati terjadinya peperangan di antara suku-suku Nepal dan mustahil untuk beranjak lebih jauh. Apakah Tārā sedang berperan di sini?

Atiśa pun memercayakan dua pengirim pesan untuk mengantarkan surat berikut salinan asli Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan yang dialamatkan kepada kepala biara, untuk membuktikan bahwa dirinya tidak berpangku tangan bermalas-malasan, serta untuk mendapatkan dukungan dari atasan-atasannya. Ketika karya besar ini sampai di tujuan, ia serta-merta disetujui dan dikonsekrasi oleh kepala biara dan para bhiksu. Kabar lebih baiknya lagi, kepala biara memberikan izin kepada Yang Mulia Dīpaṃkara untuk menetap di Tibet dalam waktu yang tidak ditentukan.

Dromtönpa, yang masih berniat membawa Atiśa ke wilayah pusat negerinya, mendesak seluruh sarjana besar dari Tibet tengah untuk datang dengan upacara besar dan memohon agar Atiśa menetap di Ü. Mereka tiba di Latö di Mang-yul, didahului oleh Kutön, kepala biara Thangpoche dan penguasa Lume, yang sifat iri hati dan dendamnya harus ditanggung oleh Dromtönpa dengan penuh kesabaran selama bertahun-tahun.

Demikianlah dimulai suatu perjalanan panjang menuju Samye, biara Tibet pertama, yang didirikan pada abad kedelapan. Mereka tiba pada tahun 1047. Di Samye, Dromtönpa menerima sejumlah besar inisiasi tantra dari gurunya, ‘Doha’ Saraha, lingkaran Drupnying, dan metode untuk berbakti terkait aktivitas-aktivitas Samantabhadra.

Diundang oleh Kutön, Atiśa diselamatkan oleh Dromtönpa dari kondisi kotor yang diakibatkan oleh kecerobohan tuan rumah kepada Sang Paṇḍita Mulia. Dromtönpa sendiri tidak diundang. Setelah pulih dari emosi yang muncul, guru dan murid pun melanjutkan pekerjaan besar terkait terjemahan dan menyusun sekumpulan teks-teks terpilih yang tidak bisa ditemukan di India. Dan, tak perlu diragukan lagi, ajaran pun ditegakkan kembali.

Dromtönpa lalu menemani Atiśa menuju kediaman Bantön di Nyerthang. Sang Guru lanjut memberikan penjelasan Pelita Sang Jalan kepada Dromtönpa, sambil berujar, “Saya tidak bisa menemukan orang lain kecuali dirimu untuk diberikan ajaran berharga ini.” Di Nyerthang jugalah sang ayah spiritual dan putranya memperkuat jalinan di antara keduanya, sang ayah mendoakan agar putranya memiliki masa depan cerah dan banyak murid, sedangkan putranya berkeinginan membalas jasa sang ayah dengan mempersembahkan realisasi-realisasinya, satu-satunya persembahan sejati yang bisa dipersembahkan kepada seorang guru.

Di tahun 1050 Atiśa meninggalkan Nyerthang menuju Yerpa atas undangan Jgog Jangchub Jung-ne. Pada waktu ini, Dromtönpa pulang kembali ke keluarganya. Ketika kembali, ia melakukan persembahan mewah kepada Atiśa, bukan karena nilai biasa sebuah barang – ia tahu Sang Guru Mulia tidak memiliki kemelekatan pada kekayaan materi maupun simbol-simbol kehormatan – tapi semata-mata untuk memungkinkan dirinya menyatukan akumulasi kebajikan dan kebijaksanaan demi kebahagiaan semua makhluk.

Di Yerpa juga lah Kutön menyadari kualitas istimewa Dromtönpa. Dengan keyakinan dan kekaguman, ia meminta maaf atas kelakuannya di masa lalu. Dromtönpa memperlakukan Kutön dengan penuh penghargaan tinggi terlepas dari sifat buruknya, serta menerima permohonan maaf dengan segenap kebaikan hatinya.

Kembali ke Nyerthang, guru dan murid melanjutkan aktivitas-aktivitas hebatnya, namun kekuatan Atiśa mulai melemah, dan kepergiannya semakin mendekat. Terlepas dari ini, Nagtso, penerjemah resmi Atiśa, sekaligus teman lama Dromtönpa, memutuskan untuk pergi ke Nepal untuk bertemu dengan Jñānakara, muridnya Nāropa. Sebelum berpisah dengan Nagtso dan mendoakan kelancaran perjalanan padanya, Dromtönpa menjabarkan garis-garis besar Untaian Nilai-nilai Manusia. Karya ini, yang diperuntukkan bagi Nagtso, terdiri dari sekumpulan kaidah berperilaku yang tepat, dirancang untuk para praktisi yang harus menghadapi kenyataan-kenyataan di dunia. Terlepas dari referensi geografis dan kebiasaan yang berlaku pada zaman Dromtönpa, secara menakjubkan ajaran ini masih sangat relevan hingga hari ini.

Rekan-rekan Dromtönpa memilihnya untuk menjadi pemegang silsilah Atiśa, dengan pertimbangan tak seorang pun yang melayani sang guru sebaik dirinya. Atiśa sendiri mengukuhkan pilihan ini pada setiap muridnya, dan merekomendasikan bahwa sejak saat itu mereka haruslah mengikuti ‘Sang Pembimbing Agung’, julukan Atiśa untuknya. Atiśa memberikan objek-objek persembahan pribadinya kepada Dromtönpa dan menasihatinya untuk menyebar-luaskan Ajaran ke seantero Tibet, serta mendirikan biara di Rating. Barangkali masih ada yang ingat, Dromtönpa pernah berjanji kepada Trengka Berchung untuk kembali setelah gurunya memasuki nirvāṇa. Ini terjadi di tahun 1054.

Di Nyerthang, Dromtönpa mendirikan sebuah kuil yang dipersembahkan kepada Tārā. Setelah menetap di wilayah kelahirannya tanpa melakukan sesuatu hal yang bermanfaat, ia pun berangkat menuju Rating, bersama-sama dengan empat murid terdekat Atiśa, Ame, Sherab Dorje, Chagdar Tönpa, dan Gönpawa. Mereka tiba di Rating pada tahun 1056.

Dromtönpa memutuskan untuk mendirikan biara di atas padang rumput luas, konon di mana bagal yang membawa relik Atiśa merebahkan dirinya, berkeras tidak mau beranjak. Walaupun rekan-rekan bhiksunya menolak, Dromtönpa melakukan konsekrasi tanah dan mengerjakan bagian pertama proses pembangunan. Di tahun 1057, ia menyerahkan sisa pekerjaan pembangunan biara, memutuskan untuk mendedikasikan sisa hidupnya pada ajaran dan mempraktikkannya. Ia berhasil mendirikan tradisi Kadampa dan memerintah biara pertama dengan tangan besi – ia hanyalah seorang upāsaka biasa! Ia menegakkan aturan-aturan monastik, tidak segan-segan mendidik para bhiksu muda dengan menjelaskan bagaimana mereka seharusnya menghormati komitmen dan sumpah, serta bagaimana mereka seharusnya berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, cara berpakaian, cara duduk, dan cara makan. Singkatnya, ia mengajarkan para bhiksu cara menjalankan hukum sebab-akibat dengan terus-menerus menjaga ketiga pintu (tubuh, ucapan, dan batin).

Mengikuti nasihat yang diberikan oleh Atiśa menjelang kematiannya, Dromtönpa mentransmisikan ketiga silsilah kepada “Tiga Bersaudara”, Potowa, Chen-ngawa, dan Phuchungwa, yang dianggap oleh sang guru sebagai inkarnasi para Buddha.

Dromtönpa bekerja terus-menerus tanpa mengenal lelah di sepanjang hidupnya. Mengikut jejak Atiśa, ia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mendorong para bhiksu dan umat awam untuk mempraktikkan cinta kasih dan welas asih, dan membangkitkan batin pencerahan. Ia tidak menunjuk penggantinya, tapi menasihati murid-muridnya untuk menganggap sutra-sutra sebagai guru mereka. “Lebih baik mengikuti sahabat-sahabat yang lebih unggul, membentuk kelompok dan komunitas, dan mengembangkan kebaikan hati, yaitu, batin pencerahan.”

Gyelwai Jung-ne secara sengaja mempertahankan pilihannya menjadi seorang umat awam, untuk memastikan dirinya bisa diterima oleh semua orang, dan di atas segala-galanya, demi orang-orang yang hanya memiliki sedikit kepemilikan, yang rumah-rumah mereka dikunjungi dengan penuh kesederhanaan, berpakaian seadanya, tanpa kawalan. Ia mempraktikkan kemurahan hati tanpa batasan, menyediakan dirinya bagi setiap orang yang ditemuinya, tidak segan-segan memberikan nasihat, dan memberikan contoh dengan membaktikan dirinya tanpa mengenal lelah pada praktik spiritualnya. Ia juga berkeinginan memberikan bukti bahwa umat awam pun bisa mencapai realisasi-realisasi tertinggi.

Orang-orang Tibet menganggap Dromtönpa sebagai emanasi Avalokiteśvara, sang pelindung. Sebagai bukti, mereka menunjuk rupang Dromtönpa di Biara Talung, yang rambutnya terus tumbuh!

Bersama Milarepa dan Tagtungu, Dromtönpa sering dirujuk sebagai teladan dalam ajaran-ajaran tentang cara yang benar dalam bertumpu kepada seorang guru spiritual. Ketiga sosok ini menghidupkan keyakinan teramat kuat dan sikap tidak mementingkan diri sendiri yang derajatnya tak kurang dari pengetahuan dan welas asih mendalam para guru yang berpencapaian agung.

Sumber : Biographies of the Lamrim Masters, Old Kadampa, An Anthology compiled from Tibetan Sources by Students of Venerable Dagpo Lama Rinpoche, Suvarna Dharma Chakra Loka Foundation.

1 Bait yang diambil dari Untaian bagi Yang Beruntung, disusun oleh Dagpo Lama Rinpoche, hak cipta Dagpo Rinpoche, Éditions Guepele, 2005.

2 Biara Rating juga biasanya disebut Biara Radreng.