Guru Suvarnadvipa

7-Guru Suwarnadwipa copy1

Kata pa (Tibet) secara harfiah berarti ‘orang’, sehingga gSer-gling-pa berarti orang yang berasal dari Serling atau Suvarṇadvīpa. Nama asli Guru Suvarṇadvīpa adalah Dharmakirti. Pada banyak catatan yang ditemukan tentang Beliau, hanya tercatat bahwa Atiśa pernah berlayar selama empat belas bulan (ada yang mengatakan tiga belas bulan) dari Benggal (India) menuju Suvarṇadvīpa pada usia 31 tahun. Perjalanan pelayaran ini dimulai pada tahun 1012 Masehi (ada juga yang mengatakan 1013 Masehi).

 

Atiśa tinggal di Suvarṇadvīpa selama tiga belas tahun lamanya untuk belajar Buddhadharma bersama Dharmakirti, seorang guru Buddhis yang sangat terkemuka1 yang tinggal di ibukota Sriwijaya. Dikatakan dalam Riwayat Kehidupan Para Guru Lamrim, bahwa Dharmakirti pernah pergi ke Jambudvīpa (India) untuk belajar di bawah Sri Ratna dan menjadi biksu di bawah guru ini.2 Dikatakan juga Dharmakirti lahir dari keluarga kerajaan Sriwijaya.

 

Di manakah Suvarṇadvīpa sebenarnya? Dari arti kata Sanskerta suvarna berarti emas dan dvīpa berarti pulau. Suvarṇadvīpa berarti pulau emas. Apakah artinya pulau yang terdapat banyak emas atau pulau yang tanahnya kuning mirip emas?

 

Keterangan tentang lokasi Suvarṇadvīpa dapat disimpulkan dari beberapa catatan yang pernah ditemukan. Catatan yang cukup jelas terdapat di Tan-gyur3 pada bagian Abhisamaya-alaṃkāra-nama-prajñāpāramitā-upadesa-sastra-vrtti-durbodha-aloka-nama-tika edisi Peking, pada bagian catatan akhir tertulis: “Ditulis oleh Dharmakirti atas permohonan Raja Sri-Cudamaniwarman pada tahun ke 10 masa pemerintahan Raja Cudamaniwarman di Vikjayanagara dari Swarnadvīpa.” Dan pada bagian katalog Cordier4 menuliskan pengarang dari teks tersebut adalah Acarya Dharmakirti dari Suvarṇadvīpa dan ia menambahkan: “Karya tersebut ditulis pada zaman kekuasaan Dewa-Sri-Warman-Raja, Cudamanialias Cudamanimanpada, di Malayagiri wilayah Wijayanagara dari Swarṇadvīpa.” Kita dapat menafsirkan bahwa Wijayanagara adalah ibukota dari kerajaan Suvarṇadvīpa dan Sriwijaya adalah sama dengan Kerajaan Sriwijaya. Dengan demikian Suvarṇadvīpa dipastikan adalah pulau Sumatera yang berada di Indonesia.

 

Dari catatan Cina kita dapat memperoleh keterangan bahwa pada tahun 1003 M, Raja Sri Culamaniwarman mengirim dua utusan ke negeri Cina untuk membawa upeti. Dan pada tahun 1008 datang lagi utusan dari raja yang sama ke Cina.5 Dengan demikian dapat kita perkirakan Dharmakirti menulis risalah Sutra Prajñā Pāramitā tersebut berkisar pada permulaan abad XI. Dapat pula dipastikan bahwa Atiśa datang ke Suvarṇadvīpa pada masa pemerintahan Raja Cudamaniwarman. Anak Raja Cudamaniwarman, Raja Mara Wijayottunggawarman, menyumbang dan mendirikan vihara di Universitas Nalanda, India Selatan atas nama ayahnya.

 

Dalam risalah Lamrim6 dijelaskan pula bagaimana Atiśa pertama kali tiba di Sumatera. Dikatakan bahwa Atiśa tiba di Sumatera bersama dengan seorang murid yang bernama Ksitigarbha. Beliau tidak langsung bertemu dengan Guru Dharmakirti, tetapi ia tinggal dan berdiam di daerah murid Guru Dharmakirti untuk memperoleh informasi tentang sang guru tersebut dari para muridnya. Setelah mengetahui kedatangan Yang Mulia Atiśa, Guru Dharmakirti mengumpulkan para biksu di tempat kediamannya menuju tempat Atiśa tinggal guna menyambut kedatangan seorang guru besar dari India.7

Pada bagian Lamrim yang lain lebih jelas diterangkan bahwa rombongan Guru Dharmakirti sebanyak 597 orang, di antaranya 535 adalah biksu, mengenakan jubah kebiksuan lengkap, membawa mangkuk biksu dan tongkat khakkhara. Akan tetapi tidak diterangkan warna jubah yang dikenakan oleh para biksu ketika itu. Tetapi rombongan Atiśa mengenakan jubah yang dicelup dengan pewarna saffron dari Kasmir, membawa mangkuk biksu dan khakkhara, juga mengenakan topi pandit dan membawa pengusir serangga dari ekor yak.

 

Tidak ada yang tahu sampai kapan Guru Besar Dharmakirti hidup. Catatan dari Tibet menerangkan Beliau hidup hingga usia 150 tahun dan bertempat tinggal di Suvarṇadvīpa ketika Atiśa mencapai kedudukan tertinggi sebagai pandit besar di biara Vikramasila di India.8

Beberapa karya dari Dharmakirti yang masih bisa dilacak dari Tan-gyur9 antara lain Śikṣa-samuccaya-abhisamaya-namah. Pada catatan akhir dari karya ini dituliskan pengarangnya adalah Ser-ling-gyalpo-pal-dan cho-kyon, yang artinya Sri Dharmapala dari Suvarṇadvīpa.10 Ada banyak diskusi tentang Dharmakirti dan Dharmapala. Sebagian sarjana mengatakan kedua orang tersebut adalah sama, sebagian menerangkan tidak. Sayangnya kita tidak menemukan banyak catatan maupun informasi tentang hal ini. Khusus tentang hal ini, pada catatan akhir dari Satya-dvaya-avatara oleh Dipankara menyebutkan nama seorang guru Mahāyāna Dharmapala, raja dari Suvarṇadvīpa.11

 

Sedangkan dari catatan Atiśa sendiri yang tercantum pada risalah di literatur Tibet, “Saya tidak membuat perbedaan antara guru yang satu dengan guru lainnya, akan tetapi karena kebaikan hati Mahaguruku dari Pulau Emas, saya memperoleh (sejengkal kebaikan hati, bodhicitta) kedamaian batin, dan hati yang mengabdi.”

 

Yang Mulia Atiśa menghabiskan masa belajar selama 13 tahun di Sumatera yang akhirnya membawanya menjadi seorang guru besar filosofis Mahāyāna dan Logika yang tersohor. Tak diragukan lagi bahwa Dharmakirti-lah yang membuat Atiśa menjadi seorang pandit besar.

Sumber:

Kata Sambutan Edisi Bahasa Indonesia

oleh Biksu Bhadra Ruci

Pembebasan di Tangan Kita

Jilid 1 – Pendahuluan

hal. xxxii – xxxvi

Penerbit Kadam Choeling

Bandung 2008

1 Chattopadhyaya Alka. Atiśa and Tibet. Motilal Banarsidass Publ., New Delhi, 1996.

2 Lamrim Namtar.

3 Chattopadhyaya Alka. Atiśa and Tibet. Motilal Banarsidass Publ., New Delhi, 1996.

4 Ibid.

5 Poesponegoro, Marwati D. Sejarah Nasional Indonesia II. Balai Pustaka, Jakarta, 1984.

6 Tsongkhapa, Lamrim Chenmo.

7 Dhargyey, Ngawang Geshe. An Anthology of Well-Spoken Advice on the Graded Path of the Mind. Library of Tibetan Works and Archive, Dharmsala.

8 Chattopadhyaya Alka. Atiśa and Tibet. Motilal Banarsidass Publ., New Delhi, 1996.

9 Bagian dari Tripitaka teks Tibet, terdiri dari risalah-risalah yang ditulis oleh guru-guru India.

10 Chattopadhyaya Alka. Atiśa and Tibet. Motilal Banarsidass Publ., New Delhi, 1996.

 

11 Ibid.