Memperingati International Year of Tsongkhapa

  • March 28, 2019

Memperingati 600 Tahun Parinirwana Sang Raja Dharma

Dalam sebuah konferensi pers di Dharamsala, India, tanggal 22 Februari 2019 lalu, pemangku takhta tertinggi aliran Gelug Gaden Tripa Lobsang Tenzin selaku perwakilan Yayasan Gelug Internasional (Geluk International Foundation) yang Beliau kepalai mengumumkan tahun 2019 sebagai “International Year of Tsongkhapa” atau “Tahun Tsongkhapa Internasional”. Pengumuman ini dibuat untuk memperingati 600 tahun parinirwana guru Dharma Je Tsongkhapa. Gelug International Foundation telah menjadwalkan serangkaian kegiatan seperti debat, lomba esai, pengajaran Dharma, penerbitan buku, serta pelafalan mantram untuk mengisi International Year of Tsongkhapa ini. Puncak perayaan akan diselenggarakan di Biara Ganden pada bulan Desember 2019 dan akan dihadiri oleh Yang Maha Suci Dalai Lama XIV.

Ketika mendengarkan khotbah Buddha Shakyamuni, seorang putra brahmana membangkitkan Bodhicita. Ia mempersembahkan sebuah mala kristal kepada Sang Buddha sambil bertekad untuk mencapai penerangan sempurna demi menolong semua makhluk. Sang Buddha menerima persembahan itu dan memberikan sebuah ramalan. Putra brahmana ini akan terlahir kembali di Tibet sebagai biksu bernama Losang Drakpa (Bahasa Sansekerta: Sumati Kirti) dan mendirikan biara terkenal bernama Ganden di daerah Lhasa. Sang putra brahmana kemudian ditahbiskan menjadi biksu dengan nama Harum-Seroja.

Buddha Shakyamuni memiliki sebuah keong berharga persembahan dari raja naga yang hidup di Danau Anavatapta dan digunakan untuk mengumpulkan para siswa untuk mengikuti pengajaran Dharma. Sang Buddha memberikan keong itu kepada Arya Maudgalyayana untuk disimpan di Gunung Kokpa di dekat Lhasa dan meramalkan bahwa Biksu Harum-Seroja akan mengambilnya di masa mendatang. Beberapa abad kemudian, Losang Drakpa yang lebih dikenal dengan gelar “Je Tsongkhapa” menemukan keong tersebut dan menginstruksikan muridnya untuk mendirikan Biara Ganden, salah satu biara terbesar dan terpenting tradisi Gelug, di tempat keong itu ditemukan. Keong sakral itu kemudian digunakan sebagai ‘keong pengumpul’ pada Upacara Besar Pemanjatan Doa (Monlam Chenmo) di Lhasa.

Demikianlah secuplik riwayat Je Tsongkhapa, guru Dharma abad XIV yang amat berpengaruh terhadap Buddhisme di dunia. Diyakini sebagai emanasi dari Bodhisatwa Manjushri yang termashyur akan kebijaksanaannya, Je Tsongkhapa merupakan cendekiawan besar yang telah mencapai realisasi dalam Sutra dan Tantra. Kitab karya Beliau telah menjadi inspirasi yang membantu banyak sekali guru-guru dan praktisi Buddhis mencapai realisasi yang sama. Beliau juga merintis tradisi Gelugpa atau Kadampa Baru, satu dari 4 tradisi utama Buddhisme Tibet yang mengedepankan disiplin monastik serta pembelajaran filsafat, kitab suci, dan logika sebagai bahan untuk praktik dan meditasi yang menyeluruh.

Siapakah Je Tsongkhapa?

Ketika mendengarkan khotbah Buddha Shakyamuni, seorang putra brahmana membangkitkan Bodhicita. Ia mempersembahkan sebuah mala kristal kepada Sang Buddha sambil bertekad untuk mencapai penerangan sempurna demi menolong semua makhluk. Sang Buddha menerima persembahan itu dan memberikan sebuah ramalan. Putra brahmana ini akan terlahir kembali di Tibet sebagai biksu bernama Losang Drakpa (Bahasa Sansekerta: Sumati Kirti) dan mendirikan biara terkenal bernama Ganden di daerah Lhasa. Sang putra brahmana kemudian ditahbiskan menjadi biksu dengan nama Harum-Seroja.

Buddha Shakyamuni memiliki sebuah keong berharga persembahan dari raja naga yang hidup di Danau Anavatapta dan digunakan untuk mengumpulkan para siswa untuk mengikuti pengajaran Dharma. Sang Buddha memberikan keong itu kepada Arya Maudgalyayana untuk disimpan di Gunung Kokpa di dekat Lhasa dan meramalkan bahwa Biksu Harum-Seroja akan mengambilnya di masa mendatang. Beberapa abad kemudian, Losang Drakpa yang lebih dikenal dengan gelar “Je Tsongkhapa” menemukan keong tersebut dan menginstruksikan muridnya untuk mendirikan Biara Ganden, salah satu biara terbesar dan terpenting tradisi Gelug, di tempat keong itu ditemukan. Keong sakral itu kemudian digunakan sebagai ‘keong pengumpul’ pada Upacara Besar Pemanjatan Doa (Monlam Chenmo) di Lhasa.

Demikianlah secuplik riwayat Je Tsongkhapa, guru Dharma abad XIV yang amat berpengaruh terhadap Buddhisme di dunia. Diyakini sebagai emanasi dari Bodhisatwa Manjushri yang termashyur akan kebijaksanaannya, Je Tsongkhapa merupakan cendekiawan besar yang telah mencapai realisasi dalam Sutra dan Tantra. Kitab karya Beliau telah menjadi inspirasi yang membantu banyak sekali guru-guru dan praktisi Buddhis mencapai realisasi yang sama. Beliau juga merintis tradisi Gelugpa atau Kadampa Baru, satu dari 4 tradisi utama Buddhisme Tibet yang mengedepankan disiplin monastik serta pembelajaran filsafat, kitab suci, dan logika sebagai bahan untuk praktik dan meditasi yang menyeluruh.

Kontribusi Je Tsongkhapa terhadap Buddhadharma

Je Tsongkhapa merupakan guru agung yang memiliki pemahaman mendalam dan realisasi agung terhadap keseluruhan Sutra dan Tantra. Je Tsongkhapa dengan mahir menunjukkan bahwa Sutra dan Tantra bukanlah praktik yang bertentangan, melainkan ajaran Buddha yang saling melengkapi. Beliau menerima ajaran dari banyak guru berkualitas, bahkan dari penampakan langsung Arya Manjushri sendiri. Semua pemahaman Beliau terhadap Buddhadharma dituangkan dalam banyak risalah yang terbukti membantu banyak orang meraih berbagai tingkatan spiritual. Salah satu karya Beliau yang terpenting adalah Lamrim Chenmo atau “Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan”, sebuah ulasan terhadap kitab “Bodhipathapradipa” karya Guru Atisa Dipankara, pandit besar yang mereformasi Buddhisme Tibet abad XI dan diyakini sebagai salah satu kehidupan lampau Je Tsongkhapa. Risalah ini mengandung pokok-pokok ajaran filsuf besar Buddhis Nagarjuna dan Asanga secara lengkap dan terperinci memaparkan tahapan demi tahapan yang harus dilalui seorang praktisi Dharma untuk mendisiplinkan batin hingga dapat mencapai pencerahan. Struktur dalam risalah inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Lamrim dan menginspirasi banyak guru-guru besar lainnya menggubah teks Lamrim lain menggunakan struktur serupa. Enam ratus tahun setelah parinirwana, kitab Lamrim Chenmo dan ajaran Lamrim secara umum masih dipelajari oleh umat Buddha di seluruh dunia.

Warisan lain dari Je Tsongkhapa yang tak kalah penting adalah tradisi Gelugpa atau Kadampa Baru yang, satu dari 4 aliran utama dalam Buddhisme Tibet yang didirikan oleh Khedrup Je, salah satu murid utama Beliau. Ada dua hal yang menjadi ciri khas tradisi Gelugpa yang juga berperan penting dalam pelestarian Buddhadharma, yaitu disiplin monastik atau Winaya dan sistem pembelajaran tekstual.

Buddha Shakyamuni sendiri pernah mengatakan bahwa Dharma dapat bertahan selama ada Sangha yang mewarisi dan menjaga ajaran. Keutuhan Sangha sendiri bergantung pada kemurnian sila-sila monastik yang diambil oleh para biksu atau biksuni. Jika sila dijaga dengan baik, maka Sangha akan bertahan lama. Disiplin dalam menjaga sila monastik ini amat ditekankan dalam tradisi Gelugpa. Biara-biara Gelugpa dikenal memiliki disiplin yang amat ketat. Tingginya disiplin ini tentunya berkontribusi terhadap lestarinya tradisi Buddhis yang masih bertahan hingga sekarang, bahkan hingga menginspirasi komunitas Buddhis modern di mancanegara.

Satu hal lagi yang menarik dari tradisi Gelugpa adalah sistem pendidikannya. Tradisi Gelugpa menitikberatkan pada studi literatur secara mendalam. Sejak usia dini, orang-orang yang belajar di institusi biara sudah diakrabkan dengan kitab-kitab penting dalam Buddhisme. Para biksu dalam tradisi Gelugpa harus bisa memahami, bahkan menghafal isi kitab-kitab tersebut. Pemahaman seorang praktisi diperdalam melalui debat filosofis dan ditanamkan di dalam batin serta dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui perenungan dan meditasi. Sistem pembelajaran ini tak jauh berbeda dengan pendekatan ilmiah sehingga dengan mudah diterima oleh pencari spiritual modern dan menjadikan Buddhisme Tibet populer di dunia Barat dan terus berkembang hingga sekarang. Tradisi menghafal juga dapat mengantisipasi lenyapnya Buddhadharma akibat penghancuran teks Dharma dan kuil-kuil yang tak jarang terjadi dalam perkembangan dunia.

Je Tsongkhapa, Indonesia, dan KCI

Je Tsongkhapa secara khusus juga memiliki koneksi dengan Buddhadharma Nusantara. Beliau mewarisi ajaran dari silsilah Guru Atisa yang pada masanya merupakan murid utama dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, mahaguru dari Sriwijaya yang dulu mengajar di Nusantara. Melalui aktivitas-aktivitas Beliau melestarikan dan mengembangkan Buddhadharma dari silsilah Guru Atisa, Je Tsongkhapa telah turut melestarikan Buddhadharma Nusantara yang diajarkan oleh Guru Suwarnadwipa. Ketika Buddhadharma di Nusantara merosot dan banyak kitab dan ajaran hilang, Dharma Nusantara tetap hidup berkat Guru Atisa dan Je Tsongkhapa dan terjaga hingga bisa kembali lagi sekarang.

Kadam Choeling Indonesia mengemban misi untuk mengembalikan Dharma Nusantara yang hilang kepada Bangsa Indonesia dengan mempraktikkan Lamrim dan melanjutkan tradisi Gelugpa warisan Je Tsongkhapa. Tradisi luhur ini telah diturunkan kepada kita dalam garis silsilah autentik melalui guru utama kita, Yang Mulia Dagpo Rinpoche Jhampel Jampa Gyatso. Selama 30 tahun, Guru Dagpo Rinpoche telah bekerja untuk menanamkan kembali benih-benih Dharma Nusantara di Indonesia melalui ajaran Je Tsongkhapa. Puncaknya adalah pendirian Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling, biara Gelugpa pertama di Asia Tenggara yang secara lengkap mempelajari Sutra dan Tantra. Oleh karena itu, sudah sepatutnya keluarga besar KCI selaku ahli waris dan putra-putri silsilah dari Je Tsongkhapa turut mengenang dan mewartakan jasa-jasa Beliau yang telah berkarya sedemikian rupa mengembangkan Buddhadharma Nusantara hingga dapat bertahan selama 600 tahun sejak Beliau parinirwana. International Year of Tsongkhapa yang dicetuskan oleh Gelug International Foundation pada tahun 2019 ini menjadi momen yang tepat untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada Je Tsongkhapa serta para guru-guru spiritual dengan meningkatkan praktik Dharma kita dan mengumpulkan sebanyak mungkin karma kolektif agar Dharma yang mulia dapat bertahan di Indonesia dan dunia untuk selama-lamanya.