Sekali Lagi Merenungkan Kematian di Hari Saka Dawa

Sekali Lagi Merenungkan Kematian di Hari Saka Dawa

  • June 12, 2020

Saka Dawa adalah perayaan Waisak berdasarkan penanggalan Tibet. Biasanya Saka Dawa jatuh pada satu bulan setelah Hari Waisak internasional. Seperti tahun ini, Waisak jatuh pada tanggal 7 Mei sedangkan Saka Dawa jatuh pada tanggal 5 Juni. Untuk menyambut Hari Saka Dawa yang penuh berkah tersebut, Yang Mulia Biksu Bhadra Ruci kembali memberikan pengajaran Dharma secara daring melalui platform Youtube channel Kadam Choeling Indonesia pada pukul 19.00 WIB. Secara garis besar, pengajaran Dharma saat momen Saka Dawa tersebut mengingatkan kita kembali mengenai topik kematian, salah satu topik yang juga sempat disinggung oleh Y.M. Suhu sendiri dalam intensive Lamrim online class Espresso Dharma untuk Indonesia beberapa pekan lalu. Berikut adalah cuplikan singkat mengenai pengajaran Dharma yang dibabarkan Y.M. Suhu di hari Saka Dawa.

Kehidupan Saat Ini Begitu Singkat

Y.M. Suhu mengawali sesi pengajaran Dharma kali ini dengan menganalogikan kehidupan saat ini bagaikan sebuah titik pada garis bilangan yang panjang. Garis yang membentang sebelum titik adalah kehidupan-kehidupan lampau kita yang tidak terhingga sedangkan garis yang membentang setelah titik adalah kehidupan-kehidupan kita mendatang yang juga tak terhingga. Berdasarkan analogi ini, Y.M. Suhu mengingatkan bahwa kehidupan yang saat ini kita jalani amatlah singkat jika dibandingkan dengan kehidupan-kehidupan lampau ataupun kehidupan-kehidupan yang akan datang.

Lebih lanjut, Y.M. Suhu juga berkata, “Hidup itu singkat. Jangan bodohi diri sendiri. Waktu untuk melakukan sesuatu yang benar-benar berharga tidak ada.” Dalam menjalani kehidupan, sering kali kita membodohi dan menipu diri kita sendiri mengatakan dan berpikiran bahwa kehidupan kita masih panjang. Kita sibuk merancang rencana, padahal detik ini juga kita bisa mengalami kematian jika memang kita memiliki karma untuk mati saat itu juga. Mirisnya lagi, waktu kita yang amat singkat itu semua kita dedikasikan untuk hal-hal yang tidak benar-benar berharga. Kita tidak pernah meluangkan dan menyempatkan waktu untuk melakukan hal yang benar-benar berharga, yakni berpraktik Dharma – satu-satunya hal yang mampu kita bawa saat kematian menjemput. Untuk itu, salah satu fungsi kematian adalah menyadarkan bahwa kita tidak punya banyak waktu.

Kita Mati Setiap Saat

Selanjutnya paparan dari Y. M. Suhu adalah kurang lebih berbunyi bahwa, “Setiap detik, pikiran kita berubah. Saat sudah di detik sekarang, kita di detik-detik sebelumnya telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah selalu berubah dan tidak kekal: momen pertama belum tentu dibawa ke momen kedua. Tapi, pikiran kita selalu menganggap bahwa kita kekal dan selalu abadi.”

Bagi saya sendiri, pernyataan Y.M. Suhu tersebut begitu menohok. Saya pun kembali dibuat berdecak kagum dengan pernyataan Y.M. Suhu. Sulit rasanya untuk tidak terkagum-kagum saat Y.M. Suhu memberikan ajaran. Saya juga merenungkan pernyataan tersebut dengan melihat bahwa kehidupan bagaikan babak detik. Jika detik yang lalu telah mati, tidak akan terbawa di momen kedua, dan akan dilupakan begitu saja di saat detik yang sekarang; maka, demikianlah dengan hidup. Kehidupan sekarang juga akan berlalu, mati, tidak akan dibawa, dan dilupakan begitu saja pada kehidupan kita yang selanjutnya. Lantas, mengapa kita masih memegang begitu erat kehidupan saat ini?

Y.M. Suhu kemudian mengajak kita untuk sedikit merenung. Jika kita setiap detik saja mengalami perubahan, kita juga dihadapkan dengan kemungkinan perubahan-perubahan besar. Sudah siapkah kita? Saat kita dihadapkan dengan fakta samsara yang tidak sesuai dengan persepsi kita, mampukah kita tidak kelimpungan dan tidak panik? Mampukah kita menerimanya? Y.M. Suhu pun memberi kita jawaban atas pertanyaan yang Beliau sendiri lontarkan. Kata Y.M. Suhu, kita perlu banyak berpikir dan merenung, khususnya topik kematian agar kita sadar bahwa kita ini sebenarnya tidak siap dengan perubahan kecil ataupun perubahan paling besar (kematian). Dengan menyadari ini, kita bisa mendorong untuk membekali diri kita dengan Dharma.

Kematian-Kematian Kecil

Tidak hanya mati setiap saat, Y.M. Suhu juga mengingatkan bahwa kita juga dihadapi dengan kematian-kematian kecil, seperti misalnya patah hati, rumah kebakaran, orang tua meninggal, dan sebagainya. Kematian-kematian ini saja bisa membuat kita hancur bukan kepalang. Bagaimana jika kita menghadapi kematian yang sesungguhnya – momen kita mengalami kehilangan semua hal yang kita punya tanpa kecuali? Untuk bisa menerima kematian yang sesungguhnya, kita harus mampu memulainya dengan belajar menyelesaikan kematian-kematian kecil milik kita.

Kita bisa bilang masalah-masalah kita (merujuk kematian-kematian kecil) terselesaikan, padahal belum tentu. Bisa jadi masalah itu hanya terlewati saja. Masalah yang terselesaikan itu melalui proses jungkir balik dan kontemplasi sehingga kita bisa mendapatkan suatu pembelajaran. Tapi, masalah yang terlewati itu hanya melupakan saja, suatu saat kalau bertemu suatu kondisi bisa jadi kambuh kembali, kita tidak mendapatkan apa-apa.

Kematian dan Praktik Dharma

Poin terakhir, Y.M. Suhu mengaitkan kematian dengan praktik Dharma. Y.M. Suhu mengatakan bahwa sering kali kita tidak memiliki alasan yang kuat untuk berpraktik Dharma. Padahal jika direnungkan, kita punya alasan yang amat kuat dan logis untuk berpraktik Dharma, yakni sebagai bekal kita untuk menghadapi kematian. Untuk itu, kerahkan seluruh kesempatan kita yang ada untuk benar-benar berpraktik Dharma dan menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian. Lebih lanjut, Y.M. Suhu memberi kita sebuah ujaran untuk direnungkan, “Jika saya tidak bisa menghadapi momen kematian saya, percuma saya hidup.”

Kematian memberikan manfaat dan arti bagi praktik kita, membuat kita tahan lama untuk berpraktik. Selain itu, perenungan akan kematian memberikan kekuatan besar untuk melawan kekotoran batin (kemalasan, kemarahan, kemelekatan, kebencian, dan sebagainya). Perenungan akan kematian juga memberikan nilai besar, khususnya bagi yang mandek dalam berpraktik, yakni bisa sebagai pendorong untuk kembali fokus dan semangat dalam berpraktik.

Merenungkan kematian dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana seperti misalnya mengamati detik jam yang terus berjalan ataupun mengamati lilin yang menyala hingga berangsur-angsur semakin pendek dan akhirnya padam. Dengan perenungan semacam ini, kita bisa menyadari bahwa membuang waktu kita sama saja membuang potensi yang kita miliki. “Waste your time, waste your potential,” ujar Y.M. Suhu.

Perenungan kematian berdampak terhadap perenungan terhadap samsara. Tanpa memeditasikan kematian (motivasi awal dalam Lamrim), kita gagal memeditasikan penderitaan samsara (motivasi menengah dalam Lamrim) sehingga gagal memeditasikan Bodhicitta juga (motivasi agung dalam Lamrim). Untuk itu, kita perlu banyak merenung, khususnya topik kematian sehingga lama-lama hati dan ego kita yang keras bisa menjadi lembut. Namun, perenungan harus dilakukan secara bertahap karena perenungan yang tidak urut tidak akan menghasilkan apa-apa.

Sekali lagi, sebagai penutup, Y.M. Suhu memgingatkan kita untuk kerap merenungkan kematian dengan tidak hanya fokus pada kehidupan ini saja karena jika kita hanya memikirkan kehidupan ini saja, sudah tentu kita akan menderita. Sia-sia saja kita merawat tubuh jasmani kita (merujuk juga pada aspek-aspek lain selain Dharma dalam kehidupan saat ini) yang nanti kita akan tinggalkan. Bagaimana dengan batin, sesuatu yang kita bawa ketika mati? Mengapa kita tidak fokus terhadap batin kita? Toh, kematian nanti dijalani sendiri, yang menemani kita hanyalah karma baik.

Sekian cuplikan pengajaran Y M. Suhu di Saka Dawa. Sebelumnya, Y. M. Suhu telah mengingatkan kita berkali-kali perihal kematian saat Kelas Espresso Dharma. Jika demikian, hal ini merupakan pertanda bahwa instruksi Y.M. Suhu akan perenungan topik kematian ini amatlah serius. Masihkah kita berani mengabaikannya?