Tata Krama JAWA

  • November 11, 2018

Tata krama tidak asing lagi bagi kita, ini sering dijumpai di lingkungan sekitar. Namun kenyataannya, hal yang perlu dihadapi pada zaman milenial sekarang adalah apakah orang-orang masih menerapkan tata krama dan berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang baik. Nilai-nilai ini semakin tergerus dengan masuknya budaya barat ke tanah Indonesia. Jika kita kembali ke masa lalu, Indonesia dengan kerajaan-kerajaan Sriwijaya dan Majapahit mensaratkan tata krama adalah yang utama. Digambarkan bagaimana hubungan kesopanan antar peran sangat terjalin dengan baik. Kiranya hal baik ini harus dijaga dan dilestarikan sampai kini.

Pada kesempatan ini, Kadam Choeling Indonesia berkesempatan luar biasa mendapat sharing tentang tata krama Jawa oleh Bu Retno Maruti dan teman-teman dari Sanggar Padnecwara. Ketika tiba di sanggar ini, ada aura Jawa yang menarik kuat, terasa banget bahkan hanya dengan melihat bangunannya. Apalagi bertemu dengan Ibu Retno, yang cantik luar dalam, ayu nan anggun, sangat cocok mendeskripsikan wanita Jawa. Ibu yang berhati lembut ini menyambut kami dengan sangat ramah, ditemani oleh anaknya, Rury Nostalgia, yang tak kalah ayu dan mewarisi bakat tari dari kedua orang tuanya, kami dianggap sudah seperti keluarga sendiri. Bincang sore ini juga dimeriahkan dengan beberapa anggota sanggar tari Padnecwara, yang juga sharing tentang awal mula mereka bergabung dengan sanggar tari ini dan bagaimana mereka masih menerapkan budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Bincang sore yang berlangsung selama 4 jam ini, tidak terasa lama dan membosankan, malah membuat kita betah berlama-lama. Sekilas kami sampaikan isi materi bincang sore tersebut.

Tata krama Jawa ini adalah proses pendidikan panjang yang diwariskan turun menurun dari para orang tua ke anaknya. Bukan hanya sekedar prinsip kesopanan semata, tapi lebih ke arah prinsip hidup dari mulai disiplin diri, tanggung jawab, sampai pada sikap menghargai. Dan nilai-nilai ini akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara makan, cara berbicara, cara duduk, cara berjalan, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh dalam budaya makan, ada hal-hal yang terlihat sederhana tapi maknanya mendalam diterapkan. Biasanya kita akan mempersilakan orang yang lebih tua untuk mengambil makanan terlebih dahulu. Selain itu, sebaiknya kita tidak mengeluarkan suara “mengecap” dengan cara menutup mulut saat mengunyah. Hal lain yang tak kalah penting adalah toleransi terhadap orang lain yang ikut makan dengan cara mengatur porsi makan kita agar semua orang mendapat porsi yang seimbang. Hal ini juga membantu untuk mengikis ego kita. Ada pepatah Jawa mengatakan “makan sebelum lapar, berhenti makan sebelum kenyang”. Ini mengandung makna yang lebih dalam dimana dalam menjalani hidup kita harus mengatur posisi yang seimbang antara hal yang satu dengan hal lainnya. Setiap orang pada kehidupan ini pernah menjalani rasa suka dan duka. Jadi tidak hanya rasa suka saja yang selalu kita rasakan, tetapi juga duka. Meskipun begitu, dibalik rasa duka, selalu ada tantangan atau hal baru yang kita temui dan hadapi. Bahkan tak jarang kita selalu mendapat tantangan yang lebih sulit lagi. Semua hal itu hanya dapat kita lalui jika kita menjalani dan menghadapinya dengan hati yang ikhlas.

Dalam budaya berbicara, bahasa Jawa memiliki tingkatan bahasa. Ini dipandang sesuai dengan objek yang ditujukan. Ada tahap dimana kita dapat menggunakan bahasa yang lebih sopan dan halus terhadap orang yang lebih tua, yang sering disebut dengan kromo inggil. Tentunya ini berbeda dengan tahap dimana kita berbicara dengan orang yang sebaya. Mungkin akan terlihat lebih sederhana. Kita juga sebaiknya tidak berteriak dalam berkomunikasi. Berbicaralah dengan nada secukupnya saja hingga pendengar terutama terhadap orang yang lebih tua dapat mendengar dengan baik tentang apa yang akan kita ungkapkan.

Untuk cara duduk yang baik, terutama untuk perempuan adalah dengan menahan perut disertai dengan postur tubuh yang tegap agar tidak terlihat bungkuk dan kedua kaki dalam keadaan rapat. Cara duduk laki-laki hampir sama, tetap tegak, bedanya kedua kaki bisa sedikit terbuka.

Ada tata krama lain yang juga tersirat dalam keseharian wanita Jawa, seperti tertawa tidak terbahak-bahak, tidak memutar musik dengan keras, merapikan tempat tidur dan kamar sebelum keluar kamar. Pada saat keluar rumah, seorang wanita juga harus rapi, tidak dengan rambut yang masih basah atau acak-acakan. Mereka juga dibiasakan untuk bangun lebih awal sebelum matahari terbit. Hal ini diibaratkan dengan “bangun lah lebih pagi sebelum rejeki direbut oleh ayam yang telah berkokok dan mencari makan dipagi hari.”

Selain lewat perilaku sehari-hari, budaya Jawa juga diwariskan lewat kesenian, baik nyanyian maupun tarian. Kita mengenal istilah “nembang” dalam Jawa, ini adalah cara menyanyi jawa yang liriknya adalah sebuat petuah, ajaran-ajaran, yang mengandung nilai-nilai positif, dan menjadi prinsip orang-orang Jawa. Di samping itu, terdapat tarian khas Jawa yang juga merupakan tari tradisional yang masih berkembang di era modern ini. Sejak dini, anak-anak telah diajarkan menari Jawa untuk menanamkan sifat disiplin diri, fokus dan juga sebagai proses pengendapan diri. Bonusnya, untuk para wanita akan semakin gemulai dan memunculkan jiwa seorang wanita pada diri mereka. Setiap tindakan dan gerakan yang dibawakan oleh penari tentunya memiliki makna tertentu yang menunjukkan nilai dan norma terhadap kehidupan kita. Ketika menari, maka penari harus membuang semua masalah dan gelisah yang ada pada hatinya, hanya fokus pada menari dan perasaannya terhadap tarian itu. Hal ini membawa orang-orang yang melihatnya ikut terbuai dalam kedamaian dan ketenangan yang dirasakan. Sama hal nya seperti membatik, apapun yang terjadi di luar membatik, para pembatik itu tidak peduli, mereka tetap tenang membatik, jiwanya tetap damai. Inilah yang disebut meditasi sesungguhnya, bukan hanya duduk diam, tapi bagaimana kita bisa mengaplikasikannya.

Kalau kita bicara apakah ada kitab tertentu yang memuat semua tata krama Jawa, maka jawabannya adalah tidak ada satu kitab khusus, banyak kitab yang digunakan sebagai panduan, tembang-tembang, dan juga budaya turun menurun. Sebagai contoh, ada pedoman yang disebut “Hasto Broto”. Hal ini menjadi pedoman untuk menjadi pemimpin yang baik. Hasto Broto menggambarkan delapan sifat ideal yang diwujudkan dalam delapan simbol diantaranya terdiri dari api, angin,air, tanah, angkasa, bintang, bulan dan matahari dimana setiap simbol memiliki makna tersendiri yang ingin disampaikan.

Selain itu, Ibu Retno juga mencontohkan cara memakai kain yang benar menurut adat Yogya dan Solo, hal ini akan diulas lebih dalam di sesi bincang-bincang berikutnya. Jadi, siapkan waktu Anda untuk bincang-bincang berikutnya.