Jemputlah Takdirmu—Janganlah Dustai Dia

  • December 11, 2015

Tadi kita membaca Madhyamakavatara karya Chandrakirti bab pertama tentang bodhicitta, setelah selesai kita baca Abhisamayalamkara. Kalau di biara-biara besar hari-hari besar seperti ini, dibaca dua. Madhyamakavatara itu dibaca sampai selesai. Tapi ini pertanda baik kita sudah selesai bab pertama. Ketika pertama kali saya di drepung, malam peringatan parinirvana Je Rinpoche itu bhiksu dari Loseling dan gomang kumpul ada sekitar 4500an baca bersama2 Abhisamayalamkara. Waktu itu saya berdoa, saya mohon Abhisamayalamkara harus dikembalikan ke Indonesia dan oleh orang Indonesia dilantunkan dan dibacakan bahkan dihafalkan bahkan dipelajari. Doa saya terkabul hari ini kita semua, sebenarnya bukan hari ini tapi bertahun-tahun kita bisa melantunkan Abhisamayalamkara.

Kita percaya banget bahwa Abhisamayalamkara dulu pernah dipraktekkan, diajarkan, karena ini adalah pokok ajaran Mahayana di Indonesia. Kita perlu berbangga biara kita, center kita, adalah satu center yang serius mempelajari spiritual, saya tidak mengatakan serius mempelajari buddha dharma karena banyak center lain yang mempelajari buddha dharma, tapi kita serius mempelajari spiritual.

Seperti tadi pagi, saya bilang spiritual itu harus diperjuangkan. Kita tidak boleh berpikiran buruk terhadap aktivitas-aktivitas spiritual kita, kita tidak boleh ngeluh, saya pake jubah berat, saya bikin pe-er banyak, saya terima inisiasi ini banyak, pe-er mantramnya banyak. Kita tidak boleh ngeluh, ketika kita ngeluh seperti ini, kita seperti menuangkan racun ke dalam wadah amirta, lalu kita minum, lalu siapa yang mati diri kita yang mati. Tidak sanggup tidak apa-apa, semampunya kita, sebisanya kita, sebaik kita. Tapi kita harus menyertainya dengan rejoice, oh, aku hari ini aku sudah sampai di sini, oh mantram saya sudah sampai di sini, oh saya dapatnya segini, ya sedikit-sedikit kan berkembang.

Dulu center mulai dari beberapa orang sekarang kalau puja tidak muat, nanti kita mengembangkan lebih banyak. mulai dari kecil, spiritual harus diperjuangkan untuk hidup kita, ketika hari-hari seperti ini, orang-orang memperingati paranirvana Je Rinpoche. Je Rinpoche meninggal sampai hari ini sekitar 400an tahun. Dalam hidup 1 orang, yang menghasilkan karya begitu besar. Beliau tidak hidup sampai umur 80, tidak hidup sampai 100 dipotong masa-masa kecil, dipotong masa-masa belajar. Satu orang yang bisa menghasilkan karya besar seperti ini begitu dalam tidak gampang dan bukan manusia biasa. Oleh karena itu, kita bersyukur “oh ya saya mengikuti ajaran Je Rinpoche, mengikuti ajaran Je Tshongkhapa yang agung”. Ajaran ini telah memberikan arti hidup bagi aku, meskipun kita tidak terlalu mengikuti dengan baik, karena kita tidak serius mengikuti spiritual.

Kita masih berpikir kalau spiritual itu adalah 1 bagian, kehidupan duniawi adalah 1 bagian. Kalau begitu kita membuat minyak dan air dalam kehidupan kita. Spiritual itu minyak, kehidupan sehari-hari adalah air. Minyak dan air tidak bisa dicampur, kalau begitu buat apa kita belajar, tetep toh minyak akan tetap jadi minyak, dan air tetap akan jadi air. Sampai kiamat pun air dan minyak tidak bisa bersatu.

Kalau kita melihat spiritual adalah suatu perjalanan hidup, spiritual beda dengan agama, agama ya ritual, baik agama yang percaya Tuhan atau agama yang tidak percaya Tuhan. Tapi spiritual itu menyangkut batin, spiritual itu menyangkut cara pandang, cara hidup, menyangkut bagaimana kita melihat fenomena di dalam dan di luar kita, dan melihat cara hidup kita, itu adalah spiritual. Maka, bagi orang-orang yang serius mempelajari spiritual dia harusnya bisa mengerti bahwa spiritual itu adalah mengatasi hidupnya, mengatasi dunia, mengatasi dirinya, bukan hidupnya Sabtu Minggu spiritual, Senin-Jumat manusia biasa dagang hidup manusia sehari-hari. Justru spiritual datang untuk mengatasi kehidupan sehari-hari. Bagaimana cara saya menyikapi, berbicara, melihat, dan segala macamnya.

Spiritual dimulai dari bertumpu pada guru spiritual sebagai patokan pertama. Kita beruntung kita punya kehidupan bertemu dengan guru spiritual. Guru spiritual ini memberi arti yang sangat dalam bagi hidup kita, tetapi kadang-kadang karena kita melihat hidup kita adalah dua sisi minyak dan air, maka kita melihat spiritual adalah guru spiritual, hidup saya adalah dimana titik dua kutub itu, spiritual saya titik kutubnya adalah guru spiritual, nah duniawi titik kutubnya dimana cinta, pacar, atau harta? Harta pasti menyangkut reputasi. Jadi akhirnya kita membagi, secara otomatis membagi hidup kita menjadi dua belah pihak seperti itu. Dan ketika kita mau belajar lebih jauh, kita melihat aneh kan. Hidup saya duniawi. Saya, kehidupan saya dengan istri saya atau cinta saya atau harta saya, lalu ke center guru spiritual saya. Jadi ketika guru spiritual saya mengatakan sesuatu that only a certain part di benak kehidupan kita. A certain part jadi otak ini ada dua bilik berapa persen saya tidak tahu besarnya masing2 itu berapa persen 40 60; 50 50; 30 70, saya tidak tahu itu masing2 orang meletakkannya. Oleh karena itu, ini satu hal yang keliru, satu hal yang aneh. Jangan pernah melihat spiritual itu adalah satu bagian seperti minyak, kehidupan sehari-hari adalah air.

Saya tidak perlu bicara panjang lebar. Saya ingin kembali mengajak kita semua untuk melakukan sesuatu, melihat sesuatu, atau berpikir sesuatu bahwa bring back mengembalikan kembali ajaran-ajaran buddhis, spiritual seperti ini tidak gampang, sangat sulit, luar biasa berat. Berharap sebuah doa wish saja tidak cukup. Contohnya orang sebanyak kayak gitu, 70-80 orang pergi ke Kullu atau pergi ke Drepung. Adakah orang2 seperti itu yang berpikir oh my god luar biasa sekali dan saya ingin melakukan hal ini di Indonesia. Beberapa orang bisa saja, saya ingin membuat ini terjadi di Indonesia. Orang bisa saja petik benih dari sana bawa pulang Indonesia lalu dia tanam. Masalahnya adalah sampai di Indo tanaman ini hidup apa tidak. Jadi butuh faktor lingkungan alam di Indonesia untuk menjaga agar tanamannya hidup. Paham ya.

Ibarat tanaman, kita bisa saja membawa sesuatu pulang tapi kalau tidak ada faktor yang mendukung dia untuk hidup bagaimana caranya dia hidup, tidak ada matahari, suhunya kepanasan, Indo kan panas, kepanasan lalu mati. Terlalu banyak hujan, nanam pas musim hujan, banjir air trus busuk mati. Harus ada suatu trik kita bisa menjaganya, triknya adalah mengkondisikan alam Indonesia sehingga sama dengan kondisi seperti itu di sana. Lalu kalau saya petik dari sana, lalu kita tanam di Indonesia, dia tumbuh. untuk membuat kondisi seperti itu butuh banyak luasan areanya tidak bisa kecil harus besar, dan karena yang ditanam buahnya besar butuh lahannya cukup luas. Kalau ditanam buahnya kecil, lahannya tidak terlalu luas tidak apa-apa. Karena ini menyangkut lahannya cukup luas, buahnya cukup berat, jadi kita butuh lahan dan kondisinya sangat besar. Salah satunya adalah menciptakan orang-orang seperti kamu ini, orang-orang yang pake jubah, dan orang-orang umat awam yang praktik spiritual. Ketika itu dibawa kembali, orang-orang akan ngeh, paham, hal2 seperti ini akan tumbuh.

Ya mungkin beberapa orang di antara kita semua kan ada yang sudah terima inisiasi besar, banyak, mempraktekkan sadhana-sadhana. Di pundak dia, di kepala dia lah letak tangggung jawab yang berat ini. Jadi ada cerita, ceritanya begini, guru Asangha itu sudah jadi pandita, dia tidak bisa menemukan kunci dan beberapa poin yang cukup sulit untuk mempelajari sutra Prajna Paramitha, maka beliau pergi bertapa untuk bertemu dengan Maitreya. Akhirnya dia bertapa 11 tahun baru dia bisa bertemu dengan Maitreya. Bukan berarti Maitreya menunggu 11 tahun baru datang. Maitreya bilang in the first day you came into this cave , aku sudah disampingmu. Why not you appear, aku sudah, ini buktinya jubah saya berlumuran ludah, dahak, kotor-kotor. Why not you appear, you cannot see me kau tidak bisa lihat saya, apa salah saya. Lalu setelah dia melihat, yah ada cerita nanti semua orang juga akan tau ceritanya. Akhirnya dibawa ke Tushita, dia mendapatkan semua pelajarannya, dia kembali ke alam manusia, dan meneruskan kembali. Salah satunya adalah Abhisamayalamkara. Ini adalah outline sama seperti dengan lamrin terhadap Prajna Paramitha. Jadi ini sebenarnya outline, kalau kau pelajari ini jelimet. kita mempelajarinya 4 tahun kalau di sekolah besar. tapi pada ini hari what can i say kamu orang hanya bisa membaca, tidak mengerti artinya, hanya bisa membaca fonetiknya saja. Fonetiknya itu selesai tahun berapa itu? Pangeran selesai tahun berapa? 2012 fonetiknya itu selesai, cukup lama loh. Dari 2005, 2003, 2002, 2001, 10 tahun i have to wait ten years nunggu 10 tahun, tapi 10 tahun ini yang berbuah masih tanaman belum berbuah, kita tidak bisa memetik buahnya. Kita tidak bisa mengerti maksudnya apa, kita bisa hanya membacanya.

Ketika kita membaca seperti tadi saya bilang jangan meracuni spiritual dengan pikiran-pikiran buruk. Apa, buat apa, buat apa baca, saya capek, saya tidak mengerti artinya. Dulu kalau saya tidak membaca dengan cara begitu, barang ini tidak ada di sini. Ketika dulu saya membaca dengan serius, saya baca ya baca. Dalam hati, saya wish semoga ini kembali. Tapi tanaman ini ya masih segini, 10 tahun loh. It’s ten years. Anggaplah 2002, 2012, 10 tahun. 10 tahun itu kita baru dapat fonetiknya belum bisa mengerti artinya.

Itu hanya Abhisamayalamkara, hari ini baru mulai bab pertama tentang Madhyamakavatara karya Chandrakirti, penjelasan tentang konsep kesunyataan, bab pertama tentang boddhicitta. Saya harus nunggu 10 tahun kemudian baru difonetikkan, loh iya kan. Itu ceritanya 10 tahun, ini harus nunggu 10 tahun kemudian baru bisa membacanya. Ya 10 tahun mungkin Rinpoche sudah naik tahta, sudah pake jubah, sudah Mahatera ya belum lah belum mahatera. Apakah kita harus nunggu 10 tahun? Itu cerita sutra, belum lagi kita lihat Lamrim. Dulu itu apa? Apa semua itu? Bahasa inggris, sekarang lamrinnya habis, sudah tidak ada lagi, Liberation tak ada lagi, tak muncul, sudah dikonsumsi habis. Dulu penerbitan cetak berapa? 2000 atau 5000? 2000 atau 3000? 2000 habis tersebar di seluruh nusantara. Ini mau cetak lagi. Butuh berapa tahun? Also 10 tahun.

Saya percaya beberapa orang pasti ketika upacara besar seperti ini wish, punya harapan Indonesia kembali. Ya saya percaya, tapi wish seperti ini tidak cukup, perlu tapi tidak cukup. Perlu munculnya beberapa orang seperti ini, contoh the great being, Naro Rinpoche. Dia berdiri duduk di depan, dia mewarisi silsilah-silsilah. The great being, makhluk agung beliau ini juga tidak gampang. Trus Suhu milih dia kok tidak milih aku. Bukan masalah milih, kamu yang menentukan, karmamu yang menentukan. You appear in front of me, then I choose. Itu saja. Jadi, kamu orang semua itu punya beban, punya tanggung jawab untuk punya andil dalam menyertakan hidupmu pada hal perkembangan seperti ini.

Jadi hidup itu tidak bisa sembarangan untuk seenaknya aku memilih pacar, aku nikahin. Menurut saya ceritanya seperti begini, tidak bisa. Jemputah takdirmu, janganlah dustai dia. Takdir yang terpenuhi. Jelas sekali. So, memang kita lahir dengan tanggung jawab seperti ini gitu loh. You can’t say seenaknya begini-begini. Ya kalau begitu, kamu membagi hidupmu ini spiritual saya, ini dunia saya. What can I say kalau begitu.

Kita punya mimpi. Jadi suatu hari, ini cerita lucu. Tapi memang benar-benar ironis ya. Coba dipikirkan deh. Kitab suci agama budhha Indonesia itu Sriwijaya Mojopahit apa saja sih? Ada yang tau tidak? Ndak ada yang tau? Kenapa ndak tau? Masa tidak bisa jawab. Karena kita sudah dipotong sama sekali bahwa kita tidak bisa baca sansekerta, tidak bisa baca kawi, dan tidak bisa baca hanacaraka. Semua tulisan dalam bentuk lontar. Kau bisa baca hanacaraka? Siapa yang bisa baca hanacaraka selain aku? Aku pun banyak yang lupa. Hanacaraka itu dibaca, itu kan barangnya semuanya kan ada di lontar. Lontar pun sekarang tidak gampang untuk diakses. Semuanya ada di arsip nasional, bisa masuk? Jadi bagaimana? Kita itu kayak dipotong. Generasi itu putus bener-bener, buta aksara. Bisa apa? Tidak bisa apa-apa kan? Akhirnya kita mengandalkan aksara Tibetan. Tapi hati saya ini agak tidak terima. Indonesia saya bicara, protes. Indonesianya mana?

Jadi besok biara itu ada selain chenyi, ada pendidikan bahasa, Bahasa Indonesia. Kenapa butuh Bahasa Indonesia? Lah kamu kan mencapai pencerahan. YM Anton sudah mencapai pencerahan, dia kalau sudah mencapai pencerahan, dia perlu menulis ilmu pencerahannya dalam bentuk kitab-kitab. Kalau tidak gimana? Mau zaman purba pake verbal aja. Dan itu kan dalam bentuk syair-syair, setidaknya kata-kata yang perlu disampaikan dengan aksara. So, kamu perlu menulis dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Anak zaman sekarang disuruh nulis skripsi sudah stress. Kenapa kamu tidak bisa nyelesaikan skripsinya? Bukan ndak ada bahan, tapi tidak bisa ngarang. Skripsi itu kan sebenarnya karangan bebas, mau karang apapun asal kamu bisa mempertanggungjawbakan ya selesai. Jadi kalau tidak bisa nulis, trus bagaimana ilmu pencerahan kamu bisa tersampaikan, tidak bisa toh. Jadi, selain itu kita perlu mempelajari aksara kuno. Nah jadi berat ini. Jadi bukan hanya lamrim, chenyi, debat, senli, bikin torma, meracik obat-obatan, mamasak, segala macam.

Oh iya, biara kita akan besar seperti itu, ya tergantung bagaimana cita-cita ini, pohon ini tumbuhnya cepat atau lambat, berapa orang rawat. Tidak bergantung pada saya saja, bergantung pada banyak orang. Nah oleh karena itu, kita perlu berpikir dengan serius hidup ini, takdir ini datang menjemput kamu. Tolong judul ceramahnya takdir datang menjemputmu. Kau terpanggil untuk accomplish this duty, so what to do? Ya tidak usah nikah, pakai jubah saja.

Pesan video Suhu Bhadra Ruci, direkam oleh Vivi Siskayanti di Aula Istana Payung Perak, Bandung, 5 Desember 2015. Transkrip Bahasa Indonesia oleh Jiji Solida Wijaya. Transkrip ini dituliskan berdasarkan materi asli tutur kata lisan yang berfungsi sebagai materi pendukung. Untuk pesan lengkap sesuai konteks silahkan merujuk pada materi video lengkap.

 

Artikel Terkait:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *