Umat Buddha Berlindung pada Jimat? Apakah Sesuai Dharma?

Umat Buddha Berlindung pada Jimat? Apakah Sesuai Dharma?

  • August 31, 2023

Oleh Praviravara Jayawardhana

Jenis-Jenis Praktisi Buddhis


Pannàdhikànam hi saddhà mandà hoti pannà tikkhà;
Saddhàdhikànam pannà majjhimà hoti saddhà balavà;
Viriyàdhikànam saddhà-pannà mandà viriyaÿ balavam.
Bakal Buddha Pannàdhika, kebijaksanaan kuat namun keyakinan lemah.
Bakal Buddha Saddhàdhika, kebijaksanaan madya namun keyakinan kuat.
Bakal Buddha Viriyàdhika, kebijaksanaan dan keyakinan lemah namun usaha kuat.
Riwayat Agung Para Buddha

Secara umum, kitab suci dan komentar para Guru menjelaskan bahwa praktisi yang sedang berjuang menapaki jalan Kebuddhaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, antara lain:

  1. Praktisi yang menempuh jalan kebijaksanaan
  2. Praktisi yang menempuh jalan keyakinan
  3. Praktisi yang menempuh jalan usaha.

Perbedaan ketiga praktisi tersebut hanya terdapat dalam proses atau metode saja. Ketika mereka mencapai Kebuddhaan, mereka semua sama dalam hal kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Tidak dapat disebutkan Buddha mana yang lebih mulia daripada yang lainnya dalam segala aspek.

Lebih lanjut, jenis-jenis praktisi Buddhis juga disebutkan oleh A.B. Griswold dalam Doctrines and Reminders of Theravada Buddhism: 

“Di dalam Theravada sendiri, terdapat dua jenis umat Buddha yang sangat berbeda sekali: yang rasional dan yang mengandalkan keyakinan.” 

Ajaran Buddha memang bersifat universal, bisa memberikan manfaat kepada berbagai jenis orang melalui beragam pendekatan. Adanya tradisi Buddhis berperan untuk memfasilitasi berbagai jenis pendekatan tersebut. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, keyakinan umat terhadap kemahatahuan Buddha dan sifat Dharma yang universal makin merosot. Akibatnya, pemaknaan terhadap Dharma menyempit mengikuti “cetakan” paham positivisme Barat yang lebih populer. Pandangan terhadap perbedaan tradisi pun ikut menyempit sampai-sampai muncul pemikiran bahwa tradisi tertentu adalah yang paling benar, sementara yang beda pendekatan dianggap sesat.  

Fenomena Krisis Keyakinan


“Keyakinan adalah kendaraan terbaik.
Melalui keyakinan, Anda akan dibimbing dan pasti muncul.
Oleh karena itu, orang-orang cerdas mengandalkan keyakinan.
Sifat-sifat baik tidak tumbuh pada orang yang tidak berkeyakinan,
Sama seperti kecambah hijau [tidak tumbuh] dari benih yang hangus oleh api.”
—Dasa-dharmaka-sutra

Berdasarkan klasifikasi dalam Abhidharma-samuccaya, keyakinan (B. Sanskerta: Sradha) merupakan salah satu dari 11 faktor mental bajik. 

Sebagaimana yang dikatakan dalam Dasa-dharmaka-sutra di atas, kebajikan tidak akan tumbuh pada orang yang tidak memiliki keyakinan. Namun, sayangnya, di masa ini, keyakinan menjadi sesuatu yang sangat langka dan susah sekali ditemukan. Keyakinan disalahpahami sebagai kepercayaan buta dan bertentangan dengan logika. Pandangan ini sangat berbeda dengan definisi “keyakinan” dalam Buddhadharma.

Faktor mental bajik keyakinan muncul serta-merta. Kontemplasi serta rasionalitas menjadi faktor yang sangat penting dalam proses munculnya keyakinan.  Keyakinan baru bisa tumbuh di batin seseorang ketika ia mempelajari dan memahami secara rinci kualitas objek yang diyakini. Agar bisa memiliki keyakinan terhadap Buddha, perlu upaya untuk mempelajari dan memahami kualitas Buddha, lalu merenungkannya berulang-ulang hingga keyakinan itu mengakar kuat di dalam batin. Ini jelas tidak sama dengan kepercayaan buta yang dibuat-buat. 

Berdasarkan pemahamannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa merosotnya keyakinan di masa sekarang adalah karena orang-orang kurang mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan kualitas Buddha.. Akibatnya, sikap tidak hormat terhadap objek suci seperti penginjakan rupang Buddha atau penyalahgunaaan situs dan objek suci semakin marak, lalu dianggap sebagai tindakan biasa oleh umat Buddha sendiri. 

Bukan hanya rupang dan teks yang kehilangan makna, jimat-jimat perlindungan yang merepresentasikan Triratna juga ikut dipertanyakan keabsahannya akibat kurangnya pengetahuan tentang bentuk perlindungan, cara berlindung, hingga makna keyakinan itu sendiri.

Trisarana Sebagai Basis Perlindungan Jimat 


“Tidak ada jaminan bahwa setelah meninggal, engkau tidak akan terlahir di alam rendah. Namun Sang Triratna pasti bisa melindungimu dari kemungkinan menakutkan itu. Oleh sebab itu, Trisarana-lah sepenuhnya dan jangan biarkan sila-sila Trisarana merosot. Ini bergantung pada perenungan secara menyeluruh akan karma hitam dan putih, serta akibat-akibatnya.“

—Je Tsongkhapa, dikutip dari Baris-Baris Pengalaman

Seorang Buddhis mencari perlindungan setidaknya karena dua sebab, yakni takut terhadap penderitaan dan yakin pada objek perlindungan (Triratna). Dua sebab ini adalah dasar dari banyaknya penggunaan jimat perlindungan. Agar penggunaan jimat menjadi sebuah praktik Buddhis, maka Trisarana haruslah menjadi basis.

Lebih lanjut, dalam Empat Kebenaran Arya yang pertama, disebutkan tiga macam dukkha yang menghantui kita di samsara ini, yakni Dukkha-Dukkha, Viparinama Dukkha, dan Sankhara Dukkha. Jenis-jenis dukkha inilah yang menjadi basis dari ketakutan kita, salah satu sebab kita mencari perlindungan. Apa atau siapa yang bisa melindungi kita? Jawabannya adalah Triratna yang sudah bebas dari penderitaan-penderitaan tersebut.

Seperti orang yang menderita penyakit serius yang membutuhkan bantuan dari dokter, obat, dan perawat; kita juga perlu berlindung pada ketiga objek Trisarana untuk bisa terbebas dari penderitaan samsara. Kita membutuhkan Buddha, sang penyembuh yang menunjukkan “penyakit” kita serta Jalan Pembebasan untuk mengobatinya. Kita membutuhkan Dharma,  Tahapan Jalan untuk Ketiga Jenis Praktisi yang berfungsi sebagai obat untuk penderitaan kita. Kita juga membutuhkan Sangha, yang merupakan perawat yang praktik Dharma kita. 

Kendati demikian, untuk bisa terbebas dari bahaya-bahaya duniawi, kita bisa mengandalkan perlindungan dari salah satu objek Triratna saja. Hal ini dijelaskan oleh Phabongkha Rinpoche dalam Pembebasan di Tangan Kita Jilid 2:

“Kita tidak memerlukan ketiga objek Trisarana secara keseluruhan untuk dapat terselamatkan dari bahaya yang tiba-tiba menghadang. Masing-masing objek secara individual mempunyai kemampuan untuk menyelamatkan kita. Akan tetapi, kita tetap membutuhkan ketiga unsur dari Triratna agar terselamatkan dari alam-alam rendah dan keseluruhan samsara.”

Banyak catatan tentang bagaimana seseorang bisa selamat dari bahaya duniawi dengan mengandalkan salah satu objek Trisarana. Alkisah, ada seseorang di Tibet yang diterkam oleh seekor harimau. Tetapi, ketika ia berdoa kepada Arya Avalokiteśvara, harimau itu seketika melepaskannya dan pergi meninggalkannya.

Catatan lain mengisahkan seorang biksu tak berumah yang mencapai tingkat Arahat bernama Pūrṇa. Pada saat saudara-saudara Pūrṇa beserta beberapa orang pedagang pergi ke laut untuk mencari cendana gośirṣa, makhluk halus pelindung cendana berusaha menghancurkan kapal mereka. Saudara-saudara Pūrṇa berdoa kepada Pūrṇa untuk memohon bantuan dan akhirnya mereka terselamatkan dari bahaya di laut.

Kisah berikutnya adalah tentang seorang lelaki yang dihukum dan dikirim ke kuburan tempat setan-setan pemakan daging. Tidak ada seorang pun berhasil hidup setelah dikirim ke tempat itu. Namun, karena orang ini meletakkan sepotong kain potongan jubah biksu di atas kepalanya dan mengucapkan bait Trisarana, setan-setan tak dapat menyakitinya.

Perlindungan terhadap satu Ratna untuk mengatasi penderitaan duniawi ini memungkinkan adanya perlindungan dengan objek-objek tertentu yang melambangkan salah satu Ratna. 

Misalnya, dalam beberapa teks Pali, banyak dikisahkan tentang praktik perlindungan dengan metode pengulangan bait tertentu, yaitu Paritta. Secara harfiah, kata “Paritta” berarti “perlindungan”. Isinya adalah kata-kata Dharma sehingga Paritta jelas mewakili Ratna Dharma. Praktik pelafalan Paritta ini banyak dilakukan umat Buddha sebagai bagian dari puja bakti rutin maupun untuk melewati situasi sulit tertentu, misalnya Paritta Angulimala yang dibacakan untuk menolong ibu melahirkan dan Paritta Ratana untuk menghalau penyakit.

Bentuk lain perlindungan melalui simbol salah satu Ratna bisa ditemukan di Thailand, yaitu pemakaian amulet berbentuk liontin Buddha. Amulet yang mewakili Ratna Buddha ini berfungsi sebagai perlindungan dari penderitaan duniawi, misalnya kemiskinan dan nasib buruk. 

Berbagai teks Tantra juga menyebutkan praktik perlindungan dalam bentuk jimat. Jimat ini berisi Sutra atau Mantra sehingga tergolong sebagai perlambang kualitas Ratna Dharma. Contoh penjelasannya adalah sebagai berikut:

“Jika engkau mengikatkan Sutra ini di atas sebuah panji kemenangan, atau mengalungkan di lehermu, engkau akan terlindung dari pemimpin manusia atau prajurit hebat mana pun. Para Buddha dan Bodhisattva akan mewujud dalam bentuk wanita cantik di harapanmu dan memberkahimu dengan keberanian dan perlindungan. Engkau akan berjaya dan mampu menaklukkan semua lawan.”
–Arya Dhavaja Agrakeyur Namadharani

“Dengan hanya memegangnya di tangan mereka, mereka akan mengingat kehidupan lampau. Setelah seratus ribu pelafalan, mereka akan menjadi terpelajar. Setelah dua ratus ribu pelafalan, mereka akan menjadi Vidyadhara. Setelah tiga ratus ribu pelafalan, mereka akan melihat wajah Mañjuśrī.”
–Mañjuśrī­bhaṭṭārakasya­ prajñā­buddhi­vardhana

Pendekatan Kontemplatif dalam Penggunaan Jimat 


Bagi para praktisi yang menggunakan pendekatan kontemplatif, penggunaan objek perlindungan seperti Paritta, amulet, atau jimat pada dasarnya dapat dipandang sebagai upaya kausalya untuk membantu orang-orang mengakses perlindungan tertinggi yang sesungguhnya, yakni realisasi atas makna-makna yang terkandung dalam ajaran Buddha (Dharma). 

“Berkaitan dengan Permata Dharma, Permata Dharma tertinggi adalah yang manapun dari dua kebenaran purifikasi (Kebenaran Arya tentang Terhentinya Dukkha dan Kebenaran Arya Tentang Jalan) yang ada dalam batin seorang Ārya. Kumpulan dari kata-kata tertulis seperti dua belas kategori ajaran mewakili Permata Dharma yang konvensional.”
–Pembebasan di Tangan Kita Jld. 2

Dharma adalah perlindungan tertinggi yang sesungguhnya. Inilah yang mendasari cara pandang praktisi yang mengandalkan pendekatan kontemplatif terhadap pemakaian Paritta, amulet, ataupun jimat. 

Sebagai contoh, Paritta Buddhanussati merupakan bait-bait yang dilafalkan untuk mengingat kualitas Buddha. Jika dibandingkan, Paritta ini memiliki fungsi yang sama dengan liontin/amulet berbentuk Buddha. Keduanya dipandang sebagai sarana untuk merenungkan kualitas Buddha yang melindungi diri kita. 

Sama halnya dengan para praktisi yang menggunakan mantra sebagai perlindungan. Dalam terjemahan harfiah bahasa Sanskerta, mantra berarti “melindungi batin dan pikiran dari klesha”. Kebenaran Arya Kedua menyatakan bahwa klesha adalah sumber penderitaan. Maka itu, untuk menghilangkan penderitaan, kita perlu melindungi batin dan pikiran dari hinggapan klesha. Mengingat mantra bisa melindungi pikiran dari klesha, maka mantra dapat menjadi sarana perlindungan. 

Untuk menjadi seorang praktisi Buddhis yang holistik, kita tidak boleh seperti katak dalam tempurung, menutup diri terhadap beragam kemungkinan yang ada tanpa perenungan lebih lanjut. Sikap tertutup seperti itu hanya akan mengkerdilkan ajaran Buddha. Kata “Dharma” punya makna “kebenaran universal”, artinya Dharma yang diajarkan oleh Buddha mencakup kebenaran yang berlaku di seluruh semesta. Jika kita belum mampu menjangkau seluruh semesta, bagaimana mungkin seluruh Dharma bisa dijangkau oleh pikiran kita?

Misalnya, ada seseorang yang hanya mau memegang bait berikut:

Sabbe sattā kammassakā kamma-dāyādā kamma-yonī kamma-bandhū kamma-paṭisaraṇā. Yaṁ kammaṁ karissanti kalyāṇaṁ vā pāpakaṁ vā tassa dāyādā bhavissanti.

Semua makhluk memiliki karmanya sendiri, mewarisi karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri. Apa pun karma yang diperbuatnya, baik atau buruk, itulah yang akan diwarisinya.

Jika kemudian orang ini menampik pembacaan Paritta, pembacaan mantra, serta penggunaan jimat, dan mantra, artinya ia menyangkal keseluruhan ajaran Buddha yang begitu luas dan mengkerdilkan ajaran tersebut menjadi satu bait saja. Hal ini tidak ada bedanya dengan radikalisme agama.

Selanjutnya, dalam hukum sebab akibat yang saling bergantungan, terdapat dua elemen, yaitu  dualitas objek dan subjek. Baik objek maupun subjek tidak dapat berdiri sendiri. Sebagai contoh, kita sebagai subjek yang melakukan karma butuh objek untuk melakukan karma tersebut. Jadi, dalam konteks ini, tidak valid bila kita mengatakan bahwa kita semata-mata dilindungi oleh karma kita sendiri..

Kalau kita memahami hukum sebab akibat yang saling bergantungan, kita mungkin akan menemukan kontradiksi pemahaman. Di satu sisi, orang mengatakan bahwa kita seharusnya hanya percaya hukum karma dan tak bisa mengandalkan perlindungan dari orang lain. Namun, jika dipahami benar-benar, ketika kita bicara hukum karma, kita bicara hukum sebab akibat, maka mau tidak mau mau kita akan bicara tentang kausalitas dan dualitas. Artinya, subjek bergantung pada objek dan objek bergantung pada subjek.

Jika kita bilang dilindungi karma, akan timbul pertanyaan: karma yang kita lakukan pada objek yang mana? Kita tidak bisa memutus rantai hubungan kausalitas. Contohnya, ada orang yang tidak ingin miskin dan hanya ingin mengandalkan karmanya saja. Bagaimana bisa? Orang itu tetap butuh objek untuk menghimpun sebab bebas dari kemiskinan, misalnya berdana kepada pengemis. Ketika kita berdana pada pengemis dan berharap kita bebas dari kemiskinan, artinya kita telah bergantung pada si pengemis supaya melindungi kita dari kemiskinan. Subjek dan objek ini tidak bisa diputus dari konsep kausalitas. Dengan pemahaman dan analogi yang sama, kita tidak bisa bilang bahwa kita tidak bisa berlindung pada Buddha.

“‘Segala sesuatu adalah sunya’ dan ‘dari [sebab] ini muncullah akibat itu’;
dua pernyataan ini saling melengkapi satu sama lain tanpa kontradiksi sama sekali.”
—Je Tsongkhapa, Pujian Terhadap Sebab Akibat yang Saling Bergantungan

Sekali lagi, kita butuh objek untuk membuat karma. Objek karma ini kualitasnya berbeda-beda. Misalnya, ketika kita berdana kepada orang yang memiliki sila dan kepada orang yang tidak memiliki sila, jelas kebajikan dari berdana kepada orang yang memiliki sila lebih besar dibanding berdana kepada orang yang tidak memiliki sila. 

Dengan analogi yang sama, kita juga bisa mengandalkan Buddha sebagai pelindung kita dan ini adalah suatu hal yang valid. Buddha berperan sebagai objek: ladang kebajikan untuk menghasilkan karma yang akan melindungi kita. Jadi, kita membutuhkan ladang kebajikan ini sebagai objek untuk menciptakan sebab karma yang akan melindungi diri kita.

Berangkat dari pemahaman tersebutlah, jimat perlindungan berisikan mantra inti kausalitas, hukum sebab akibat: OM YE DHARMA HETU. Dengan demikian, jimat perlindungan ada untuk mengingatkan kita terhadap hukum karma, hukum sebab akibat yang saling bergantungan, yang pada akhirnya mendorong efektivitas dari jimat itu sendiri. 

Kita juga bisa memahami bahwa objek perlindungan ataupun ladang kebajikan memiliki kemampuan untuk melindungi kita sampai suatu titik tertentu. Si pengemis memiliki kekuatan untuk melindungi kita sebagai objek karma baik. Biksu Sangha dan Buddha juga memiliki kekuatan untuk melindungi kita sebagai objek karma baik dan ladang kebajikan kita.

Kesimpulan


Objek perlindungan berupa jimat, amulet, paritta, mantra, dsb. memiliki kualitas untuk melindungi karena benda-benda tersebut mengandung perlambang setidaknya satu dari Triratna. Oleh karena itu, praktisi Buddhis yang kekuatan kontemplatifnya lemah dan kesulitan membangkitkan sikap berlindung dari perenungan tetap bisa mendapatkan manfaat dari objek-objek tersebut.

Paritta yang dibaca adalah tulisan suci ajaran Buddha dan jimat yang disimpan juga mengandung tulisan dan simbol-simbol suci tersebut. Objek perlindungan ini punya kualitas dengan porsi tertentu untuk bisa melindungi. Hal inilah yang menjadi basis latihan bagi praktisi yang mengandalkan keyakinan terhadap kualitas objek (Saddhàdhika).

Lebih lanjut, bagi praktisi yang mengandalkan kekuatan kontemplatif atau akal rasional (Pannàdhika) juga bisa mendapatkan manfaat dari seperti paritta, mantra, amulet, ataupun jimat dengan memandang objek-objek tersebut sebagai upaya kausalya untuk bisa mengakses perlindungan yang sesungguhnya, yakni realisasi Dharma. 

Oleh karena itu, praktik-praktik perlindungan terhadap paritta, mantra, amulet, ataupun jimat pada dasarnya memiliki prinsip kerja yang sama dan merupakan metode valid yang diajarkan oleh Buddha. Kebermanfaatannya harus dipandang secara multidimensi dan dipahami secara holistik. Praktisi Pannàdhika bisa menggunakan metode kontemplatif sedangkan para praktisi Saddhàdhika bisa mendapatkan manfaat dengan menggunakan keyakinan pada kualitas Triratna yang dilambangkan oleh sarana tersebut.