AYOGRIHA JATAKA

  • May 31, 2015

Kisah Tentang Rumah Besi

Mereka yang sekali terpukul oleh ketakutan pada samsara, tak akan terganggu jalannya menuju pencerahan, bahkan juga tidak oleh kecemerlangan serta keagungan kerajaan.

Pada suatu ketika saat Bhagavan masih sebagai seorang Bodhisattva, Beliau memandang dunia dan menemukan bahwa dunia penuh dengan penderitaan penyakit, usia tua, dan kematian, terpisah dari orang-orang yang dicintai, bencana demi bencana menimpa setiap makhluk hidup. Mengetahui bahwa makhluk-makhluk tersebut tiada pelindung, tiada penunjuk jalan, tanpa perlindungan, Beliau terdorong oleh belas kasih berusaha demi kebebasan mereka; Beliau berkehendak memberikan kebahagiaan tertinggi sekalipun pada mereka yang tidak mengenalnya serta menentang ajarannya.

Pada masa itu, Bodhisattva terlahir ke dalam sebuah keluarga raja yang dihiasi baik oleh kesederhanaan maupun keagungan. Kekayaannya diperbesar oleh perhatiannya pada rakyatnya, kekayaan keluarganya berkembang dengan mudah dan tanpa ancaman dari para lawannya, dan dengan bangga menyampaikan penghormatan mereka kepadanya. Dengan demikian kemasyhuran serta keagungannya tersebar luas serta jauh. Seluruh penduduk saling bahu-membahu, baik dalam kegembiraan maupun penderitaan mereka, sehingga tak mengherankan bilamana kelahiran putranya menjadi perayaan bagi istana maupun kota.

Di istana, dana dihamburkan kepada para brahmana, lebih dari cukup untuk memenuhi tangan mereka dan memuaskan batin mereka, seluruh punggawa kerajaan diberi busana berwarna-warni. Di luar istana, nyanyian, canda dan tawa bergema di jalanan dan dibarengi oleh berbagai suara alat music. Rasa gembira di hati rakyat tampak dalam keriangan, tarian, serta lainnya; mereka saling memberi tahu satu sama lain, saling bertukar kabar tentang kabar gembira, karena berpikir bahwa diri mereka sendiri telah menerima pemberian yang menakjubkan.

Kebahagiaan sang raja tumbuh semakin besar dalam kegembiraannya. Pintu penjara dibuka dan seluruh tahanan dibebaskan. Bendera dikibarkan di atas bangunan dan bumi diperciki dengan arak serta wewangian, ditutupi dengan serbuk permata dan bunga wangi. Kota terlihat indah bagaikan hari besar yang penting. Dari balai dana yang megah keluar pemberian yang bagai saluran air mengalir: busana, emas, permata, dan sebagainya, begitu pula kebahagiaan sendiri, bagaikan Sungai Gangga, yang telah mengaliri seluruh dunia.

Ketika itu secara kebetulan terjadi, setiap anak laki-laki yang lahir dalam keluarga raja, meninggal segera setelah kelahirannya. Menduga kematian tersebut disebabkan perbuatan raksasha, raja bermaksud untuk melindungi anak ini dari bencana yang sama. Ia memerintahkan agar sebuah rumah dibangun seluruhnya dari besi, namun dihiasi dengan permata-permata yang menakjubkan, patung dari emas, dan juga perak. Upacara untuk menghancurkan raksasha, demikian pula upacara perlindungan, serta upacara keberuntungan untuk membawa kemakmuran dan purifikasi, dilaksanakan sesuai ajaran kitab-kitab suci.

Pangeran muda tumbuh di dalam rumah besinya dan mendapatkan pengawasan yang sangat ketat, demikianlah karena kekuatan sifatnya dan juga penimbunan kebajikannya yang besar, sehingga tak ada raksasha yang dapat menyentuh Mahasattva ini. Pada suatu waktu, setelah upacara dan diksa dilangsungkan, Ia dibimbing oleh guru yang dipuji karena pengetahuannya pada kitab suci, dan dipuja karena kesusilaan, kebijaksanaan, kehormatan, keseimbangan, disiplin dan kebajikannya. Darinya Ia mempelajari berbagai cabang pengetahuan.

Setiap hari, oleh karena pangeran telah tumbuh dewasa, kerendahan hati dan sifatnya yang menyenangkan menimbulkan pengaruh yang luas pada rakyat. Karena kebajikan yang cemerlang menarik kecintaan rakyatnya, sekuat seperti mengasihi sahabat atau keluarga mereka yang terbaik, sebagaimana senyum bulan di musim gugur di surga, menyebarkan cahayanya dengan bebas ke segala penjuru, menawan hati siapa pun.

Demikian halnya Mahasattva menikmati kebahagiaan dan kenikmatan surgawi pada dirinya sebagai buah dari kebajikannya. Setiap saat ayah yang begitu mencintainya, serta yang memperlakukannya dengan penghargaan yang tinggi, telah terhapus kecemasannya terkait dengan keselamatannya.

Saat itu, pada suatu pesta bunga, Bodhisattva memperlihatkan minatnya untuk melihat hiasan-hiasan yang indah serta bagus di kota. Atas ijin raja, pangeran menaiki kereta kerajaan, kendaraan yang indah, dihias dengan perhiasan emas berkilau, permata dan juga perak, bendera berkibar serta panji berwarna-warni. Kudanya sangat terlatih serta cepat, dihiasi dengan tali keemasan; kusirnya dipilih berdasarkan keterampilan serta kesucian, kesopanan, kerendahan hati serta kegigihannya.

Diiringi dengan suara tambur serta alat-alat musik lainnya, dikelilingi oleh para punggawa dalam barisan yang menarik, pangeran melintasi kota, matanya dengan penuh minat memperhatikan hiasan jalan yang dilewatinya, bersama-sama dengan rombongan dalam busana perayaan mereka yang bagus. Setiap orang berharap dapat melihat sekilas sang pangeran pada saat pangeran memandang mereka; di sepanjang jalan, semua penduduk mengucapkan puji-pujian serta penghormatan, dengan menundukkan kepala mereka, tangan beranjali dan melafalkan doa keberuntungan.

Mengingat bahwa perenungan terhadap keindahan menakjubkan tersebut biasanya akan menimbulkan kegembiraan meluap di hati, sang pangeran yang sangat terbiasa dengan penderitaan samsara menjadi ingat dengan kehidupannya yang lampau dengan perayaan yang dipersembahkan. Diliputi oleh kesedihan, pangeran mengeluh: .Oh! Betapa penuh emosi dunia ini, bagaimana ketidakpuasanlah yang menjadi hakikatnya. Kekaguman pada perayaan bunga ini akan segera berakhir dan hanya akan tertinggal dalam kenangan. Dan meskipun demikian, betapa tak sadarnya sikap makhluk hidup ini, berlarian menuju segala bentuk kesenangan sesaat dengan batin yang tak risau, hingga setiap langkah yang mereka ikuti berakhir dalam kematian.

“Dari kesukariaannya orang akan berpikir bahwa mereka tak ada yang ditakutkan, meskipun ketiga musuh yang kekuatannya tak terkalahkan; penyakit, usia tua, dan kematian, senantiasa berdiri di dekatnya. Dan di sana tak ada jalan untuk melarikan diridari kehidupan selanjutnya yang menakutkan. Apa alasannya, kalau demikian, akankah orang bijak mencari kesenangan?”

“Awan melepaskan hujan derasnya dengan samudra yang bergolak murka. Meskipun, telah tersusun, awan seperti itu akan segera menghilang, bersama dengan rentetan kilasan keemasannya.

“Sungai mampu menghanyutkan pohon dan menerjang tepinya sendiri, pada waktu surut menjadi dangkal, seolah telah dibersihkan oleh dukacita.”

“Angin puyuh menyebabkan puncak gunung runtuh, membuyarkan kumpulan awan, dan menimbulkan gelombang. Pada waktu bergerak, taman besar serta hutan terombang-ambing.”

“Pertemuan apakah yang tak akan berakhir dengan perpisahan? Bagaimana bisa Engkau tak akan menjadi tua renta? Ketidakekalan mendasari segala sesuatu di dunia, sehingga kegembiraan karena keramaian adalah sungguh tanpa dasar.”

Dengan pemikiran seperti demikian, Bodhisattva memalingkan perhatiannya dari daya tarik mengagumkan yang ada di hadapannya. Ia tak lagi tertarik oleh kerumunan orang yang berkumpul di kota. Dan dalam pemikirannya tersebut Ia menyadari bahwa dirinya telah sampai kembali di istana.

Perasannya sangat kuat. Dalam pemahamannya yang jelas bahwa tak ada pelindung kecuali kebajikan, Ia berniat untuk menjalankan hidup berkebajikan, yang bebas dari kesenangan indriawi. Segera setelah Ia memutuskan hal ini, Ia pergi menghadap raja, ayahnya, dan dengan tangan beranjali memohon ijin untuk pergi bertapa ke hutan.

“Dengan mengangkat ikrar penolakan duniawi kami berharap untuk membawa kebajikan kami sendiri. Persetujuan baginda akan menuntun kami; Baginda dapat menganugerahi kami keperluan yang tak seberapa.”

Namun karena sang raja sangat mencintai putranya, Ia sangat terpukul hatinya mendengar permohonan tersebut, dan gemetar bagaikan gajah yang terluka oleh anak panah beracun, seperti laut yang sangat dalam teraduk oleh hembusan angin. Tak ingin berpisah dengan putra yang dicintainya, raja memeluknya, dan berbicara dengan suara bercampur air mata: “Anakku, mengapa Engkau memutuskan untuk meninggalkan kami begitu tiba-tiba? Siapa yang telah membuat hatimu begitu kecewa sehingga membuatmu ingin segera pergi? Keluarga siapa yang akan menerima tangisan air mata kesedihan karena menyebabkan penderitaan ini?”

“Atau karena Engkau telah melihat atau mendengar sesuatu yang tidak pantas yang telah kulakukan? Katakan kepadaku apa itu sehingga aku dapat memperbaikinya, karena aku sendiri dapat melihat bahwa tak ada apa-apa yang terjadi dalam keluarga.”

Bodhisattva menjawab, “Siapakah yang dapat menyebabkan kesedihan seperti itu pada diri kami? Dan kesalahan apa yang mungkin mereka lakukan dimana Engkau menunjukkan kasih saying sedemikan besarnya?”

“Tetapi lalu mengapa Engkau berkehendak meninggalkan Kami?” teriak raja. Mahasattva menjawab, “Karena pastinya kematian. Baginda mohon berpikirlah, sejak malam dimana kita mendapati diri kita dalam kandungan, kita tanpa henti bergerak menuju pada dewa kematian, bergerak tanpa jeda dari hari ke hari. Tak masalah betapapun kita sangat terampil dalam mengelola pemerintahan kita, bagaimanapun kuatnya, tak seorang pun dari kita yang akan luput. Usia tua dan kematian meresapi setiap atom di dunia ini. Untuk itulah, kami hendak pergi ke hutan, untuk menjalankan kehidupan agama.”

“Seorang pangeran perkasa dapat mengalahkan seluruh bala tentara berjalan kaki, berkuda, kereta dan gajah seluruhnya di medan peperangan. Tetapi tak ada pangeran yang dapat mengalahkan musuh yang kita sebut sebagai kematian, meskipun Ia seorang diri maju dalam peperangan. Karenanya Aku berlindung pada kebajikan.”

“Dikawal oleh kuda-kuda, gajah-gajah, dan bala tentaranya yang berjalan serta dalam kereta, seorang pangeran dapat melarikan diri dari musuh ma “Gajah ganas dengan gading bagaikan penumbuk yang dapat menghancurkan gerbang benteng, menginjak orang dengan kakinya, menghancurkan kereta, bahkan juga gajah lain. Meskipun gadingnya, begitu Berjaya terhadap tembok kota, juga tak dapat melawan menentang kematian ketika ia memilih untuk menyerangnya.”

“Pemanah ulung akan sanggup mencabik-cabik musuhnya menggunakan anak panahnya, bagaimanapun mereka dilindungi dengan baik oleh baju besi yang baik dan kuat, tak soal berapapun jauhnya, dan mungkin mereka terlindung. Tetapi tak ada pemanah yang dapat melukai musuh lama yang kita sebut sebagai kematian.”

“Singa dapat menghancurkan bahkan gajah yang tangguh, menancapkan taring pemotongnya yang tajam pada kepalanya yang tangguh itu. Auman singa memekakkan telinga dan menggetarkan hati setiap binatang. Tetapi ketika singa berhadapan dengan raja kematian, keangkuhan dan kekuatannya runtuh, Ia juga pulas dalam tidur kemtiannnya.”

“Raja biasanya menghukum mereka yang berbuat menentangnya sesuai dengan hukuman yang berlaku. Akan tetapi bila musuhnya itu adalah kematian, Ia tak ingin melanggar hukumnya, karena penderitaan kematian mungkin akan berat. Raja dapat menaklukkan musuh lamanya dengan menyiasatinya dan berkompromi, tetapi kematian diperkuat oleh waktu penyerangannya. Kematian tak dapat dikalahkan manusia dengan menggunakan kepandaian.”

“Jika ular menyerang orang karena marah, racun dari ujung taringnya membakar sperti kobaran api yang sangat panas. Namun menghadapi kematian, bau busuk ular tidaklah cukup.”

“Seorang tabib akan menggunakan bisa ular yang dimantrai atau obat, akan tetapi bisa kematian begitu cepatnya, hingga tak ada mantra maupun obat yang mempunyai kekuatan untuk bereaksi terhadapnya.”

“Seekor garuda menimbulkan ketakutan pada seluruh kawanan ikan yang bermain ketika ia mengguncang laut dengan kepakan sayapnya yang besar; dengan menjulurkan paruhnya ia mengincar korbannya. Meskipun demikian bahkan penyerang yang luar biasa ini tak akan dapat menggagalkan kematian.”

“Harimau di hutan akan dengan mudah menyerang rusa ketakutan dan menghancurkannya ketika di mulutnya, menenggak darahnya yang tercabik oleh taringnya yang mengkilap. Tetapi ia tidak begitu berani ketika kematian datang. Atau seekor rusa mungkin dapat melepaskan diri dari taring harimau yang kurang dari serambut, akan tetapi siapakah, yang setelah terjangkau oleh mulut kematian, dengan taring terangkat penyakit, usia tua dan kesedihan, akan bisa meloloskan dirinya dengan cerdik?” “Raksasha yang buruk rupa dan kejam akan mengisap kekuatan utama korbannya, dan dengan sekali isap mengeringkan daya hidup. Namun demikian, ketika saatnya tiba untuk melangsungkan perang dengan kematian, mereka juga akan kalah.”

“Seorang ahli mistik dapat mengalahkan yaksha menggunakan kekuatan yang dikembangkan dari bertapa, dengan mantra dan ramuan; akan tetapi menghadapi yaksha kematian mereka tidak memiliki penawarnya. Mereka yang mahir dalam seni sulap dapat mengelabui pandangan banyak penonton; tetap saja kematian jauh lebih kuat dan tak dapat dikelabui bahkan oleh seorang pesulap terunggul sekalipun.”

“Semua yang telah menguji keampuhan racun ular dengan ketelitian yang tinggi, seluruh tabib terhebat yang dapat menyembuhkan serangan penyakit manusia, bahkan Dhanvantari dan yang sepertinya, masing-masing satu per satu telah pergi. Untuk itu, kami bermaksud pergi ke hutan melakukan kebajikan.”

“Para Vidyadhara dengan mantranya yang ampuh dan kesaktiannya dapat membuat dirinya tak terlihat atau terlihat kembali sekehendak hatinya, terbang ke angkasa dan menyusup ke dalam bumi. Namun demikian, mereka kehilangan kesaktiannya ketika berhadapan dengan kematian.”

“Para dewa menghalau pulang para asura, dan sebaliknya mereka sendiri diusir pulang. Meskipun bala tentara keduanya disatukan, tak berarti apa-apa di hadapan kematian.”

“Memahami ketangguhan kematian, musuh kita yang terbesar, aku tak ingin lagi mencari kesenangan dalam kehidupan rumah tanggaku. Aku bukan pergi karena marah, bukan pula karena kurang mengasihanimu, tetapi karena aku telah memutuskan untuk menjalani kehidupan berkebajikan di hutan.”

Raja menjawab:”Apa yang hendak kaucari di hutan, bukankah bahaya kematian tak dapat dielakkan? Untuk apa mengangkat ikrar kehidupan suci? Bukankah kematian tetap akan menghampirimu di sana? Bukankah rsi yang menjaga ikrarnya juga mati? Hidup yang ingin kaujalankan dapat dilaksanakan di mana saja. Mengapa Engkau harus meninggalkan rumahmu dan pergi ke hutan?”

Bodhisattva menjawab:”Aku tak meragukan bahwa kematian juga menghampiri mereka yang hidup di hutan sebagaimana yang tinggal di rumah; bagi orang yang jahat maupun yang baik. Meskipun orang baik tidak punya alasan untuk menyesal, dan kebajikan sudah pasti lebih mudah dicapai di hutan. Pahamilah, Baginda:

“Rumah adalah sarang kegilaan, kecintaan indriawi, kebencian, iri hati dan segala sesuatu yang berlawanan dengan kebajikan. Ia merupakan tempat bagi tiadanya pengendalian diri. Kesempatan apakah yang ada di sana untuk menempatkan diri sendiri pada kebajikan jika rumah tangga dirisaukan oleh begitu banyak urusan-urusan yang remeh? Kewajiban untuk mengumpulkan dan melindungi harta mengganggu pikiran, telah menimbulkan persoalan akibat kemunculan dan berhadapan dengan tiada terbilang bencana. Jika demikian adakah kesempatan untuk menyeimban “Di hutan, sebaliknya, setelah menanggalkan berbagai beban tanggung jawab tersebut, bebas dari urusan benda-benda duniawi, orang akan berada dalam keleluasaan dan berusaha mencapai ke “Tak ada kekayaan maupun kekuatan yang dapat melindungi kita, kecuali kebajikan. Kebajikanlah yang membawa kebahagiaan, bukannya memiliki rumah yang banyak. Bagi orang yang baik, kematian hanya akan menyeba Dengan cara demikianlah Mahasattva meyakinkan ayahandanya agar mengijinkan dirinya pergi meninggalkan istana. Meninggalkan kebahagiaan istana seolah seperti membuang jerami kering yang tak berarti, ia lalu mendirikan pondoknya di hutan para pertapa. Di sana, ia mencapai tingkat dhyana yang ti Dari cerita ini orang dapat melihat bagaimana bahkan keagungan kerajaan tak akan menghalangi orang di jalan kebajikan, sekali pikiran seseorang melihat tiadanya arti keberadaan. Demikianlah, orang harus membiasakan dirinya dengan ketiadaan arti yang demikian ini. Kisah ini juga untuk disampaikan ketika mengungkapkan cara yang benar dalam memandang kematian, dan ketika memuji kebajikan yang mengikuti kesadaran kebebasan. Ini juga berguna ketika menerangkan makna yang senatiasa hadir dalam kesadaran terhadap kematian, dan pada saat mengajarkan ketidakkekalan. Orang juga dapat menggunakan ajaran ini pada saat menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak terikat pada apa pun di dunia ini, mengingat bahwa apa pun yang berwujud tak dapat diandalkan. Juga dengan penutup demikian: di dunia ini kita sesungguhnya sendirian serta tiada kawan. Dan juga ini barangkali dapat dipertegas lagi: .Sangat mudah meraih kebenaran di hutan, sebaliknya sangat sukar bagi perumah tangga..

[Rob]

Sumber: JATAKAMALA, Untaian Kelahiran (Bodhisattva), oleh Acharya Aryasura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *