Ceritaku Tentang Ibu

  • January 18, 2017

Saya ingin sekali bercerita tentang ibu saya. Ibu saya memang bukan orang yang berpendidikan. Berbeda dengan anak-anaknya S1,S2 bahkan hampir S3. Ibuku juga berasal dari keluarga yang miskin, sudah sejak kecil harus membanting tulang. Mana mungkin punya biaya untuk sekolah sedangkan makan saja susah. Ibu saya setahun sekali mendapatkan baju baru yang sengaja dibuat lebih besar lalu dilipat, jika sudah bertambah dewasa maka lipatannya dilepas. Beda sekali dengan anak-anak orang kaya jaman sekarang, beli baju bisa setiap saat dan kalau sudah kekecilan ya bisa diberikan kepada orang lain atau dibuang. Hidupnya sangat keras, dalam usia yang sangat muda sudah bekerja di sebuah industri rumah tangga, juga sebagai “orang yang disuruh-suruh” mungkin seperti OB jaman sekarang. Ibuku sangat hemat, tiap kali mendapatkan uang disimpan dan dibelikan emas, dan dari situlah modal untuk bapakku membuka usaha.

Ibuku juga sangat disiplin, beliau punya jadwal untuk anak-anaknya. Jam tidur, jam makan, apa saja yang boleh dimakan, dll sudah beliau atur. Dan kami semua mematuhinya. Pernah dahulu saat saya duduk di taman kanak-kanak, ada teman saya yang ulang tahun lalu memberikan saya bingkisan makanan, ibu saya melarang saya makan beberapa item misalnya tidak boleh makan agar-agar ini karena banyak pewarna makanan. Saya mencoba negosiasi agar ibu saya tidak menyita hadiah paket makanan tersebut. Lalu saya bilang iya ma, saya nggak makan. Tapi ini untuk saya main-main saja. Tapi memang saya nggak makan agar-agar tersebut, hanya untuk saya pegang-pegang saja ?. Mama saya bilang nanti beliau akan masak agar-agar untuk saya yang pakai gula asli dan tanpa pewarna.

Oh ya beliau juga punya jadwal mandi, kalau saya tetep main-main dan gak pulang-pulang lalu telat mandi, siap-siap saya bisa kena marah atau kena pukul. Memang sangat disiplin. Tapi saya sungguh belajar menjadi disiplin dari beliau.

Mama saya memang bukan tipe ibu yang merayakan ulang tahun anaknya di sekolah (bahkan sekali pun belum pernah), bukan juga tipe yang selalu memenuhi keinginan anak-anaknya. Orang tua kami juga bukan tipe yang memanjakan anak, bukan juga yang sangat protektif. Saya dulu pernah takut tidur di kamar yang terpisah dari orang tua (karena sejak bayi memang tidur dengan orang tua), lalu saya tetap disuruh tidur dikamar terpisah. Harus berani. Adik saya pernah takut ditinggal sendirian di TK nol kecil, tapi diajarkan harus berani. Jadi kami diajarkan apa-apa harus bisa sendiri. Itulah mengapa saya dan adik-adik saya yang bertiga adalah perempuan merupakan pribadi yang cukup tangguh.

Saya ingat dulu saya ingin membeli sebuah sepeda, bahkan saya harus menabung sekian tahun untuk membeli sepeda tersebut. Uang tersebut saya dapat dari saya menabung uang jajan saya, uang angpao, dan kadang juga uang tips yang diberikan mama saya kalau saya membantu pekerjaan beliau. ?Disini saya diajarkan bagaimana berhemat, hidup sederhana dan kita harus berusaha jika kita menginginkan sesuatu. Tidak ada sesuatu yang kita dapatkan secara instan. Suatu slogan kerja keras yang sudah terpatri sejak beliau kecil diturunkan kepada anak-anaknya.

Pernah saya protes bahwa saya sedih, masa liburan panjang nggak pernah jalan-jalan, cuma dirumah saja. Ya memang seperti itu. Tidak ada agenda kalau liburan anak-anak dibawa jalan-jalan misalnya liburan keluar kota atau sekadar ke mall. Tapi orang tua saya mengajarkan bahwa masih untung kita ini cukup makan, bisa bersekolah, punya tempat tinggal, tidak kekurangan dan sangat berbeda dengan kondisi ketika orang tua saya masih kecil. Orang tua saya makan saja susah apalagi mau sekolah. Beliau pernah berkata bahwa yang penting adalah anak-anaknya tidak mengalami hal yang sama dengannya. Ya kami diajarkan untuk bersyukur. Bahwa kondisi kami ini sudah lebih dari cukup.

Mama saya mungkin hanya bergelar ibu rumah tangga, tapi pekerjaannya super duper banyak. Harus memasak untuk seluruh karyawan bapak saya, harus ke pasar, harus mengurus anak-anak, harus beresin rumah, mengepel, mencuci, membuatkan susu anak bayinya, dll. Tidak punya pembantu dan juga tidak punya baby sitter. Merawat 3 orang anak. Semua dilakukan sendiri. Termasuk mengantar anaknya ke TK. Pokoknya banyak sekali dan semua itu dikerjakan tanpa pembantu. Bravo kan?

Ketika kami dewasa, bukan berarti tugas seorang ibu selesai. Tidak demikian…tugas ibu itu sepanjang hayatnya. Seorang anak yang sudah dewasa, tetap akan dikhawatirkan bagaimana keadaannya, apakah cukup makan,apakah baik-baik saja. Maka demikianlah kasih ibu tak lekang oleh waktu. Sampai saat inipun ibu saya tetap mengurus anak-anaknya dan tak henti-hentinya mendoakan anak-anaknya.

Dari seorang ibu yang baik dan luar biasa maka kami ada. Tidak ada kata yang sanggup mendeskripsikan rasa terima kasih itu. Kami ada karena engkau.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *