Melihat Swarnadwipa Dharmakirti dan Atisa Dipankara Sri Jnana di Sriwijaya

  • July 20, 2008
Oleh: Bhiksu Bhadra Ruci
Swarnadwipa Dharmakirti

Adalah terjemahan Tibet dari kata pa secara harfiah menunjuk pada orang, Jadi gSer-gling-pa berarti orang yang berasal dari Serling/ Swarnadwipa. Nama asli beliau adalah Dharmakirti. Pada banyak catatan yang bisa diketemukan, hanya mencatat bahwa Atisa berlayar selama empat belas bulan, ada yang mengatakan tiga belas bulan dari Benggal (India) menuju Swarnadwipa pada usia tiga puluh satu tahun dan tinggal di Swarnadwipa selama tiga belas tahun lamanya. Pada waktu itu di Dharmakirti adalah seorang guru agama Buddha yang sangat terkenal yang bertempat tinggal di ibukota Sriwijaya. Perjalanan pelayaran ini dimulai pada tahun 1012 Masehi, ada juga yang mengatakan pada tahun 1013 Masehi.

Dikatakan dalam Riwayat Guru-Guru Lamrim, bahwa Dharmakirti pergi ke Jambudwipa (India) belajar di bawah Sri Ratna dan menjadi biksu di bawah guru ini. Dikatakan juga Dharmakirti lahir dari keluarga kerajaan, dia adalah anak raja dari Sriwijaya.

Dimanakah Swarnadwipa? Dari arti kata swarna (sansekerta) berarti emas dan dwipa berarti pulau. Swarnadwipa berarti pulau emas. Apakah artinya pulau yang terdapat banyak emas, atau pulau yang tanahnya kuning mirip emas. Ada catatan yang cukup jelas di Tan-gyur pada bagian Abhidsamaya-alamkara-nama-prajnaparamitra-upadesa-sastra-vrtti-durbodha-aloka-nama-tika edisi Peking, pada bagian catatan akhir menerangkan bahwa : ditulis oleh Dharmakirti atas permohonan raja Sri-Cudamaniwarman, pada tahun ke 10 masa pemerintahan raja Cudamaniwarnan di Vikjayanagara dari Swarnadwipa. Dan pada bagian katalog, Cordier menuliskan pengarang dari teks tersebut adalah : acarya Dharmakirti dari Swarnadwipa dan ia menambahkan : karya tersebut ditulis pada jaman kekuasaan Dewa-Sri-warman-raja, Cudamani alias Cudamanimanpada, di Malayagiri wilayah Wijayanagara dari Swarnadwipa. Kita dapat menafsirkan bahwa Wijayanagara adalalah ibukota dari kerajaan Swarnadwipa dan Sri-wijaya adalah sama dengan Sriwijaya. Dengan demikian Swarnadwipa dipastikan adalah pulau Sumatera yang berada di Indonesia.

Pada catatan dari Cina kita dapat memperoleh keterangan bahwa pada tahun 1003 Raja Sri Culamaniwarman mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa upeti. Dan pada tahun 1008 datang lagi utusan dari raja yang sama ke Cina. Dengan demikian dapat kita perkirakan Dharmakirti menulis risalah Prajnaparamita Sutra tersebut berkisar permulaan abad XI. Dapat pula bahwa Atisa datang ke Swarnadwipa pada masa pemerintahan raja Cudamaniwarman. Dan Raja Mara W ijayottunggawarman, anak raja Cundawarman ini mendirikan vihara di India Selatan atas nama ayahnya.

Pada risalah Lamrim menjelaskan bagaimana Atisa ketika tiba di Sumatera. Dikatakan bahwa Atisa setibanya di Sumatera bersama dengan seorang murid yang bernama Ksitigarbha, tidak langsung bertemu dengan guru Dharmakirti, tetapi ia tinggal bersama di daerah murid guru Dharmakirti berdiam untuk memperoleh informasi tentang sang guru tersebut dari para muridnya. Setelah mengetahui kedatangan Atisa, sang calon guru mengumpulkan para biksu tempat Dharmakirti tinggal dan menuju tempat Atisa tinggal guna menyambut kedatangan seorang guru besar dari India. Pada bagian Lamrim yang lain lebih jelas menerangkan bahwa rombongan Guru Dharmakirti sebanyak 597 orang, diantaranya 535 adalah bhiksu, mengenakan pakaian kebiksuan lengkap, membawa mangkok biksu dan tongkat khakkhara. Akan tetapi tidak menerangkan warna jubah yang dikenakan oleh para bhiksu ketika itu. Tetapi rombongan Atisa mengenakan jubah yang dicelup dengan pewarna saffron dari Kasmir, membawa mangkok biksu dan khakkhara, juga mengenakan topi pandita dan membawa pengusir serangga dari ekor yak.

Tidak ada yang tahu sampai kapan Guru Besar Dharmakirti hidup. Catatan dari Tibet menerangkan beliau hidup hingga usia 150 tahun dan bertempat tinggal di Swarnadwipa ketika Atisa mencapai kedudukan tertinggi sebagai pendeta besar di biara Vikramasila di India.

Beberapa karya dari Dharmakirti antara lain yang masih bisa dilacak dari Tan-gyur: Siksa-samuccaya-abhisamaya-namah. Pada catatan akhir dari karya ini dituliskan pengarangnya adalah Ser-ling-gyalpo-pal-dan cho-kyon, yang artinya Sri Dharmapala dari Swarnadwipa. Ada banyak diskusi tentang Dharmakirti dan Dharmapala. Sebagian sarjana mengatakan kedua orang tersebut adalah sama, sebagian menerangkan tidak. Sayangnya kita tidak menemukan banyak catatan maupun informasi tentang hal ini. Khusus tentang hal ini, pada catatan akhir dari Satya-dvaya-avatara oleh Dipankara menyebutkan nama seorang guru Mahayana Dharmapala, raja dari Swarnadwipa.

Atisa

atisha

Atisa (982-1054 M) dilahirkan pada keluarga kerajaan di kota Zahor dengan nama Chandragarbha, adalah anak ke dua dari raja yang berkuasa di India bagian timur yang sekarang adalah Bengal. Ayah beliau adalah Raja Kalyanasri dan Ibu beliau adalah Sri Prabhawati. Saudara tua Atisa adalah Padmagarbha dan yang terkecil adalah Srigarbha. Kerajaan tersebut bernama Vikramapura. Pada catatan akhir dari Prajna-paramita-pindartha-pradipa, Tan-gyur edisi Peking, tertulis : Teks ini mengandung dokterin dari Buddha, biksu kelahiran Bengal menulis berdasarkan sastra-sastra dan guru-vacana. Juga pada Bodhi-marga-pradipa-panjika-nama tertulis :”…Dipankara Sri jnana, a descendant of the Bengalae King… representatif dari Buddha masa kini, Dipankara Sri Jnana yang lahir di Bengal”, dan beberapa karya dari beliau mencatat hal yang sama. Pada catatan dari Tibet juga menginformasikan pada kita bahwa tempat kelahiran Atisa adalah Bengal, negeri bagian dari India.

Atisa sejak usia muda telah belajar Buddhis. Sebelum ditahbiskan menjadi biksu, Atisa mencari guru untuk belajar Mahayana dan Tantra. Adalah Vidyakokila Muda yang bernama Avadhutipa mengajarkan banyak Dharma pada Atisa dan beliau tinggal bersama dengan guru ini selama 7 tahun. Pada usia 29 Atisa di tahbiskan menjadi biksu oleh Silaraksa dari tradisi Mahasamghika. Dipankara atau Dipankara Sri Jana adalah nama tahbis yang diberikan oleh Silaraksa padanya. Dikatakan bahwa Atisa telah belajar pada 157 orang guru di India dan beliau menjadi seorang cendikiawan besar Buddhis pada masa itu.

Atisa mengenyam pendidikan di biara Nalanda, biara Buddhis yang sangat terkenal waktu itu. Sistem pendidikan filosofis Buddhis yang ketat dan mendalam akhirnya membentuk Atisa menjadi seorang cendikiawan hebat.

Atas petunjuk Tara, beliau berangkat ke Swarnadwipa untuk memperoleh pelajaran tentang Bodhicitta pada Guru Dharmakirti. Dari Gurunya Rahulagupta, Atisa menerima semua pelajaran tentang Tantra dan mengintruksikan untuk menjadikan Maha Karunika sebagai Istadewata.

Apa yang membuat Atisa, seorang biksu yang sangat terpelajar bersusah payah datang ke Sumatera untuk bertemu dengan Dharamkirti? Adalah mengenai Dharma apa yang seharusnya dilatih oleh seseorang agar dapat mencapai pencerahan dengan cepat, dan kesimpulan yang dicapai adalah sama-beliau harus melatih diri dalam batin pencerahan. Salah satu dewi tersebut juga menggambarkan kepada rekannya sebuah metode efektif untuk melatih diri sendiri dalam batin ini. Atisa menghentikan pradaksinanya dan mendengarkan dengan seksama, menerima apa yang mereka katakan bagaikan cairan yang dituangkan dari satu bejana ke bejana lainnya.

Lebih jauh lagi pada teks yang sama menjelaskan: ketika Atisa duduk dekat tembok batu yang dibangun oleh Nagarjuna, beliau melihat dua wanita tidak jauh dari sana, satunya muda dan yang satunya lagi tua. Yang tua mengatakan kepada yang muda bahwa siapapun yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat seharusnya melatih diri mereka dalam batin pencerahan. Lalu pada waktu lain, ketika melakukan pradaksina Maha Bodhi Vihara beliau mendengar kata-kata ini diucapkan dari gambar seorang Tathagata di bawah sebuah beranda: “O Bhadanta, seseorang yang berharap untuk mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya sendiri dalam kebaikan hati, cinta kasih, dan batin pencerahan.” Dan ketika melakukan pradaksina pada sebuah bangunan kecil dekat tembok batu tersebut, tidak jauh dari sana beliau mendengar gambar Buddha Sakyamuni berwarna gading berkata, “Yogi, seseorang yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya dalam batin pencerahan.”

Dari catatan yang kita peroleh menjelaskan bahwa hanya di Swarnadwipa-lah, oleh Dharmakirti yang telah memperoleh pelajaran inti untuk penerangan (bodhicitta), yang secara unik yakni menggabungkan dua metode yang ada menjadi satu dalam melatih kemajuan batin untuk mengembangkan bodhicitta. Pada Riwayat Guru-Guru Lamrim mengatakan : “Lebih dari itu Beliau juga menerima secara khusus silsilah dua pionir Maha Guru Mahayana: Silsilah Praktek Kebijaksanaan Mendalam oleh Maha Guru Nagarjuna dan Silsilah Praktek Metode Luas oleh Arya Asangha. Tambahan lagi Ajaran tentang Tiga jenis makhluk sesuai tahapan Jalan Menuju Pencerahan Agung yang mana kesemuanya ditransmisikan hingga masuk ke dalam hati sanubarinya dengan tanpa ada yang terlewatkan. Beliau menerapkan gabungan instruksi Abhisamayalamkara dan Prajnaparamita Sutra yang menyebabkan beliau menjadi yang terbaik dari para cendekiawan. Yang juga istimewa adalah kekuatan tekad serta keyakinan akan kebenaran bahwa dengan membangkitkan batin maha mulia Bodhicitta bagai gelombang samudra yang dahsyat maka Beliau mampu memberikan kasih sayang yang besar dan bekerja demi kepentingan segenap makhluk lain sebagaimana instruksi silsilah mendalam yang ditransmisikan dari bodhisattva Manjushri hingga Bodhisattva Shantidewa.” Lebih lanjut dalam teks menjelaskan keagungan dari Dharmakirti : “Beliau yang memiliki bodhicitta nan penuh cinta kasih dan welas asih yang mendalam dan luas kepada segenap makhluk juga memperoleh gelar Sang Metripa yang dicabut dari akar nama Bodhisattva Maitreya. Sejak itulah beliau terkenal sebagai Lama Serlingpa Metripa (Sang Pengasih dan Penyayang dari Pulau Emas).”

Setelah kembali dari Sumatera ke India, Raja India Mahapala meminta beliau menjadi kepala biara Vikramasila dan menduduki posisi Pendeta Tinggi. Setelah beberapa tahun kemudian, Atisa diundang ke Tibet untuk menghidupkan kembali Buddhis di tanah bersalju setelah terjadi kemerosotan oleh Raja Langdharma dari tahun 838-842 M. Beliau berangkat dari biara Vikramasila, yang menjadi kepala biara waktu itu adalah Ratnakara.

Atisa memberikan sumbangan yang sangat besar pada perkembangan Buddhis di masanya dan masa sekarang, terutama pada kebangkitan kembali Buddhis di Tibet. Setelah kembali dari Sumatera, beliau menyusun Bodhi-patha-pradipa (Lampu Penerangan Sang Jalan), yang menjadi teks dasar oleh Tsong Khapa (1357-1419) menyusun Jalan Bertahap Menuju Pencerahan (Lamrim) selesai pada tahun 1402 yang memberi pengaruh yang luar biasa pada para biarawan, pendeta, maupun para cendikiawan yang mempelajari filosofis Buddhis.

Pengaruh dan peranan Buddhis pada masyarakat Sriwijaya

Dari informasi yang kita dapat tentang Dharmakirti dan Atisa, terutama dari sudut pandang sejarah perkembangan Buddhis pada masa tersebut kita dapat memperkirakan seperti apa masyarakat dan kebudayaan di Sriwijaya. Bagaimanapun, masyarakat waktu itu adalah penganut Buddhis. Dimana-mana dapat dijumpai biarawan, biksu yang mengenakan jubah berwarna saffron. Biara-biara dapat dengan mudah dijumpai. Pada pagi hari dan senja wangi dupa dan semaraknya bunga-bunga dapat kita temui di semua pelataran biara, stupa dan bahkan rumah-rumah. Sayangnya tidak ada catatan yang jelas menerangkan bentuk pakaian biksu pada jaman Sriwijaya. Kita tidak dapat mengacu pada bentuk pakaian yang ada di negara Buddhis dewasa ini, seperti Thailand maupun Burma. Di kedua negara telah terjadi penyesuaian pakaian kebiksuan dengan lingkungan dan kebudayaan. Seperti juga pada biksu dari negeri Cina, I-Tsing mengatakan pada Catatan perjalanan ke Selatan bagaimana bisa kita orang dari negeri Cina yang memiliki pakaian yang elegan digantikan oleh pakaian orang India. Termasuk warna dari jubah biksu juga kita tidak memiliki informasi yang jelas. Meskipun Buddha sendiri mengharuskan para biksu mengenakan jubah berwarna saffron. Para biksu dari Thailand, Tibet, Cina, dan Korea menafirkan warna sesuai dengan cuaca mereka masing-masing.

Keberadaan biksuni juga menjadi pertanyaan, apakah kaum perempuan dari Sriwijaya ada yang menjalani kehidupan spritiual? apakah kondisi waktu itu cukup bagus bagi kaum perempuan untuk memasuki kehidupan biara? Bagaimana peranan perempuan bagi perkembangan Buddhis di Sriwijaya? Sayangnya tidak ada catatan sama sekali tentang hal ini.

Atisa sendiri menerima pentahbisan biksu dari tradisi Mahayana, dan Dharmakirti juga adalah seorang pendeta tinggi dari Mahayana, maka perkembangan pemikiran Mahayana Buddhis di India cukup banyak mempengaruhi kebudayaan Sriwijaya. Adanya persembahan bunga-bunga dan dupa wangi berasal dari kebudayaan India dan lebih banyak dipakai oleh kaum Mahayanis. Persembahan untaian bunga pandan yang hanya ada di Palembang sekarang tidak terlepas dari untaian bunga yang seringkali dipergunakan oleh kaum buddhis pada umumnya.

Dupa dari cendana, kayu gaharu, kemenyan wangi yang waktu itu merupakan komoditas perdagangan dipergunakan sebagai bahan untuk menciptakan bau wangi banyak dipakai di biara sebagai bagian dari upacara. Dalam Buddhis, pelita atau penerangan yang dinyalakan di altar Buddha di setiap cetya maupun biara mudah dijumpai di pelosok negeri.

Selain daripada peradaban yang berdasarkan Mahayana, ada beberapa perilaku yang berdasarkan Buddhis secara umum antara lain tradisi berderma bagi biara atau biarawan, mendirikan stupa atau biara, upacara kremasi bagi yang meninggal dunia.

Dari catatan I-Tsing tentang perkembangan Buddhis di Southern Sea, ia mengatakan bahkan hanya Mulasarvastivadin yang berkembang di daerah seperti Sribhoga (Sumatera), Mo-lo-yu (Melayu), P’o-li (Bali), Ho-ling (Kalinga), Tan-tan (kepulauan Natuna). I-Tsing juga mengatakan bahwa sistem Hinayana berkembang di negeri-negeri tersebut, kecuali Melayu (=Sribhoga).

Penutup

Atisa mengatakan pada risalah di catatan Tibet, “Saya tidak membuat perbedaan di antara semua guru satu dengan guru lainnya akan tetapi karena kebaikan hati dari Mahaguruku dari Pulau Emas saya memperoleh (sejengkal kebaikan hati, bodhicitta) kedamaian batin, dan hati yang mengabdi”.

Atisa menghabiskan selama 12 tahun di Sumatera yang akhirnya membawa Atisa menjadi seorang guru besar filosofis Mahayana dan Logika yang tersohor. Tak diragukan lagi bahwa Dharmakirtilah yang membuat Atisa menjadi seorang pandita besar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *