Memotong Akar Samsara dengan Keyakinan dan Kebijaksanaan

  • September 22, 2009

Siaran Web “Untaian Nasihat-nasihat yang Berharga kepada Seorang Raja” oleh Nagarjuna
Yang dibabarkan oleh Dagpo Lama Rinpoche

Sabtu, 19-Sept-2009
Sesi 2: 19:00-22:00 WIB

Seorang Buddha dikatakan telah mencapai tujuan pribadinya, karena beliau sudah (1) menanggalkan kedua obyek yang harus ditanggalkan, dan telah (2) mencapai semua kualitas-kualitas bajik yang harus dicapai. Karena ini pulalah, Buddha dikatakan telah memiliki dua jenis keunggulan, yakni Pelepasan Unggul dan Pencapaian Unggul, sehingga beliau memenuhi kualifikasi untuk bekerja demi semua makhluk.

Kita harus menyadari bahwa kita memiliki potensi untuk mencapai kualitas yang sama. Lebih jauh lagi, karena kita sudah tertarik dengan kendaraan agung dalam ajaran Buddha, maka kita bukan hanya mau mencapai Kebuddhaan, tapi harus mencapainya.

Kita harus mencapai Kebuddhaan, karena kalau kita tidak mencapainya, kita tidak memiliki kemampuan untuk bekerja demi semua makhluk: mengatasi penderitaan mereka dan mencapai kebahagiaan mereka. Kalau kita gagal untuk mencapainya, maka kita tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan bekejra demi semua makhluk.

Sekarang kita masuk pada bait kedua. Dalam bait ini dijelaskan alasan penulis menuliskan karya ini. Dua baris pertama, yakni :

“Wahai Raja, aku akan menjelaskan praktek yang sepenuhnya bajik
Agar kamu bisa merealisasikan ajaran dharma.”

Demi kebaikan sang raja, agar supaya dia bisa merealisasikan dharma, Nagarjuna mengatakan bahwa ia akan memberikan ajaran tersebut. Ada dua aspek ajaran, yakni (1) tekstual (scripture); (2) pencapaian spiritual (realisasi).

Dharma yang akan dijelaskan oleh Nagarjuna digambarkan sebagai ajaran yang sepenuhnya bajik. Ini merujuk pada kenyataan bahwa ajaran tersebut mencakup ketiga tahapan, yakni bagian awal, menengah dan akhir. Ketika seseorang mendengarkan ajaran seperti ini dari seorang guru, dan kemudian merenungkannya, ini juga bersifat bajik, karena ia akan mendapatkan hasil dari praktek tersebut. inilah alasan mengapa ajaran tersebut dikatakan bersifat bajik. Alasan lain merujuk pada kebajikan seorang Buddha. Berkat kebajikannyalah, sehingga Buddha memberikan ajaran ini. Bajik di sini merujuk pada motivasi Buddha itu sendiri yang sifatnya bajik.

Ajaran ini bersifat bajik karena mencakup bagian awal, menengah, dan akhir. Ajaran ini juga bajik karena menolong semua makhluk untuk mengakhiri penderitaan mereka dan mendapatkan kebahagiaan. Dalam artian inilah sehingga ajaran ini disebut bajik.

Sejalan dengan alasan ini pulalah, raja dharma Je Tsongkhapa, dalam doanya kepada Buddha mengatakan bahwa: Semoga tidak ada satupun ajaran Buddha yang tidak menjelaskan ke-saling-ketergantungan. Semoga tidak ada satupun ajaran Buddha yang tidak bertujuan menenangkan semua makhluk (artinya: berfungsi untuk mengatasi penderitaan mereka). Baris “Aku akan menjelaskan praktek yang sepenuhnya bajik” sejalan dengan doa yang dipanjatkan oleh Je Tsongkhapa kepada Buddha, artinya ajaran Buddha berfungsi untuk mengatasi penderitaan semua makhluk.

Ajaran Buddha disampaikan melalui ucapan sepenuhnya bersifat bajik, karena memungkinkan seseorang untuk meraih pencapaian spiritual. Dengan mendengar, seseorang bisa belajar dan merenung, dan kemudian mendapatkan kualitas-kualitas seperti keyakinan, sila, dsb. Seseorang yang telah mempunyai kualitas seperti ini dengan sendirinya akan terlindungi dari penderitaan. Artinya, seseorang yang menjaga sila dan memiliki keyakinan akan terhindar dari kelahiran di alam rendah.

Ketika ajaran dalam bentuk realisasi muncul dalam batin kita, akibatnya kita akan terlindungi dari kelahiran di alam rendah dan juga samsara secara keseluruhan. Ajaran dalam bentuk realisasi ini juga disebut sebagai ajaran yang sangat bajik. Sehubungan dengan tujuan agar sang raja bisa merealisasikan dharma, maka sang penulis menjelaskan ajaran yang bajik ini. Ajaran apakah itu? Pertama-tama, tentu saja ajaran tentang disiplin etika atau sila, yakni tidak melakukan sepuluh ketidak-bajikan, memahami ketanpa-aku-an, yang pada gilirannya menghasilkan kelahiran di alam tinggi yang baik dan akhirnya mencapai pembebasan. Inilah ajaran yang dikehendaki oleh penulis untuk direalisasikan oleh sang raja.

Aspek kedua dikarenakan seorang raja memiliki kemampuan untuk mencapai hasil tersebut, yakni status tinggi, maksudnya salah satu dari ketiga jenis jasmani (Sarwaka, Pacheka, Buddha). Mari kita lihat sebab-akibat yang berlaku di sini. Sebab-sebabnya adalah menjaga sila, menghindari sepuluh ketidak-bajikan, memahami shunyata. Hasilnya adalah kelahiran kembali di alam yang tinggi, memperoleh salah satu dari ketiga jenis jasmani yang telah bebas.

Sehubungan dengan aspek kedua di atas, mengapa penulis menjelaskan ajaran kepada seorang raja? Karena sang raja merupakan wadah yang cocok untuk menerima ajaran yang unggul. Jika kita menjelaskan ajaran kepada wadah yang tidak sesuai, maka orang tersebut tidak akan mempraktekkannya. Sang raja adalah wadah yang sesuai dan dia akan mempraktekkan ajaran, sehingga dharma/ ajaran akan direalisasikan.

Nagarjuna mengajarkan kepada sang raja karena ia sudah siap untuk dijinakkan, artinya batin sang raja bisa dikembangkan oleh ajaran Buddha, sehingga ia merupakan wadah yang sesuai. Dia tidak hanya akan mendengarkan saja, tapi juga akan mempraktekkan. Di dalam Lamrim ada penjelasan tentang murid yang sesuai dan sang raja memenuhi kualifikasi tersebut.

Ketika bait kedua ini menyebutkan wadah yang unggul (Tib: dam pa), dalam karya penjelasan oleh Gyalshab Je, yang merupakan acuan penjelasan yang saya gunakan, disebutkan bahwa wadah yang unggul merujuk kepada arya (Tib: phag pa). arya adalah seorang makhluk superior. Jadi di sini, artinya “ajaran unggul” yang diajarkan dengan mengandalkan “para arya.”

Setelah pendahuluan, pengenalan, dan janji sang penulis, kita masuk kepada karya itu sendiri. Karya ini terbagi menjadi 5 bab. Bab 1 dan 2 menjelaskan tentang kelahiran kembali di alam yang tinggi dan kualitas-kualitas bajik yang definitif. Bab 3 menjelaskan sebab-sebab khusus untuk mencapai pencerahan, yakni kedua jenis pengumpulan. Bab 4 memaparkan nasihat-nasihat untuk seorang raja, yakni panduan perilaku seorang raja, bagaimana seharusnya ia berperilaku dengan benar. Bab 5 memaparkan perbuatan seorang Buddha, yakni apa yang harus dilakukan seseorang untuk mencapai pencerahan. Di sini dijelaskan 10 tingkat Bodhisatwa, sebab-sebabnya dan bagian-bagiannya.

Bab 1 dan 2 adalah sebab-sebab kelahiran di alam yang tinggi dan kualitas bajik yang definitif. Bab 1 membahas masing-masing sebab secara terpisah, sedangkan pada bab ke-2, sebab dan akibat dijelaskan secara bergantian. Sebab apa yang mengakibatkan hasil seperti apa, dan hasil apa yang disebabkan oleh sebab yang mana.

Pada bab 1 bait 3, dijelaskan tentang urutan praktek. Urutannya cukup jelas. Seseorang yang mempraktekkan sebab-sebab kelahiran kembali yang lebih tinggi, yakni ke-16 sebab-sebab yang akan dipaparkan selanjutnya, barulah kemudian seseorang akan mempraktekkan sebab-sebab untuk memperoleh kualitas bajik yang definitif, yakni dengan mengembangkan pemahaman ketanpa-aku-an.

Jadi, pertama-tama, seseorang mulai dengan menciptakan ke-16 sebab-sebab untuk terlahir kembali di alam yang tinggi. Ketika sebab-sebab ini sudah tercapai dengan kokoh, barulah seseorang bisa mempelajari ajaran tentang shunyata. Penyebab dari pencapaian kualitas bajik tertentu, seperti terbebas dari samsara, adalah penembusan shunyata. Tapi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pertama-tama seseorang haruslah memulai dengan menciptakan sebab-sebab kelahiran kembali di alam yang tinggi. Setelah hal ini tercapai, barulah ia bisa menjadi wadah yang sesuai.

Alasan mengapa urutannya harus demikian adalah karena seseorang haruslah memastikan kelahiran kembalinya di alam yang tinggi. Bukan hanya sekali saja, tapi berkali-kali. Dengan demikian, barulah ia memiliki kesempatan untuk memperoleh sebab utama, yakni, memahami shunyata. Jika ternyata seseorang gagal mencapai kelahiran kembali di alam yang tinggi, artinya setelah satu kali kelahiran di alam yang tinggi, dia kemudian terjatuh di alam rendah, maka dia tidak akan pernah bisa memperoleh kesempatan untuk memahami shunyata, yang merupakan sebab kualitas bajik definitif. Oleh sebab itu, seseorang harus memperoleh kelahiran kembali di alam tinggi berkali-kali. Seseorang yang terlahir kembali di alam rendah sama sekali tidak mungkin untuk menciptakan sebab-sebab kualitas bajik definitif. Contohnya, makhluk yang terlahir kembali sebagai binatang. Tidak mungkin bagi mereka untuk belajar.

Oleh sebab itu, untuk memperoleh sebab-sebab kualitas bajik definitif, seseorang harus mendapatkan kelahiran kembali yang baik selama berkali-kali. Alasan lain mengapa urutannya demikian adalah karena dengan menciptakan sebab-sebab kelahiran kembali di alam yang tinggi, seseorang juga mempersiapkan dirinya untuk menerima ajaran tentang pembebasan, yakni ajaran tentang shunyata. Bagi seseorang untuk mendengarkan ajaran tentang sebab-sebab kelahiran kembali di alam yang tinggi, tentu lebih mudah dipahami dan lebih mudah didapatkan. Kita harus mulai dengan sesuatu yang mudah, baru kemudian berkembang, dan maju, sehingga akhirnya menjadi siap untuk menerima ajaran tentang shunyata. Jika kita mulai dengan urutan yang salah, ada bahaya kita akan salah paham dan salah menerima ajaran.

Dengan mengikuti urutan yang benar, seseorang akan siap untuk menerima ajaran tentang shunyata dan menghindari kesalahan:
1) Salah memahami tiadanya eksistensi yang inheren, dengan memahami bahwa tidak ada yang eksis. Dengan demikian, seseorang akan menolak hukum karma, sebab-akibat, yang artinya ia beresiko berperilaku buruk, dan akibatnya, jatuh ke alam rendah.
2) Menjadi takut dengan ajaran shunyata karena belum siap untuk menerima. Dengan demikian, seseorang mungkin akan sepenuhnya menolak, yang tentu saja merupakan ketidakbajikan karena merupakan karma yang buruk, dan akibatnya juga jatuh ke alam rendah.

Itulah sebabnya ajaran tentang shunyata harus sejalan dengan ajaran tentang karma, karena:
1) Dengan mengajarkan karma/ sebab-akibat akan memastikan pemahaman yang benar tentang karma/ sebab-akibat. Setelah pemahaman ini kokoh dan terpatri dengan kuat, seseorang tidak akan salah memahami shunyata dan meninggalkan hukum karma.
2) Dengan mengajarkan karma, seseorang akan lebih memahami shunyata. Terlepas dari tiadanya eksistensi yang inheren, sebab tertentu menghasilkan akibat tertentu (kausalitas/ sebab-akibat). Sehingga kedua pemahaman ini akan sejalan.

Penting sekali ajaran tentang shunyata tidak menuntun pada gagasan tidak adanya karma dan sebab-akibat yang akan berakibat perilaku yang salah sehingga menciptakan sebab terlahir kembali di alam rendah. Seseorang yang mengajarkan shunyata harus memastikan hal ini.

Sebenarnya, apabila seseorang telah benar-benar memahami shunyata-alasan mengapa fenomena tidak memiliki eksistensi yang inheren-itu justru akan menjelaskan mengapa hukum karma bisa berfungsi. Jika kenyataannya berbeda, yakni adanya eksistensi yang berdiri sendiri, ini berarti sesuatu kondisi akan selalu demikian dan tidak bisa diubah dengan cara apapun. Yang buruk tetap buruk, yang baik tetap baik, tidak ada ruang untuk perbaikan. Karena tidak ada eksistensi yang inheren-lah, makanya tidak ada yang benar-benar eksis. Keadaan pada satu titik tertentu akan bisa diubah, yang baik bisa jadi buruk, dan sebaliknya, buruk bisa jadi baik, dst. Inilah yang harus dipahami, bahwa segala sesuatu tidak memiliki eksistensi yang sejati, dan bukannya kesalahpahaman bahwa tidak ada yang eksis sama sekali, sehingga menuntun pada penolakan karma.

Jika fenomena memiliki eksistensi yang sejati, maka sesuatu yang putih akan selalu putih. Ke-putih-an ini tidak akan bisa berubah menjadi apapun yang lain, artinya ke-putih-an ini adalah sifat yang intrinsik, yang melekat, yang sejati, dan tidak bisa diubah dengan cara/ kondisi apapun. Jika ke-putih-an ini bisa berdiri sendiri dan tidak bisa diapa-apa-in, dan sepenuhnya independen, maka ini adalah sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi.

Seseorang yang memiliki pemahaman shunyata yang benar, dengan sendirinya, perilakunya akan berkembang menjadi baik. Dikarenakan pemahaman shunyata akan memperkuat pemahaman tentang sebab-akibat, jadi orang seperti ini tidak akan berperilaku buruk dan sebaliknya akan memperkuat kebajikannya. Inilah sebabnya mengapa karma dan shunyata saling memperkuat.

Di zaman dulu, seorang yogi besar bernama Milarepa pernah dikritik berpandangan nihilistik oleh beberapa orang. Ini dikarenakan perilaku tidak biasa beliau, seperti misalnya apa yang dikenakan dan tidak dikenakan oleh beliau (beliau lebih sering tidak berpakaian). Perilaku ini dianggap sebagai pandangan nihilistik. Sebagai tanggapan terhadap tuduhan ini, Je Milarepa berkata: “Jika kamu ingin mengetahui apakah saya menganut nihilisme atau tidak, lihatlah perilaku saya.” Perilaku beliau tentu saja sesuai dengan karma dan sebab-akibat. Ini artinya beliau tidak menganut paham nihilisme.

Itulah semua alasan mengapa sebab-sebab kelahiran di alam yang tinggi diajarkan terlebih dahulu, dan sebab-sebab kualitas bajik definitif diajarkan kemudian. Itulah alasan mengapa urutannya harus demikian.

Berikutnya, setelah penjelasan tentang urutan, adalah identifikasi sebab dan akibat. Apa sebab kelahiran kembali di alam yang tinggi, dan apa sebab kualitas bajik yang definitif.

Bait 4 baris 1,2 berbunyi:
“Kelahiran kembali di alam yang tinggi merupakan kondisi yang menyenangkan,
Kualitas bajik definitif adalah pembebasan.”

Pertama-tama, kelahiran kembali di alam tinggi adalah kondisi yang menyenangkan, merujuk pada kelahiran kembali di alam manusia dan dewa. Kelahiran kembali yang tinggi terdiri dari perasaan menyenangkan dan perasaan netral, tapi bukan hanya ini saja. Kelahiran kembali di alam tinggi juga mencakup barang-barang kepunyaan (harta benda), tubuh jasmani itu sendiri, teman-teman, dan aktivitas. Kehidupan itu sendiri-manusia atau dewa-juga merupakan bentuk kelahiran kembali di alam yang tinggi. Tanpa perlu mengambil contoh alam rendah yang tidak kasat mata, mari kita lihat binantang dan membandingkannya dengan kelahiran di alam tinggi dalam bentuk manusia.

Manusia memiliki tubuh jasmani yang lebih unggul daripada binatang. Benda-benda kepunyaannya juga lebih unggul. Teman-teman yang dimiliki seorang manusia juga lebih banyak, teman-teman binatang sangat terbatas, dan juga aktivitas seorang manusia jauh lebih luas dan mengandung lebih banyak potensi dibandingkan binatang.

Istilah “kelahiran kembali di alam yang tinggi” mencakup lebih luas daripada yang kita pikirkan biasanya. Ada dua jenis, yakni (1) yang masih di dalam samsara (2) di luar samsara. Seorang Buddha termasuk sebagai kelahiran kembali di alam yang tinggi. Beliau juga memiliki kualitas-kualitas bajik yang unggul: tubuh jasmaninya, benda-benda kepunyaannya, rombongannya, dan aktivitas-aktivitasnya. “Kelahiran kembali di alam yang tinggi” non-samsara merujuk pada Kebuddhaan, sedangkan dalam konteks sekarang, merujuk pada manusia dan dewa.

Bait 3 baris 1 merujuk pada kelahiran kembali di alam yang tinggi. Bait 3 baris 2 merujuk pada pembebasan. Pembebasan adalah ketiadaan dua hal (penderitaan dan sebab-sebab penderitan). Penderitaan telah dihentikan dan sebab-sebabnya (karma dan kilesa) telah ditinggalkan. Keadaan terbebas dari penderitaan dan sebab-sebab penderitaan inilah yang disebut sebagai “kualitas bajik yang definitif,” artinya keadaan terbebasnya definitif (pasti), sekali telah tercapai tidak akan merosot dan penderitaan tidak akan kembali. Itu sebabnya disebut definitif.

2 baris berikutnya berbunyi:
“Esensi dari cara untuk mencapai keduanya
Secara ringkas adalah keyakinan dan kebijaksanaan.”

Keyakinan di sini maksudnya keyakinan kepada Triratna dan karma. Kebijaksanaan adalah pemahaman shunyata. Kedua hal ini merupakan penyebab utama kelahiran kembali di alam tinggi dan pembebasan. Saking pentingnya keyakinan, Je Tsongkhapa dalam Lamrim Besar (Tib: lam rim chen mo) merujuk keyakinan pada baris “Mengembangkan keyakinan terhadap hukum karma dan akibat-akibatnya, akar dari segala jenis kebahagiaan dan kualitas bajik tertentu.” Di samping itu, keyakinan juga merupakan poin yang krusial pada bagian “Bertumpu kepada guru spiritual, akar dari jalan.” Di dalam Lamrim, hanya ada dua kali kata “akar” disebutkan. Yang pertama, berhubungan dengan karma dan akibat-akibatnya. Yang kedua, merujuk pada bertumpu kepada seorang guru spiritual, dengan mengembangkan keyakinan terhadapnya, artinya melihat guru spiritual sebagai Buddha. Dalam kedua bagian penting ini, kata “akar” digunakan.

Dengan keyakinan, seseorang merealisasikan ajaran/ pencapaian spiritual. Di sini, pernyataan yang bersifat sebab-akibat berlaku di sini. “Karena sebab tertentu, maka munculah akibat tertentu”: Karena keyakinan, maka munculah realisasi terhadap ajaran. Karena keyakinan, maka munculah perilaku yang sesuai dengan karma dan menolak ketidakbajikan.

Kalau seseorang tidak memiliki keyakinan terhadap karma, buat apa dia repot-repot menghindari 10 ketidakbajikan dan mempraktekktan 10 perbuatan bajik? Karena punya keyakinanlah maka seseorang mempraktekkan demikian. Apapun praktek spiritual yang anda jalani, keyakinan merupakan poin yang penting. Tanpa keyakinan, tidak ada praktek spiritual apapun. Inilah yang dimaksudkan oleh baris 1 bait 5: “Karena keyakinan, seseorang bertumpu pada praktek.”

Antara keyakinan dan kebijaksanaan, kebijaksanaan merupakan kualitas utama. Karena berkat kebijaksanaan, seseorang bisa terbebas dari samsara. Tak peduli kualitas spiritual apapun lainnya, apakah itu cinta kasih, welas asih, batin pencerahan, seberapa bagusnya mereka, tidak akan bisa membebaskan seseorang dari samsara. Hanya kebijaksanaan yang menembus shunyata yang bisa mengatasi kebodohan batin dalam bentuk cengkraman terhadap ke-aku-an. Inilah sebabnya mengapa kebijaksanaan lebih penting.

Pertanyaan: Mengapa kualitas-kualitas seperti keyakinan, dsb, tidak bisa memotong akar samsara? Jawabannya: Kualitas-kualitas seperti keyakinan, cinta kasih, welas asih, batin pencerahan, dsb, tentu saja bisa mendukung dan menyokong teratasinya kebodohan batin dalam bentuk cengkraman ke-aku-an, namun mereka bukanlah penawar langsung terhadap cengkraman keakuan. Hanya kebijaksanaan yang merealisasikan shunyata yang bisa mengatasi cengkraman keakuan, karena merupakan penawar langsung terhadap kebodohan batin ini.

Keyakinan adalah salah satu cara. Di atas dasar keyakinan-lah, yakni keyakinan terhadap karma, dst, maka seseorang bisa mencapai penembusan shunyata secara langsung, yang pada gilirannya bisa memotong akar samsara. Kalau seseorang tidak memiliki keyakinan terhadap karma, ia bisa saja memperoleh pemahaman akan shunyata. Tapi, pemahaman ini jadinya tidak cukup kuat untuk memotong akar samsara. Sehingga, keyakinan terhadap karma tetap merupakan syarat wajib.

Baris berikutnya adalah penjelasan seorang murid yang merupakan wadah yang baik. Yakni:
“Seseorang yang tidak mengabaikan ajaran
Karena nafsu keinginan, kebencian, ketakutan, atau kebingungan.”

Kualitas utama seorang murid yang merupakan wadah yang sesuai adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan oleh nafsu keinginan, kebencian, ketakutan, dan kebingungan. Contoh seseorang yang mengabaikan ajaran karena nafsu keinginan/ kemelekatan terhadap daging binatang. Karena kemelekatannya ini, ia bisa terpancing untuk membunuh, sehingga ia mengabaikan ajaran dan bahkan bertindak berlawanan dengan ajaran. Kemelekatan ini bisa juga pada bagian lain dari seekor binatang, seperti kulit, tulang, atau apa saja. Apabila kemelekatan ini sangat kuat, bisa mendorong seseorang untuk membunuh, sehingga melanggar batasan ajaran, dan ini semua karena kurangnya keyakinan. Karena kemelekatan ini pula, seseorang bisa melakukan ketidakbajikan lainnya, seperti mencuri, tindakan asusila, berbohong, ucapan memecah-belah, ucapan kasar, keserakahan, niat jahat, dan pandangan salah.

Pelanggaran dharma juga bisa terjadi dikarenakan oleh kemarahan atau kebencian. Juga karena ketakutan, misalnya ketakutan akan denda atau hukuman dari pihak berwajib atau otoritas dalam bentuk lainnya. Ketakutan ini bisa mendorong seseorang melakukan salah satu dari 10 ketidakbajikan. Bukan hanya otoritas, bisa juga ketakutan kepada seseorang yang memiliki kuasa atas diri kita, yang bisa mengancam kita.

Berikutnya, kebodohan juga bisa menuntun seseorang melanggar dharma. Misalnya karena memiliki keyakinan yang berlawanan dengan dharma. Contoh: demi keluarga, anak-anak, atau bahkan demi guru spiritual (dalam melayani sang guru seseorang melakukan perbuatan jahat). Misalnya, dalam rangka mempersembahkan sesuatu kepada dewa-dewi, seseorang mencuri atau menyakiti orang lain. Ini semua akibat kesalahpahaman yang diakibatkan oleh kebodohan batin/ pandangan salah.

Seseorang, terlepas dari situasi yang disebutkan di atas, tetap mempertahankan perilaku yang tidak bertentangan dengan karma, artinya tidak terlibat dalam kejahatan, menolak dorongan berbuat salah, menjaga sila, maka ia disebut sebagai murid yang memiliki keyakinan. Keyakinan menuntun seseorang untuk menolak godaan. Keyakinan akan hukum karma-yang memahami akibat-akibat buruk baik pada diri sendiri maupun orang lain-menahan seseorang untuk berbuat jahat. Dengan demikian, orang tersebut adalah seseorang yang beriman, sehingga merupakan wadah yang unggul untuk menampung ajaran tentang kualitas bajik yang definitif. Dalam bait 6 baris 3,4 disebutkan:
“Orang yang demikian adalah seseorang yang beriman,
Sebuah wadah yang unggul untuk menampung kualitas bajik definitif.”

Bait ke-7 yang bunyinya:
“Seseorang yang telah menganalisis dengan baik
Semua perbuatan badan jasmani, ucapan, dan batin,”
Yakni seseorang yang memeriksa dengan cermat apakah suatu perbuatan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, dan kemudian bertindak sesuai dengan manfaat bajik tersebut (yakni menghindari ketidakbajikan, melakukan kebajikan dan perbuatan netral), yang juga memahami motivasi altruistik demi semua makhluk dan berniat mencapai Kebuddhaan, maka untuk selaras dengan tujuan ini, seseorang akan berhenti melakukan ketidakbajikan. Baris berikutnya menyebutkan:
“Mereka yang memahami apa yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain,
Dan selalu bertindak sejalan dengan pemahaman tersebut, adalah orang yang bijaksana.”

Kebalikan dari hal ini, apabila seseorang tidak mengetahui apa yang harus dihindari dan apa yang harus dipraktekkan, walaupun dia mungkin ahli dalam hal pengetahuan, obat-obatan, dsb, maka orang seperti ini bukanlah orang yang bijak. Seseorang yang bijak adalah seseorang yang memahami karma dan memiliki motivasi batin pencerahan. Kesimpulannya, dengan mempelajari tahapan jalan menuju pencerahan yang sesuai untuk ketiga jenis praktisi, seseorang akan mengembangkan kualitas berkeyakinan dan bijaksana.

Gyalsab Je juga menekankan betapa pentingnya kedua kualitas ini, yakni keyakinan dan kebijaksanaan. Selain masing-masing penting secara tersendiri, mereka berdua juga penting untuk dikombinasikan. Dengan mengaitkan kualitas yang satu dengan yang lain, maka mereka akan saling melengkapi dan memperkuat. Keyakinan akan memperkuat kebijaksanaan, dan kebijaksanaan yang kuat akan memperkokoh keyakinan. Kedua hal ini memegang peranan penting dalam praktek seseorang.

Bait berikutnya merupakan penjelasan panjang lebar mengenai sebab-sebab kelahiran kembali di alam tinggi dan kualitas bajik definitif. Untuk praktek-praktek mendapat kelahiran kembali di alam tinggi, terbagi menjadi dua: (1) apa yang harus dihindari; (2) apa yang harus dipraktekkan. Nagarjuna memaparkan 16 sebab-sebab kelahiran kembali di alam yang tinggi: 13 untuk dihindari, 3 untuk dipraktekkan.

Dari ke-16 sebab-sebab tersebut: 10 ketidakbajikan (berdasarkan pembagian jasmani, ucapan, dan batin). Walaupun anda semua mungkin sudah cukup mengenal kesepuluh jalan karma hitam dan putih, namun penting sekali untuk mempelajarinya secara menyeluruh, yakni: basis, motivasi di balik perbuatan tersebut, perbuatan itu sendiri, dan tindakan pelengkap. Pelajari juga akibat-akibat karma: akibat baik dan buruk. Dalam Untaian Nasihat ini, penjelasan tentang karma yang diberikan sangat ringkas sekali. Oleh sebab itu, kita perlu merujuk pada Lamrim Besar Je Tsongkhapa, yang mana menjelaskan basis, motivasi, tindakan itu sendiri, pelengkap, dan juga menjelaskan bagaimana cara untuk mempraktekkannya. Hanya bergantung pada teks Untaian Nasihat ini tidaklah cukup.

Pertanyaan: apakah kebajikan hanya terbatas pada 10 perbuatan bajik ini?
Jawaban: Tidak, ada banyak kebajikan lainnya. Dan ini bisa ditemukan pada bait berikutnya:

“Tidak minum alkohol, bermatapencaharian yang baik,
Tidak menyakiti, pemberian yang penuh rasa hormat,
Menghormati mereka yang patut dihormati, dan cinta kasih-
Secara ringkas, ajaran yang harus dipraktekkan adalah ini semua.”

Untuk anjuran tidak meminum minuman keras atau alkohol, ini dikarenakan seseorang akan kehilangan kontrol diri, sehingga berperilaku membahayakan, bertindak negatif, dan akhirnya melakukan sesuatu yang akan disesali. Inilah sebabnya mengapa kita tidak boleh minum alkohol. Semua sebab ini melengkapi daftar 13 yang harus dihindari dan 3 yang harus dipraktekkan.

Untuk pemberian, kita tidak hanya sekadar member begitu saja, tapi harus dibarengi dengan sikap penuh hormat, yakni sejenis perasaan segan terhadap orang lain yang dibarengi dengan keinginan untuk menolongnya. Untuk penjelasan lengkap tentang praktek memberi atau praktek kemurahan hati, kita harus mengacu pada Lamrim Besar Je Tsongkhapa, yang mana ia bergantung pada Tingkat-tingkat Bodhisatwa karya Asanga. Di sini dijelaskan tentang praktek kemurahan hati dengan mendetil, dan ajaran ini sudah tersedia dalam bentuk terjemahan buku Lamrim Chenmo (dalam Bahasa Inggris, red). Sedangkan untuk penjelasan yang relatif lebih singkat, bisa ditemukan pada buku Pembebasan di Tangan Kita (terjemahan Bahasa Indonesia, terbitan Penerbit Kadam Choeling, red).

Untuk menghormati yang harus dihormati, ini mencakup: pemberi sila, guru spiritual, orang-orang yang lebih berkualitas, orangtua, serta orang-orang yang sudah menunjukkan kebaikan kepada kita.

Untuk cinta kasih, bukan hanya cinta kasih saja, tapi keseluruhan empat kualitas-kualitas yang tak terukur (Four Immeasurable Qualities), yakni keseimbangan batin (tidak memihak), cinta kasih, welas asih, dan mudita.

Pemberian yang bisa diberikan mencakup pemberian materi, ajaran (dharma), dan perlindungan (rasa aman).

Sesi Tanya-Jawab:

1. Pertanyaan: (tidak jelas)
Jawaban: Ketika seseorang menjalani hidup sesuai dengan prinsip karma dan akibat-akibatnya, ini berarti merujuk pada perilaku sehari-hari, dan ini berarti perilaku yang menghormati orang lain. Sikap menghormati orang lain sangat penting sekali dalam praktek spiritual seseorang.

2. Pertanyaan: Sehubungan dengan pandangan tidak adanya eksistensi yang sejati, bagaimana anda melihat dengan fenomena yang sangat kecil sekali dan fenomena yang sangat besar sekali?
Jawaban: A) ketika kita menganalisis sesuatu yang sangat kecil sekali, seolah-olah ia memiliki inti dan bisa berdiri sendiri. Sehubungan dengan ini, ada teori/ tenet yang berbeda di dalam Buddhisme. Walaupun paham yang lebih rendah mengakui adanya eksistensi yang sejati dalam partikel yang super kecil, namun pada akhirnya, paham yang tertinggi menolak adanya eksistensi sejati pada partikel yang paling kecil sekalipun. Karena partikel-partikel yang super kecil ini, yang sudah tidak mungkin terlihat lagi, biar bagaimanapun pasti bersinggungan dengan partikel-partikel lain yang mengelilinginya. Kalau tidak bersentuhan dengan sisi Barat, pasti bersentuhan dengan sisi Timur. Sebaliknya, kalau tidak bersentuhan dengan sisi Timur, pasti bersentuhan dengan sisi Barat. Sehingga tidak mungkin ada sebuah partikel tunggal yang bisa berdiri sendiri di tengah-tengah, tanpa bersinggungan dengan apapun. Ini sejalan dengan pemahaman bahwa tidak ada sesuatu apapun yang memiliki eksistensi yang sejati, yang bisa berdiri sendiri. B) untuk fenomena yang besar sekali, contohnya alam semesta. Bahkan alam semesta pun bergantung pada sebab-sebab dan kondisinya. Walaupun kelihatannya alam semesta bisa berdiri sendiri saking besarnya, namun fenomena yang luar biasa besar seperti alam semesta pun tetap memiliki sebab-sebab pembentuknya, ia tergantung pada sebab dan kondisi, sehingga tidak bisa dikatakan ia bisa berdiri sendiri dan memiliki eksistensi yang sejati.

3. Pertanyaan: apakah jumlah makhluk hidup selalu tak terhingga dan jumlahnya selalu tetap?
Jawaban: Ya.

4. Pertanyaan: (tidak jelas)
Jawaban: Pada dasarnya, hanya makhluk-makhluk agung yang bisa mentransformasikan tindakan negatif menjadi positif. Ini disebabkan oleh motivasi yang mereka miliki. Berkat motivasi agung tersebut, ia dapat mengubah suatu tindakan yang tidak bajik menjadi bajik. Namun, dalam kondisi kita sekarang ini, sangat tidak mungkin karena kita tidak memiliki motivasi yang cukup kuat untuk melakukannya.

Pada dasarnya, karya Untaian Nasihat oleh Nagarjuna ini mirip dengan Lamrim. Perbedaan pada bagian mana yang dielaborasikan dan bagian mana yang dipersingkat penjelasannya. Contoh misalnya apa yang sudah kita pelajari pada hari ini, merupakan bagian yang termasuk jalan yang dijalankan bersama-sama dengan makhluk berkapasitas kecil dan menengah pada lamrim.

Marilah kita mengambil waktu sejenak untuk mendedikasikan kebajikan yang sudah diperbuat. Kita sudah mendengarkan ajaran dengan alasan yang benar, sudah merenung, dan oleh karenanya sudah menghasilkan banyak karma bajik. Permasalahan utama kita saat ini dikarenakan cara berpikir dan sikap yang keliru. Oleh sebab itu, kita dedikasikan agar cara berpikir dan sikap keliru demikian, baik pada diri sendiri maupun semua makhluk, dapat segera dihentikan, dan digantikan dengan kualitas-kualitas positif seperti cinta kasih, welas asih, batin pencerahan; dan semoga kita bisa merealisasikannya dalam diri kita sendiri dan juga semua makhluk lain bisa melakukan hal yang sama.

[berlanjut ke sesi ketiga]

[6j]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *