Memanfaatkan Seberkas Cahaya Mentari di Langit yang Mendung di Musim Dingin

  • September 23, 2009

Siaran Web: Untaian Nasihat-nasihat yang Berharga kepada Seorang Raja oleh Nagarjuna
Disampaikan oleh Dagpo Lama Rinpoche

Minggu, 20-Sept-2009
Sesi 3: 14:30-17:00



Kelahiran kembali di alam-alam yang tinggi bisa dibagi menjadi dua: (1) yang biasa; (2) yang unggul. Kelahiran kembali di alam tinggi yang biasa adalah kelahiran sebagai manusia dan dewa yang tidak tertarik pada ajaran dharma. Ini merupakan kelahiran kembali di alam yang tinggi, tapi bukan yang unggul. Semua yang hadir di sini sudah memperoleh kelahiran kembali di alam tinggi yang unggul karena jelas anda memiliki ketertarikan terhadap ajaran Buddha.
Karena kita semua sudah memperoleh kelahiran kembali sebagai manusia yang merupakan kelahiran kembali di alam tinggi yang unggul, ini artinya kita memiliki ketertarikan terhadap spiritual. Dan tujuan kita bukan hanya terbatas pada kehidupan saat ini saja, tapi juga mencakup kehidupan yang akan datang. Kelahiran ini merupakan hal yang sangat penting sekali, karena ini akan memberikan kita peluang yang sangat besar untuk mencari cara bagi kebahagiaan, tidak hanya dalam kehidupan ini, tapi juga untuk kehidupan-kehidupan berikutnya.

Dari sudut pandang Buddhisme, adalah mungkin bagi kita untuk mengakhiri penderitaan samsara secara definitif, artinya terbebas dari samsara. Lebih jauh lagi, adalah mungkin bagi kita untuk, tidak hanya mencapai kebahagiaan kita sendiri, kita juga bisa mencapai kebahagiaan semua makhluk, yakni dengan cara mencapai pencerahan sempurna, di mana kita akan bisa bekerja demi semua makhluk.

Di satu sisi, kita sudah mendapatkan potensi besar ini, yang diperoleh dari sifat dasar kelahiran kembali sebagai manusia. Namun, di sisi lain, kita harus bisa menyadari bahwa ini bukanlah sesuatu yang bertahan untuk selama-lamanya, karena kita harus mati. Ini adalah sesuatu yang harus kita sadari.

Sadari pula bahwa walaupun kita memiliki potensi yang besar untuk menolong banyak orang, semisalnya kita hidup sampai umur 100 tahun, bahkan lebih, namun pada saat yang bersamaan, kondisi mental kita juga akan menurun. Karena batin kita bergantung kepada jasmani, maka jika sesuatu terjadi pada jasmani-apakah itu melemah atau merosot-maka ia akan berpengaruh pada kapasitas mental, yakni kemampuan berpikir, merenung, dsb.

Ini benar adanya terutama untuk makhluk-makhluk yang belum begitu berkembang spiritualnya, artinya belum mencapai realisasi spiritual tingkat tinggi. Seseorang yang sudah berkembang akan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk berpraktek pada tingkatan yang lebih tinggi, dan kondisi mental mereka lebih sedikit bergantung pada kondisi fisik. Sedangkan mereka yang masih belum begitu berkembang, memiliki ketergantungan yang besar terhadap kondisi fisiknya.

Mengapa makhluk yang pencapaian spiritualnya sudah lebih berkembang akan lebih sedikit bergantung pada kondisi fisiknya? Ini karena berkat kekuatan mental mereka, mereka sudah tidak begitu bergantung pada bagian jasmani yang kasar. Sebaliknya, mereka lebih bergantung pada elemen-elemen tubuh, yang pada orang biasa kurang dilatih, namun makhluk-makhluk ini mampu untuk memanfaatkan elemen-elemen subtil tersebut.

Pada tingkatan kita sekarang ini, sudah pasti kondisi mental kita sangat tergantung pada kondisi fisik. Sehubungan dengan ini, apa yang terjadi kalau kita sudah tua? Walaupun dewasa ini orang-orang cenderung panjang umur, hidup sampai 100 tahun bahkan lebih, tapi terlepas dari umur panjangnya, kemampuan fisik dan mentalnya tetap saja menurun. Jika kita adalah praktisi yang baik, tentu lain ceritanya. Tapi jika bukan, maka apa yang biasanya terjadi adalah kita akan kehilangan semua yang telah kita dengar, kemampuan mengingat sudah semakin berkurang, dan akibatnya kemampuan untuk meditasi juga sudah sangat berkurang.
Secara umum, kehidupan kita bisa dibagi 3 bagian:
1) Masa muda
2) Masa pertengahan
3) Masa tua
Waktu kita masih muda, kita tidak memiliki ketertarikan apapun terhadap dharma. Kita lebih tertarik pada kesenangan-kesenangan seperti bermain, menikmati sesuatu, dsb. Pada pertengahan usia kita, kita mungkin berpikir untuk mempraktekkan dharma. Pada masa tua, kita mungkin masih memiliki niat yang sama, tapi kemampuan kita sudah merosot. Jadi, yang tersisa dari hidup kita adalah waktu yang sangat singkat sekali untuk praktek dharma.

Analoginya adalah seberkas cahaya matahari pagi di musim dingin di atas langit yang mendung. Tiba-tiba ada jeda, dan matahari pagi muncul, dan kemudian tertutup. Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Ini sama dengan waktu yang kita punya untuk praktek spiritual.

Tapi, walaupun dengan waktu yang sangat singkat yang bisa kita manfaatkan untuk praktek dengan baik ini pun, apa yang kita lakukan? Kita menghabiskan waktu untuk mencari nafkah, mempersiapkan makanan, makan, tidur, aktivitas-aktivitas yang bukan profesional pun bukan spiritual, dan kita biarkan waktu berlalu begitu saja. Apalagi zaman sekarang dengan adanya telepon, dsb. Ini semua semakin memperpendek waktu yang sudah singkat sekali. Saya bahkan belum menyebutkan waktu yang dihabiskan bersama dengan keluarga, dsb. Begitu saja sudah banyak sekali waktu luang yang disia-siakan dengan aktivitas tak bermanfaat.

Kalau kita duduk dan menghitung berapa banyak waktu yang tersisa untuk praktek spiritual, maka hasil hitungannya akan sangat sedikit sekali. Mengutip Gomchen Lamrim:

“Ketika sangat tua dan sangat muda, kamu tidak mengingat Dharma
Di antaranya kamu menghabiskan waktumu dengan makanan,
minuman, sakit, dan sebagainya
Jadi meskipun kamu hidup ratusan tahun, akan tetap sangat sulit bagi kamu
mencari waktu untuk Dharma.”

Inilah situasi kita sekarang ini, termasuk saya sendiri. Kita semua harus bisa merenungkannya. Tanyakan pada diri sendiri: “Sekarang saya ada di tahap apa? Bagaimana saya telah menjalani hidupku? Berapa banyak waktu yang tersisa untuk praktek spiritual?”

Lain cerita kalau kita sudah bisa memastikan kehidupan yang akan datang melalui praktek spiritual kita. Tapi, ceritanya beda lagi dengan kebanyakan kita. Jika kita menyadari bahwa kita sudah menyia-nyiakan hidup kita, segeralah berubah. Karena kita sudah memiliki potensi yang sangat besar, akan sangat disayangkan kalau kita menyia-nyiakannya. Idealnya kita harus bisa memanfaatkannya untuk mencapai suatu kebahagiaan tertentu, apakah itu pembebasan dari samsara, atau kalau tidak, minimal memastikan diri kita terlahir kembali di alam tinggi pada kelahiran berikutnya seperti yang sudah kita miliki sekarang ini, supaya kita bisa melanjutkan praktek spiritual kita.

Kemarin kita sudah membahas tentang sebab-sebab untuk terlahir kembali di alam yang tinggi. Yang pada gilirannnya berfungsi sebagai basis untuk mencapai sebab yang lebih tinggi untuk meraih kualitas bajik yang definitif.

Kembali pada kutipan Gomchen Lamrim tadi, yakni pada saat kita sudah tua. Kita seperti seseorang yang memiliki tujuan untuk dicapai. Misalnya dari A ke B. untuk mencapai B, kita harus melewati tebing yang curam, kiri-kanannya jurang. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa jatuh ke dasar jurang, dan untuk naek kembali dan memulai perjalanan lagi, adalah sesuatu yang amat sukar dan butuh waktu yang sangat lama.

Guru-guru besar kadampa mengatakan situasi kita ibarat seorang tua renta yang mendorong sebuah bongkahan yang besar di tengah-tengah sebuah jalan gunung yang menanjak. Pertama-tama, penting untuk menyadari bahwa kita hanya punya sedikit waktu untuk praktek spiritual. Dan dalam waktu yang singkat ini, kita harus bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, tidak menyia-nyiakan bahkan untuk sesaat pun.

Kenapa sih kita cenderung membuang-buang waktu kita yang sudah sedikit itu?
Jawabannya karena kita tidak memahami situasi kita sendiri, yang disebabkan oleh halangan mental (kilesa) kita yang tidak melihat kerugian menyia-nyiakan waktu seperti yang sedang kita lakukan. Kita tidak melihat ada yang salah dengan perilaku seperti itu, yang menuntun pada sikap membuang-buang waktu yang berkelanjutan. Kita harus bisa mengatasi hal ini. Cobalah lihat situasi yang sebenarnya. Renungkan betapa sedikit waktu yang tersisa untuk praktek spiritual.

Bagaimana caranya untuk mengatasi sikap menyia-nyiakan waktu?
Jawabannya dengan belajar, merenung, dan meditasi. Belajar melihat kenyataan diri sendiri. Bagaimana cara kita menjalani hidup, berapa lama waktu yang tersisa. Renungkan juga betapa singkat hidup ini dan betapa besar potensi yang terkandung di dalamnya. Dan renungkan pula: Apa yang menanti kita di depan?

Belajar di sini artinya mempelajari fakta-fakta kehidupan! Katakanlah kita hidup sampai 100 tahun, dan saya sering menyatakan demikian untuk pertanda baik bagi kita semua, walaupun belum tentu kita bisa hidup sampai 100 tahun. Katakanlah kita hidup sampai 100 tahun, tapi biar bagaimanapun, 100 tahun itu akan berakhir juga, dan pertanyaannya: apa yang terjadi setelah kita mati? Ada orang yang mengatakan tidak akan terjadi apa-apa, tapi apakah mereka punya alasan yang mendukung pernyataan ini?

Sesuatu yang kita sebut sebagai “aku,” “diri,” sebenarnya terdiri dari batin dan jasmani. Pada saat kematian, kita tahu pasti bahwa jasmani kita berhenti berfungsi dan berubah menjadi benda mati yang tidak bernyawa. Elemen-elemen tubuh kita berubah menjadi elemen-elemen tak bernyawa. Tapi, pertanyaan yang lebih penting: Apa yang terjadi dengan batin kita setelah kita mati? Karena basis supaya batin kita berfungsi adalah badan jasmani, dan setelah badan jasmani tidak berfungsi lagi, batin tersebut juga tidak berfungsi lagi. Tapi, bagaimana dengan kesadaran kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tidak mau kita harus mempertanyakan: Dari mana datangnya kesadaran? Kalau jasmani kita tahu bahwa tubuh kita berasal dari orang tua kita, tapi dari mana datangnya kesadaran batin kita? Barulah kita bisa menjawab apa yang terjadi pada batin/ kesadaran setelah kita meninggal.

Dalam Buddhisme, untuk menjawab permasalahan ini, kita harus memahami bahwa sebuah akibat haruslah datang dari sebab yang memiliki sifat yang sama dengan akibatnya. Sebuah akibat tidak bisa dihasilkan oleh sebab yang memiliki sifat dasar yang berbeda. Ini berarti batin/ kesadaran haruslah dihasilkan oleh sesuatu yang sama sifatnya, yaitu, sebuah kesadaran yang lain. Materi yang konkrit tidak bisa menghasilkan batin/ kesadaran.

Karena sebuah kesadaran (hasil) berasal dari kesadaran lain (sebab) yang memiliki sifat yang sama, bayangkan sebuah kesadaran datang dari satu kesadaran sebelumnya. Pertanyaan: Kapan datangnya dan milik siapa kesadaran tersebut? sebuah kesadaran tidak bisa berdiri sendiri, ia harus berhubungan dengan makhluk/ individu. Oleh sebab itu, kesadaran kita yang berasal dari momen-momen sebelumnya pastilah berasal dari seorang makhluk yang hidup sebelumnya. Dengan demikian, kita bisa menetapkan adanya kelahiran lampau dan kelahiran yang akan datang, artinya kita bisa menetapkan adanya reinkarnasi.

Gagasan tentang reinkarnasi merupakan sesuatu yang relatif baru di dunia barat. Di sisi lain, ini merupakan sesuatu yang diyakini di Timur, bahkan sudah menjadi kepercayaan umum. Di India, kadang-kadang ada artikel Koran yang memuat kisah anak-anak yang berbicara tentang kelahiran lampaunya, mereka bisa mengingat orangtua mereka pada kelahiran sebelumnya, di mana mereka dilahirkan, dsb. Dan setelah dicek, ternyata orangtua mereka bisa ditemukan, dst. Hal ini sudah menjadi bagian dari budaya Timur, tapi kurang begitu dikenal di Barat.
Di India, semua aliran agama menerima gagasan ini. Kalau kita renungkan lebih lanjut, kondisi yang kita dapatkan sekarang ini bisa berakhir kapan saja. Waktu kematian kita tidak diketahui. Apa yang terjadi setelah kita meninggal? Kelahiran kembali seperti apa yang akan kita dapatkan?

Pertanyaan: Mengapa kita tidak bisa mengetahui kapan kita mati?
(Jawabannya tidak diketahui)

Penting bagi kita untuk mempelajari, mempraktekkan dan merenungkan ke-16 sebab-sebab kelahiran kembali di alam yang tinggi. Akan tetapi, kalau kita merenungkan sendiri, tanpa ada bantuan apapun, kita tidak akan bergerak ke mana-mana. Oleh sebab itu, kita harus mendasari studi pada teks yang valid, yang digubah oleh seorang guru yang unggul. Itulah sebabnya hari ini kita merujuk kepada Untaian Nasihat-nasihat yang Berharga kepada Seorang Raja karya Nagarjuna.

Bagi anda yang Buddhis, dan terutama tertarik pada kendaraan agung yang berasal dari ajaran Buddha, cara kita mendengarkan ajaran bisa dilatarbelakangi motivasi untuk mengakhiri, bukan hanya penderitaan kita sendiri, namun juga penderitaan semua makhluk, dengan memberikan kebahagiaan sejati kepada mereka. Niat ini menunjukkan kebutuhan kita untuk mencapai Kebuddhaan. Dengan motivasi bajik inilah, kita akan mendengarkan ajaran ini, dalam rangka untuk menaklukkan cengkraman keakuan, dan meraih kualitas-kualitas seorang Buddha.

Dengan bertumpu pada ajaran, kita bisa memahami sebab-sebab kelahiran kembali di alam yang tinggi dan juga memahami sebab-sebab mendapatkan kualitas bajik definitif. Penting untuk mengetahui bahwa Lamrim-tahapan jalan menuju pencerahan yang sesuai dengan 3 jenis praktisi-mencakup seluruh esensi ajaran Buddha yang luas. Semua ajaran Buddha hadir di dunia dengan tujuan untuk memungkinkan semua makhluk mencapai kedua akibat tersebut. kelahiran kembali di alam yang tinggi bisa ditemukan pada jalan yang dijalankan bersama-sama dengan makhluk berkapasitas kecil; kualitas bajik definitif bisa ditemukan pada jalan yang dijalankan bersama-sama dengan makhluk berkapasitas menengah dan besar.

Kita sudah melihat kemarin bahwa kita membutuhkan kebijaksanaan yang menembus ke-tanpa-aku-an untuk menghentikan penderitaan samsara. Semua kualitas spiritual lainnya, seperti cinta kasih, batin pencerahan, tidak bisa berfungsi sebagai penawar terhadap sebab-sebab penderitaan samsara. Akar dari penderitaan samsara adalah kebodohan batin yang salah memahami sifat dasar ke-aku-an, ia mencengkram pada pandangan adanya aku yang sejati. Ada dua level cengkraman: 1) bawaan; 2) yang didapatkan kemudian.

Kalau cengkraman ini kuat menancap di batin kita, dalam pengaruhnya ia akan mendorong kita untuk menciptakan karma-karma untuk terlahir kembali di dalam samsara. Hanya ada satu jalan untuk menghentikan penderitaan di dalam samsara, yakni: berhenti menciptakan karma-karma untuk terlahir kembali di dalam samsara. Inilah satu-satunya jalan, dan karma inilah yang menjadi sumber penderitaan kita. Sehingga, dengan berhenti menciptakan karma, kita akan berhenti mengalami penderitaan di dalam samsara.

Penyebab kita masih menciptakan karma karena adanya kebodohan batin yang menganggap adanya aku yang sejati, padahal pada kenyataannya tidak ada. Kita menganggap adanya aku yang sejati sebagai sifat dasar dari diri kita, padahal sebenarnya tidaklah demikian. Kesalahpahaman tentang adanya keakuan inilah yang mendorong kita untuk mengumpulkan karma-karma untuk terlahir kembali di dalam samsara.

Mengumpulkan karma untuk terlahir kembali di dalam samsara yang disebabkan oleh cengkraman keakuan ini mencakup karma bajik dan karma tak bajik. Karma ini pada gilirannya melemparkan seseorang pada bentuk-bentuk kehidupan, seperti kelahiran kembali sebagai manusia yang merupakan akibat dari karma bajik. Dengan bentuk kelahiran bajik seperti ini, seseorang akan kembali mengumpulkan karma-karma untuk terlahir kembali di dalam samsara, begitu seterusnya.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, karena akar dari penyebab kita terlahir kembali di dalam samsara adalah pemahaman yang salah tentang sifat dasar keakuan, maka dalam rangka menghentikan perputaran samsara ini kita harus menghentikan penyebabnya, dan inilah yang harus kita lakukan. Kualitas-kualitas spiritual lainnya, seberapapun bajiknya, mereka bukanlah penawar langsung terhadap cengkraman keakuan. Untuk mengatasi persepsi yang salah ini, kita harus menggunakan persepsi yang bisa menghadapinya secara langsung. Persepsi kita yang salah ini sudah sangat kuat, baik dalam bentuk bawaan maupun yang didapatkan kemudian. Untuk menghadapinya, kita butuh persepsi yang berkebalikan langsung untuk mengatasinya, yakni memahami bahwa segala sesuatu tidak memiliki eksistensi yang sejati, bahwasanya segala fenomena tidak bisa berdiri sendiri dan tidak memiliki eksistensi yang inheren.

Apabila kita sudah mendapatkan pemahaman yang benar seperti itu, kemudian kita pupuk dan kembangkan serta meditasikan hingga akhirnya kita mendapatkan pemahaman benar yang kuat, dan semakin lama semakin kokoh, barulah bisa melawan pandangan salah yang kuat akan cengkraman keakuan. Persepsi yang lain tidak bisa menghadapinya secara langsung, mereka cenderung menempuh jalan memutar, bukan menghadapinya secara langsung (head-to-head, red). Hanya pemahaman yang menembus ke-tanpa-aku-an (ketiadaan eksistensi yang sejati)-lah yang bisa menghentikan cengkraman keakuan yang didapatkan kemudian, dan dengan demikian menghentikan pengumpulan karma. Kemudian, penembusan ke-tanpa-akuan pribadi, yakni pemahaman langsung ketiadaan “aku” pribadi yang sejati, pada gilirannya akan melemahkan cengkraman keakuan secara keseluruhan.

Penyebab langsung dari terhentinya samsara, yakni kebijaksanaan yang menembus ke-tanpa-aku-an tidak bisa berdiri sendiri. Dalam rangka mencapai kualitas ini, kita harus menyiapkan diri, dengan cara mengembangkan keyakinan, yang merupakan faktor pendukung yang utama. Dengan mengembangkan keyakinan kita menyiapkan diri untuk menjadi wadah yang sesuai untuk menerima ajaran tentang kebijaksanaan.

Sebagai ilustrasi bagaimana kita menyiapkan diri kita. Bayangkanlah seseorang yang saat ini memiliki perhatian penuh pada tujuan hidup saat ini. Apabila kita menjelaskan tentang ke-tanpa-aku-an kepada orang ini, kemungkinan besar dia tidak akan tertarik. Kalaupun tertarik, dia akan mengubah pengetahuan tentang ke-tanpa-aku-an menjadi sesuatu yang bertujuan untuk kehidupan saat ini. Bisa jadi dia hanya sekadar penasaran dan ingin tahu, atau mungkin dia berniat menulis sebuah buku sehingga nantinya bisa mendapatkan uang, atau bahkan menjadi seorang ahli dalam topik ini, sehingga ia bisa memperoleh reputasi bagus sebagai seseorang yang terpelajar/ berpengetahuan, dst. Dengan demikian, orang seperti ini sepenuhnya terperangkap dalam tujuan hidup saat ini dan pemahaman tentang ke-tanpa-aku-an (shunyata)-nya tidak bisa digunakan sebagai antidot untuk mengatasi cengkraman keakuan. Tapi, tentu saja, penjelasan shunyata tetap memberikan manfaat positif, antara lain menciptakan jejak karma pada batin seseorang.

Di sinilah letak penting keyakinan dan kebijaksanaan. Jika sebelumnya orang tersebut bukan merupakan wadah yang sesuai untuk menerima ajaran tentang shunyata, bayangkanlah seandainya orang ini mengembangkan keyakinan. Keyakinan terhadap apa? Jika seseorang yang hanya perhatian pada tujuan hidup saat ini bertemu dengan seorang sahabat spiritual, dan kemudian setelah berbincang dengan sahabat spiritual ini, orang tersebut mendengarkan ajaran tentang kematian dan ketidak-kekalan. Orang ini kemudian mulai bertanya-tanya. Dia mungkin berpikir, “Iya yah, aku toh pasti harus mati juga.” Pelan-pelan dia mulai memikirkan tentang kematian dan apa yang terjadi setelah kematian. Semakin lama dia semakin memahami bahwa kematian adalah kenyataan yang tidak dapat dielak. Pada akhirnya kita harus mati. Dia mungkin berpikir, “Kenapa saya tidak pernah berpikir demikian sebelumnya.”

Dia semakin merenungkan, “Kematian itu pasti, waktu kematian tidak pasti, dan apa yang terjadi setelah kematian.” Ketika kita mati, kita harus melanjutkan perjalanan dan meninggalkan segala-galanya pada kehidupan ini. Kita tidak bisa membawa apa-apa. Dengan perenungan yang benar seperti ini, seseorang bisa berubah. Seseorang yang telah memahami kematian dan kelahiran kembali, maka perhatiannya terhadap kehidupan saat ini saja menjadi berkurang. Karena segala kualitas baik, tingkatan tinggi, harta benda, sahabat-sahabat, keluarga, reputasi bagus, ini semua tidak akan bermanfaat di kehidupan yang akan datang, karena semua akan kita tinggalkan. Dengan demikian, perenungan terhadap kematian telah memperkuat keyakinan seseorang. Yakni, keyakinan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini tidak pasti. Sahabat, harta benda, semuanya tidak bermakna karena tidak bisa dibawa dan harus ditinggal.

Melalui keyakinan, seseorang ini telah mengalami transformasi, ia telah berubah. Dari yang tadinya sepenuhnya terserap dalam tujuan hidup saat ini menjadi seseorang yang lebih memikirkan kehidupan yang akan datang. Ia mulai berpikir untuk memanfaatkan hidupnya untuk sesuatu yang lebih baik untuk mempersiapkan kehidupan mendatang. Mungkin dia mulai menjaga tindak-tanduknya, menjaga sila, menciptakan karma-karma bajik, untuk bekal kehidupan mendatang yang bahagia, dan bukan hanya melulu mengejar kebahagiaan pada kehidupan saat ini saja. Orang ini pun mulai mempraktekkan ke-16 sebab untuk mendapatkan kelahiran kembali di alam tinggi.

Orang ini secara positif telah mengalami perubahan besar. Perenungan kematian dan ketidak-kekalan mendorong orang untuk mengejar sebab-sebab kelahiran kembali yang lebih baik dan mengembangkan keyakinan. Dengan keyakinan ini, dia mempraktekkan sebab-sebab tersebut, dan dengan demikian dia semakin berkembang. Dia semakin terbuka untuk mendengarkan ajaran-ajaran lebih lanjut sehubungan kelahiran kembali. Pada akhirnya dia akan siap untuk mendengarkan bahwa bahkan kelahiran kembali di alam tinggi sebenarnya masih jauh dari kondisi kebahagiaan yang ideal, karena masih berada dalam samsara. Seseorang masih harus mengalami naik-turun, lahir-mati-lahir-mati. Dikarenakan pengaruh kilesa, seseorang menciptakan gangguan-gangguan mental sehingga tidak pernah bisa benar-benar merasakan kebahagiaan yang sejati. Setelah mengetahui kenyataan ini, ia mungkin berpikir untuk melakukan sesuatu untuk mengubah kenyataan ini, dan akhirnya memutuskan tidak ingin lagi berada dalam lingkaran keberadaan (samsara). Dia mulai mencari jalan keluar (lolos) dari samsara, dan pada saat inilah dia siap untuk mendengarkan ajaran tentang ke-tanpa-aku-an (shunyata). Ia telah menyiapkan dirinya untuk mendengarkan, merenungkan, dan akhirnya memeditasikan.

Di sini kita bisa melihat seseorang yang tadi mulai dengan keyakinan terhadap kelahiran kembali di alam tinggi, kemudian berubah menjadi keyakinan terhadap kualitas bajik definitif. Ini menunjukkan seseorang yang dimatangkan oleh keyakinan akan siap untuk mempraktekkan sebab-sebab kualitas bajik definitif. Keyakinan mempersiapkanmu untuk mendapatkan kebijaksanaan. Inilah mengapa Nagarjuna menyatakan memaparkan sebab-sebab kelahiran kembali di alam tinggi baru sebab-sebab kualitas bajik definitif. Inilah mengapa juga ia mengatakan sebab utama dari dua status tersebut adalah keyakinan dan kebijaksanaan.

Di dalam teks dinyatakan 16 sebab kelahiran kembali di alam tinggi: 13 yang harus dihindari, 3 yang harus dipraktekkan. Akan tetapi hati-hati jangan salah mengikuti jalan yang salah, karena akan menghasilkan akibat yang berbeda. Ini dijelaskan dalam bait 11:

“Praktek spiritual bukan dilakukan semata-mata dengan
Mempermalukan badan jasmani,
Karena ia tidak berhenti menyakiti makhluk lain
Dan juga tidak menolong mereka.”

Ada orang yang meyakini bahwa dengan menyiksa tubuh jasmaninya, seperti misalnya berpuasa, dikelilingi oleh api, ia bisa bebas dari samsara. Ini bukanlah metode untuk terbebas dari samsara, pun bukan merupakan metode untuk memperoleh kelahiran kembali di alam tinggi, bahkan ini bukan praktek spiritual.

2 baris terakhir dari bait 11 menjelaskan apa yang tidak termasuk praktek spiritual, yakni: tidak berhenti menyakiti makhluk lain dan tidak menolong mereka. Ini sudah pasti bukanlah praktek spiritual menurut ajaran Buddha, tapi cuman sebab-sebab untuk terlahir kembali di alam rendah.

[bersambung ke sesi empat].
[-6j]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *