Sebuah Perjalanan Menuju Penahbisan (2010)

  • April 1, 2010


Perjalanan diawali dengan nasehat guru kami yang begitu baik hatinya untuk tidak nakal serta diiringi oleh rintik-rintik hujan yang membesar dan memunculkan sebuah perpaduan dinginnya cuaca dan kehangatan keluarga. Ketika itu, 30 Januari 2010, kami berlima berhimpitan bersama dengan barang bawaan kami dalam kendaraan yang dipinjamkan dengan murah hati oleh salah satu anggota keluarga KCI menuju ibukota Negara.
Sesampainya di kota gemerlap yang sepi, Jakarta, kami meluangkan beberapa jam untuk beristirahat di salah satu rumah murid senior Suhu. Setelah merasa sedikit lega, bangkitlah kami dari kegelapan dini hari dan dengan agak tergesa-gesa (karena sedikit terlambat) meluncur ke bandara Soekarno-Hatta, tempat kami bertolak dari bumi Indonesia menuju India.
Kami berlima terdiri dari 2 tujuan umum yang berbeda, 4 dari kami (Sramanera Tenzin Chograb, Sramanera Tenzin Tringyal, Ko Facong, dan Hendry) dalam rangka mengikuti persiapan penahbisan (Pre-Ordination Course/ POC) dan tentu saja penahbisan dan Bhante Aden yang gigih memperjuangkan visa untuk seorang guru yang direncanakan mengisi retret di Indonesia pada tahun ini. Namun, perbedaan tujuan tidak mutlak langsung memisahkan empat dan satu dari kami. Sebaliknya, Bhante Aden turut menemani kami selama POC yang berlangsung selama hampir 1 bulan di Tushita Meditation Course, McLeod-Ganj.
POC merupakan salah satu persyaratan bagi mereka, orang asing berkebangsaan non-Tibet, yang ingin ditahbiskan oleh H.H. Dalai Lama XIV. Dan secara khusus sistemnya dibangun dengan standar barat, tanpa tujuan untuk mengecilkan budaya timur maupun mengecualikan mereka yang berasal daripada negara dengan budaya tersebut. Oleh karenanya, tercipta sebuah keanekaragaman yang indah dalam grup POC tahun ini berkat asal-muasal yang berbeda daripada pesertanya. Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Australia, Amerika, Perancis, Belanda, Spanyol, Austria dan Swiss merupakan Negara-negara para peserta yang mengikuti POC tahun ini. Bagi Indonesia sendiri, inilah kali pertama turut serta POC.
POC ini dijalankan di bawah bimbingan Sister Jotika, yang mendapatkan instruksi langsung dari H.H. Dalai Lama XIV untuk mengisi POC, dibantu dengan Sister Anurita yang banyak membimbing kami terkait hal teknis dalam ritual. Jadwal POC dimulai dari jam 6 pagi hingga 7-8 malam secara normal, dan lebih malam lagi jikalau ada kegiatan lain seperti puja. Intensif, humanis sekaligus demokratis, kurang lebih itu yang terasa dari atmosfer POC. Intensitas daripada puja, mendengar, menghapal dan merenungkan ajaran setiap harinya; humanis yang ditunjukkan melalui perhatian dan pertimbangan kondisi peserta; dan, demokratis yang sungguh sangat identik dengan budaya barat termanifestasi melalui dipertimbangkannya suara peserta dalam setiap keputusan yang diambil (sebatas yang relevan) selama POC.
Untaian pengalaman selama berminggu-minggu masa POC menuangkan sebuah sari-sari toleransi, keterbukaan, pertukaran budaya, pola piker dan pengalaman, kebersamaan dalam komunitas, kepemimpinan dan keterpimpinan, bakti pada guru, pelepasan dan keterlepasan, cinta, kasih sayang, kebijaksanaan, kejujuran, refleksi akan kekurangan diri dan pemaknaan daripada hidup.


Sebuah hal yang perlu diluruskan dari ungkapan untaian, yang mungkin secara berlebihan (atau kurang tepat) digunakan, tidak berarti sebuah rangkaian linear yang identik dengan rutinitas, pengalaman yang jelas dan tanpa variasi. Sebaliknya, sari dari pengalaman dan inspirasi selama POC datang tak terduga, terus berubah, memberi kejutan, memberi harapan kemudian menjatuhkannya dan berasal dari segala sumber tidak semata sesi mengajar dan mendengar di hall. Mulai dari jadwal penahbisan yang tidak menentu, himbauan bahwa penahbisan mungkin saja dibatalkan yang menjadi sumber dinamika selama POC. Lebih lanjut, instruksi dari Guruku yang selama ini seakan tidur membisu agar benar-benar hidup menjadi manusia, bukan robot yang berdasarkan program atau SOP (Standard Operational Procedure), tiba-tiba aktif dan menggelegar begitu keras seakan lanskap di sekitar Tushita memberi berkah untuk membuka mata dan hati. Ketika itulah hati yang kaku terbuka oleh inspirasi, akan tegapnya gunung salju yang besar menghadapi segala masalah yang esensinya adalah berkah, matahari terbenam berwarna merah indah yang seakan mengatakan bahwa akhir dari sesuatu tidak mutlak menjadi perpisahan yang menyedihkan tapi sebaliknya awal dari gelap yang indah dan bagaimana hujan es membantu mengawetkan perasaan yang liar, membuatnya tidak lagi agresif dan mudah untuk diamati. Inilah alasan mengapa disebut untaian, bahwa rangkaian hidup sedemikian rupa terbentuk menjadi struktur yang indah, lebih detil dan akurat.

1 Maret 2010, keindahan untaian disegel oleh kucuran berkah tanpa batas oleh guru penahbis kami yang tak terbatas welas asih dan kebijaksanaannya, H.H. Dalai Lama XIV. Inilah, akhir untuk awal sebuah akhir.[HF]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *