Webcast 20 Juni 2010: Penyempurnaan Kesabaran dalam “Esensi Emas yang Dimurnikan”

  • June 21, 2010

Catatan Perangkum: Rangkuman ini diketik kembali berdasarkan catatan tangan penerjemahan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dalam sesi siaran web yang diterima di Center Kadam Choeling Indonesia pada hari Minggu tanggal 20 Juni 2010. Di awal-awal terdapat gangguan koneksi intenet dan keterlambatan penerjemah untuk tiba di hall center. Catatan ini dimulai sejak pukul 15:30 sampai dengan selesai. Rangkuman ini bukan transkrip kata-per-kata sehingga rentan kesalahan dan kekeliruan, namun pembagian catatan ini bermaksud untuk membagikan ajaran berharga yang disampaikan oleh Yang Mulia Dagpo Rinpoche Jampel Jhampa Gyatso. Segala kesalahan sepenuhnya ada pada perangkum.

* * *

…….kita sudah terlahir kembali, beranjak tua, sakit, mati, dan dilahirkan kembali. Ulang lagi dari dilahirkan, tua, sakit, mati, dan dilahirkan kembali. Demikian terus berulang-ulang sampai dengan detik keberadaan kita saat ini.

Dalam kelahiran kembali yang begitu banyak tersebut, sudah begitu banyak pula bentuk-bentuk pikiran yang melintas di batin kita. Yang patut digaris-bawahi dari seluruh pemikiran tersebut adalah persamaannya dalam hal kita selalu memikirkan kebahagiaan kita sendiri. Artinya, pemikiran kita selalu berpusat pada kepentingan dan kebahagiaan kita sendiri. Itulah inti dari semua pemikiran yang pernah melintas dalam benak kita, yaitu menginginkan kebahagiaan untuk diri sendiri.

Terang sekali kalau kita mau melihat bentuk-bentuk pikiran kita yang melintas setiap saat. Itu sebabnya pula kita tidak suka kalau ada sesuatu yang menghalangi kebahagiaan kita. Kita tidak suka ketidaknyamanan dalam bentuk apa pun, hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan hanya sebuah mimpi buruk sekalipun, kita tidak suka.

Kalau kita bandingkan perasaan kita terhadap penderitaan kita sendiri dengan perasaan kita terhadap penderitaan orang lain, maka kita kurang begitu memikirkan penderitaan orang lain. Sejauh penderitaan itu menimpa seseorang yang kita kasihi atau sayangi, mungkin masih kita pikirkan. Tapi untuk selebihnya, kita tidak pernah memikirkan penderitaan orang lain seperti halnya kita memikirkan penderitaan kita sendiri. Penderitaan yang dialami orang lain tidak membuat kita susah tidur di malam hari, pun tidak membuat kita kehilangan selera makan, hal-hal yang biasanya terjadi kalau kita memikirkan penderitaan kita sendiri.

Contohnya baru-baru ini daerah selatan Perancis dilanda banjir parah. Ada yang bahkan kehilangan nyawanya akibat banjir ini. Orang yang mendengar peristiwa ini tentu merasa sedih dan menyesali terjadinya bencana ini hingga menimpa orang-orang yang terkena dampaknya, tapi selain dari sedikit rasa sedih dan sedikit rasa penyesalan, sebenarnya kita tidak begitu peduli terhadap penderitaan yang dialami orang lain dalam kasus banjir ini.

Itu juga merupakan indikasi yang jelas bahwa perhatian utama kita (inti dari semua bentuk-bentuk pemikiran yang melintas di batin kita) adalah bentuk pemikiran yang sangat egois dan berpusat pada diri sendiri. Segala pemikiran yang ada di benak kita hanya terbatas pada diri kita sendiri saja, segala sesuatu di luar diri kita sendiri ada di urutan kedua.

Kalau pemikiran yang berpusat pada diri sendiri yang sudah kita lakukan sejak waktu tak bermula itu menghasilkan kebahagiaan untuk diri kita sendiri, tentu ini baik dan sah-sah saja, dalam artian tidak ada masalah dengan pemikiran seperti itu karena memang membuahkan hasilnya. Tapi, kenyataannya, walaupun kita sudah senantiasa memikirkan kebahagiaan kita sendiri, tapi kita belum pernah sekalipun menikmati hasilnya, dan di sinilah letak permasalahannya.

Kenyataan bahwa walaupun kita senantiasa memikirkan kebahagiaan diri sendiri, tapi justru dengan pemikiran seperti itu kita malah tidak mendapatkan apa yang diinginkan, ini menunjukkan adanya kesalahan dalam cara berpikir seperti itu.

Sehubungan dengan hal ini, Rinpoche menceritakan kisah tentang seorang guru besar Tibet bernama Drukpa Kunley. Beliau adalah praktisi tingkat tinggi dari aliran kagyud, seorang mahasiddha. Walaupun seorang praktisi tinggi, tapi penampilan dan perilakunya seperti orang kebanyakan. Ia memakai pakaian biasa layaknya orang-orang, berjalan ke sana ke mari membawa busur dan anak panah. Tapi beliau juga dikenal berperilaku eksentrik, dalam artinya selalu mengutarakan kata-kata yang mengena.

Suatu hari beliau pergi ke Lhasa dan bertemu dengan sepasang orang Tibet di sebuah biara besar. Di dalam biara tersebut terdapat rupang-rupang Buddha. Biasanya orang-orang yang melihat rupang akan langsung bernamaskara atau memberikan persembahan, tapi bukan demikian yang dilakukan Drukpa Kunley. Sebelum bernamaskara, Drukpa Kunley akan berbicara kepada Buddha dengan kata-kata berikut: “Pertama-tama, aku dan kamu itu sama. Kadang-kadang aku bekerja untukmu, di lain waktu kamu bekerja untukku. Tapi, saat ini, kamu duduk jauh lebih tinggi daripada aku, dan aku di sini di tempat yang lebih rendah.” Setelah berkata demikian, barulah Drukpa Kunley bernamaskara.

Kalau dipikir, kita tentu merasa aneh dengan perilaku Drukpa Kunley. Tapi, kalau dipikir lebih jauh lagi, apa yang dikatakannya justru benar sekali. Dikarenakan cara berpikir dan tindakan kita yang keliru, saat ini kita masih menjadi orang biasa, sementara itu, ada makhluk yang sudah mencapai Kebuddhaan. Jadi, di satu sisi, kita ibarat sudah tertinggal jauh. Tapi sekarang adalah saatnya untuk berubah. Jika kita gagal untuk mengenali kondisi kita dan tidak berubah, maka kita akan selamanya berada pada kondisi kita sekarang ini yang begitu-begitu saja.

Itu pula yang dikatakan oleh Bodhisatwa besar, Yang Mulia Shantidewa. Ringkasnya, beliau berkata:

“Tidak perlu berkata banyak,
Engkau yang senantiasa mengutamakan makhluk lain
Telah mencapai Kebuddhaan
Kita, makhluk biasa, yang senantiasa mengutamakan diri sendiri,
Hanya mencapai tingkat orang biasa pula.”

 

Kutipan di atas senada dengan apa yang diucapkan oleh Drukpa Kunley.

Di satu sisi, mereka yang telah mempelajari dan kemudian mempraktekkan sifat mementingkan orang lain pada akhirnya akan menjadi obyek perlindungan bagi makhluk lain. Sebaliknya, kita yang senantiasa mengutamakan diri sendiri, pada akhirnya masih harus mengambil perlindungan pada obyek-obyek perlindungan tadi. Perbedaan yang besar ini terletak pada perbedaan sikap sehingga kita bisa mengamati bagaimana hasil akhir dari dua situasi yang berseberangan ini.

Sekarang kita memiliki kesempatan untuk mengubah sikap kita dan mengubah cara kita melihat situasi. Kita harus berupaya untuk lebih membuka diri terhadap orang lain. Keadaan kita yang selama ini menutup diri dan mengutamakan diri sendiri ibarat kerang yang tertutup. Kita harus berjuang untuk membukanya sedikit demi sedikit, dengan cara sedikit demi sedikit memancarkan cinta kasih kepada orang lain.

Jangan bayangkan seseorang yang tadinya sepenuhnya mengutamakan dirinya sendiri, tahu-tahu besoknya langsung bisa mengutamakan orang lain. Sama seperti anak kecil yang belum bisa berjalan sama sekali, mustahil baginya untuk keesokan harinya tiba-tiba sudah bisa melaksanakan aktivitas-aktivitas orang dewasa.

Sama halnya dengan diri kita saat ini, tidak bisa tiba-tiba dengan begitu saja mengutamakan orang lain sepenuhnya. Ibarat kerang yang tertutup rapat, tidak bisa dengan serta-merta langsung terbuka lebar. Kita harus berupaya untuk membukanya pelan-pelan, setahap demi setahap, dimulai dengan mengubah sikap kita, sedikit demi sedikit membangkitkan rasa peduli terhadap orang lain.

Dalam merubah sikap dan membuka diri, kita perlu bergantung pada sebuah metode. Metode yang akan kita pakai adalah Tahapan Jalan Menuju Pencerahan yang sesuai untuk ketiga jenis praktisi. Sekarang ini, harus kita akui, fokus utama perhatian kita adalah kebahagiaan untuk kehidupan saat ini saja. Kita harus bisa merubah kecenderungan ini menjadi perhatian terhadap kebahagiaan di kehidupan akan datang. Untuk melawan kecenderungan mementingkan kehidupan saat ini, kita harus melatih tahapan jalan menuju pencerahan yang sesuai untuk makhluk bermotivasi awal. Makhluk bermotivasi awal memeditasikan topik-topik seperti Kematian & Ketidak-kekalan, Penderitaan di Alam-alam Rendah, dan seterusnya. Kalau direnungkan, topik-topik tersebut akan membantu kita mengatasi fokus utama pada kehidupan saat ini saja, dan mengarahkannya untuk lebih mengutamakan kebahagiaan pada kehidupan akan datang.

Bukannya kita memungkiri adanya kebahagiaan pada kehidupan saat ini. Tentu saja kebahagiaan pada kehidupan saat ini merupakan sebuah kemungkinan yang bisa terjadi. Tapi, poin penting yang hendak ditekankan adalah: kebahagiaan pada kehidupan saat ini sangat singkat sekali, ia bagaikan sesuatu yang mengawang-ngawang, sangat rapuh. Kita hidup sekarang ini paling beruntung bisa sampai 50 hingga 60 tahunan saja. Kalaupun ada yang lebih beruntung untuk hidup di atas 60 tahun, namun kebahagiaan untuk orang-orang setua itu juga semakin terbatas. Rinpoche mengatakan hal ini berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri selaku orang yang sudah tua (di atas umur 60 tahun). Kebahagiaan-kebahagiaan pada kehidupan saat ini saja sungguh sangat singkat sekali, hingga tidak pantas untuk diperjuangkan dan dijadikan fokus utama satu-satunya.

Seperti yang sudah tadi disebutkan, bukannya kita mengingkari adanya kebahagiaan pada kehidupan saat ini. Tentu saja ada kebahagiaan-kebahagiaan seperti misalnya menikmati makanan yang enak-enak, berpakaian bagus, dihargai dan dihormati oleh orang lain, saat-saat bahagia bersama orang-orang yang dikasihi, dan seterusnya. Hal-hal tersebut tentu saja ada dan nyata terjadi. Masalahnya kita cenderung berpikir bahwa kebahagiaan tersebut akan berlangsung selama-lamanya, dan ini tentu saja sebuah kekeliruan. Bukannya kita mengakui bahwa itu semua akan berakhir suatu saat nanti, tapi kita malahan membayangkan semua itu akan berlangsung selama-lamanya.

Terutama di negara-negara Barat seperti Perancis ini. Tentu ada banyak hal-hal bagus yang bisa dinikmati. Apalagi Perancis terkenal dengan makanannya yang enak-enak, anggur, dan seterusnya. Untuk anggur sendiri, orang Perancis bahkan mengenal anggur pembuka sebelum makan, anggur yang diminum pada saat bersantap, dan anggur penutup setelah selesai makan. Selain itu, Perancis juga terkenal sebagai negara yang high-fashion. Seseorang yang terlalu menikmati hal-hal tersebut beresiko untuk tertipu atau terperdaya, dikarenakan kilesa-kilesa yang selalu mengiringi kenikmatan-kenikmatan seperti itu.

Kenikmatan-kenikmatan itu memang ada dan bisa dinikmati, tapi tidak bisa diandalkan. Kesalahan kita terjadi ketika kita mengandalkan diri pada kebahagiaan-kebahagiaan semacam ini. Mengapa demikian? Karena, cepat atau lambat, kenikmatan tersebut akan hilang, berubah, dan berhenti. Akhirnya kita sendiri yang kecewa dan patah hati, karena kita berharap kebahagiaan itu berlangsung selama-lamanya.

Katakanlah dari sisi eksternal, kenikmatan-kenikmatan tersebut masih tetap ada untuk dinikmati. Tapi dari sisi internal seseorang, artinya dari sisi orang yang menikmati, akan mengalami perubahan. Ia akan beranjak tua, sakit, dsb, yang kesemuanya membatasi kemampuannya untuk menikmati hal-hal yang tadinya bisa ia nikmati. Rinpoche mencontohkan dirinya sendiri. Walaupun ada banyak makanan yang ingin dicoba, tapi karena ada penyakit (gula), maka Rinpoche tidak boleh sembarangan memakan apa saja yang hendak dimakannya. Ini merupakan contoh jelas bahwa perubahan pasti terjadi dan itu akan memengaruhi kenikmatan-kenikmatan yang kita anggap sebagai kebahagiaan itu.

Itulah sebabnya mengapa Gomchen Ngawang Wangpo dalam Lamrimnya menyebutkan:

“Pada akhirnya semua hal-hal baik
akan berakhir dan harus ditinggalkan”

Tentu itu sesuatu yang benar sekali. Sebagus apa pun sebuah keadaan, cepat atau lambat kita harus berpisah dengannya. Apakah itu benda-benda materi, orang-orang yang kita kasihi dan sayangi, dan sebagainya. Termasuk pula badan jasmani kita ini, pada akhirnya harus kita relakan.

Akan tetapi, jangan bayangkan bahwa kita harus menolak dan mengingkari diri. Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh menikmati makanan enak. Tapi yang harus diperhatikan adalah kilesa kemelekatan, karena inilah yang akan memicu timbulnya masalah dan menimbulkan kekecewaan karena pada akhirnya kita harus merelakan segala bentuk kenikmatan-kenikmatan yang kita anggap sebagai kebahagiaan.

Kembali ke soal makan, yah kita tetap perlu makan, yah makan saja. Toh kita perlu makan untuk mempertahankan hidup dan menjaga kesehatan tubuh. Tapi, yang tidak perlu adalah kemelekatan terhadap makanan. Makan ya makan saja, tidak perlu sampai melekat.

Ketika kita menikmati obyek-obyek nafsu keinginan kita, kita harus berhati-hati sekali. Jangan sampai kita terlalu terlena dan terhanyut sepenuhnya. Kita harus bisa mengenalinya sebagai potensi permasalahan, yakni berpotensi besar memicu nafsu keinginan. Karena nafsu keinginan, kita sudah berputar-putar di dalam samsara dan terpaksa harus mengalami penderitaan di dalamnya. Selama kita masih memiliki nafsu keinginan, selama itu pula kita harus mengalami kelahiran kembali dan penderitaan di dalam samsara.

Dengan merenungkan topik-topik seperti Kematian & Ketidak-kekalan, dst, seseorang bisa melemahkan kemelekatan terhadap urusan-urusan pada kehidupan saat ini saja dan membangkitkan ketertarikan lebih besar terhadap kebahagiaan di kehidupan akan datang. Kalau seseorang sudah menunjukkan perubahan seperti ini, itu merupakan indikasi bahwa ia telah membangkitkan motivasi yang sejalan dengan makhluk-makhluk bermotivasi awal.

Seseorang yang tadinya memiliki fokus perhatian utama pada kebahagiaan pada kehidupan saat ini dan kemudian berubah menjadi kebahagiaan pada kehidupan akan datang, dikatakan mengalami perubahan yang sangat besar sekali, dalam artinya ia telah membuka diri dan memperlebar hati dan pikirannya hingga ke tingkat tertentu.

Sekali seseorang telah mampu membangkitkan perhatian yang lebih besar terhadap kehidupan akan datang dibandingkan kehidupan saat ini, masih ada beberapa pertanyaan yang harus diajukan kepada diri sendiri. Katakanlah kita mendapatkan kelahiran yang bahagia pada kehidupan berikutnya, tapi itu masih termasuk kelahiran di dalam samsara. Kelahiran itu belum tentu stabil dan belum tentu bisa diandalkan. Justru sebaliknya, ia malahan sangat tidak bisa diandalkan. Katakanlah kita terlahir sebagai orang kaya, tapi tidak ada jaminan kita bisa mempertahankan kekayaan untuk selama-lamanya. Katakanlah kita terlahir dikelilingi oleh orang-orang yang kita kasihi dan sayangi, tapi tidak ada jaminan kita bisa mempertahankan mereka untuk selama-lamanya pula.

Dengan demikian, kita memahami bahwa samsara secara keseluruhan tidak bisa diandalkan, dan senantiasa harus mengalami perubahan. Pada dasarnya sifat samsara adalah tidak stabil, sepenuhnya tidak bisa diandalkan, terutama hal-hal baik di dalam samsara. Aryadewa mengatakan: Makhluk-makhluk di dalam samsara senantiasa terus-menerus didera oleh perubahan dan penderitaan, bagaimana mungkin kamu tidak takut akan kondisi seperti itu?

Kembali pada contoh bencana banjir yang tadi diberikan. Beberapa orang diberitakan kehilangan rumah yang sudah mereka perjuangkan dengan bekerja 30-40 tahun, dan tahu-tahu rumahnya hancur dalam waktu beberapa menit. Bagi orang yang tinggal di rumah itu, sesaat sebelum banjir menerjang, dia pasti berpikir bahwa dia akan menetap di rumah itu selama bertahun-tahun ke depan, tak dinyana rumah tersebut hancur hanya dalam waktu beberapa menit.

Sama dengan korban banjir tersebut, kita di sini juga membayangkan kita akan terus menikmati kondisi nyaman dan aman yang kita nikmati untuk bertahun-tahun ke depan. Bahkan, kita berpikir kita akan menikmatinya untuk selama-lamanya, dan tentu saja ini adalah kekeliruan. Dan kekeliruan ini sungguh terang adanya.

Drukpa Kunley menceritakan tentang binatang domba yang sudah sangat bodoh, tapi ketika ia dituntun ke tempat penjagalan, domba itu tahu dan akan gemetaran dan menangis, karena ia tahu sebentar lagi ia akan dibantai. Kita ini jauh lebih bodoh dari domba, karena kita membayangkan kita akan hidup terus-menerus dan tidak akan mati. Seperti orang yang kelihatannya tidak buta, tapi sebenarnya buta. Ada orang buta yang kelihatan tidak buta karena bola mata fisiknya masih melekat di wajahnya, tapi sebenarnya ia sudah buta. Sama halnya dengan kita, walaupun dari luar kelihatan seperti orang yang cerdas, namun sebenarnya kita itu bodoh seperti domba. Dan ini berlaku untuk semua yang hadir di sini, tak terkecuali Rinpoche yang menceritakan kisah ini bertutur tentang dirinya sendiri pula.

Oleh sebab itu, kita harus membangkitkan niat yang kuat untuk terbebaskan dari samsara secara keseluruhan. Kalau kita sudah mampu membangkitkan niat ini, maka cara berpikir kita sudah sejalan dengan makhluk bermotivasi menengah. Dan dikatakan perubahan ini menunjukkan peningkatan cara berpikir yang luar biasa.

Semakin seseorang merenungkan samsara, semakin ia membangkitkan tekad untuk terbebas darinya. Setelah memahami penderitaannya sendiri, ia kemudian mengalihkan perhatiannya pada penderitaan orang lain, sehingga mampu mengembangkan welas asih sejati kepada semua makhluk. Berdasarkan pada perasaan dan pemahaman akan penderitaan kita sendiri, barulah kita bisa merasakan penderitaan makhluk lain, dan ini menuntun kita untuk membangkitkan keinginan untuk membebaskan mereka semua dari penderitaan. Inilah yang dinamakan dengan welas asih.

Di sisi lain, semakin kita memahami kondisi diri kita sendiri yang masih harus mengalami penderitaan dan tidak mampu mendapatkan kebahagiaan, kita semakin membangkitkan niat agar makhluk lain juga bisa mengatasi penderitaan dan mendapatkan kebahagiaan. Berdasarkan perasaan kita yang melihat kondisi kita sendiri, barulah bisa kita terapkan kepada orang lain, dalam hal ini membangkitkan niat untuk memberikan kebahagiaan kepada orang lain dalam takaran yang sama dengan kebahagiaan yang kita inginkan untuk diri kita sendiri. Ini dinamakan cinta kasih.

Dengan welas asih dan cinta kasih, itu merupakan indikasi bahwa hati kita sudah semakin terbuka. Kemampuan untuk memikirkan kebahagiaan makhluk lain merupakan pertanda bahwa pemikiran kita sudah lebih berkembang dan meluas. Dengan demikian kita bisa semakin membangkitkan niat untuk menolong makhluk lain, artinya membangkitkan cinta kasih dan welas asih terhadap mereka. Lebih lanjut, kita bisa mengambil tanggung-jawab pribadi untuk memastikan niat yang sudah kita bangkitkan tadi agar bisa diwujudkan.

Mengapa kita harus mengambil tanggung-jawab pribadi? Karena kebanyakan makhluk tertidur dalam kebodohan. Mereka tidak paham dan tidak melihat penderitaan yang sedang mereka alami. Sedangkan kita sudah lebih sadar dan lebih paham, sehingga tergantung pada kita untuk memastikan bahwa penderitaan semua makhluk teratasi dan kebahagiaan dapat diraih. Keinginan ini yang sudah berkembang sedemikian rupa dinamakan niat unggul yang menjadikan seseorang masuk dalam jajaran makhluk berkapasitas agung.

Di satu sisi, kita membangkitkan niat unggul untuk mengakhiri penderitaan makhluk lain dan memberikan kebahagiaan kepada mereka. Tapi di sisi lain, dalam kondisi kita sekarang ini, mustahil bagi kita untuk mewujudkannya. Mengapa demikian? Karena masih banyak hal yang menahan kita. Apa saja itu? Kesalahan-kesalahan kita, keterbatasan-keterbatasan kita, ketidaksempurnaan kita, kualitas-kualitas bajik kita yang masih belum sempurna atau masih belum cukup. Memahami ini, kita menyadari bahwa kita belum mampu menolong semua makhluk. Jangankan semua makhluk, kita bahkan belum bisa menolong diri sendiri, dalam artian berdiri di atas kaki sendiri.

Oleh sebab itu, kita bertekad untuk berubah, dan mencapai tingkat kesempurnaan, di mana segala kesalahan telah dihapuskan dan kualitas-kualitas bajik sudah disempurnakan hingga tingkat tertinggi. Artinya kita sudah menjadi seorang makhluk yang sepenuhnya tercerahkan, seorang Buddha. Kalau niat kita untuk mencapai Kebuddhaan sudah murni dan spontan, maka kita sudah masuk pada jajaran praktisi Mahayana, dan karenannya memasuki Jalan Bodhisatwa. Ini merupakan bagian dari kendaraan besar atau kendaraan agung pada tahapan jalan spiritual. Ini merupakan kapasitas tertinggi yang bisa dicapai, keterbukaan tertinggi yang bisa diraih, karena tidak ada lagi tingkatan yang lebih tinggi daripada ini.

Inilah persisnya yang dimaksudkan dengan perkembangan setahap demi setahap yang sudah dijelaskan di awal tadi. Kita harus membuka diri selangkah demi selangkah, dengan bertumpu pada Tahapan Jalan Menuju Pencerahan yang sesuai untuk ketiga jenis praktisi, mulai dari motivasi awal, menengah, hingga agung. Inilah alasan mengapa kita semua berkumpul di sini untuk mendengarkan ajaran yang akan disampaikan.

Mungkin bagi para pendatang baru, tidak semua paham sepenuhnya apa yang sudah disampaikan. Tapi minimal Anda para pendatang baru bisa berpikir bahwa Anda semua bisa mengembangkan diri lebih lanjut, artinya bisa bergerak maju dalam pemahaman Anda. Penting untuk mempertahakan sikap dan cara berpikir yang positif seperti ini, oleh sebab itu Rinpoche mengingatkan kepada Anda semua.

Tadi disebutkan, kita bisa berubah dan mengembangkan cara berpikir kita, dst. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan bisa berubah? Itu artinya kita bisa mengakhiri penderitaan dan masalah apa pun yang sedang kita hadapi, dalam artian membuat keadaan lebih baik. Seandainya Anda sekalian mengalami masalah ataupun keterbatasan, bisa berubah maksudnya ada kemungkinan untuk berubah ke kondisi yang lebih baik.

Untuk menciptakan transformasi batin, kita bertumpu kepada Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, yang memiliki struktur tertentu. Ada 4 bab utama, yaitu:

1. Penjelasan kualitas-kualitas agung Guru spiritual untuk menunjukkan kemurnian sumber ajaran (Lamrim).
2. Penjelasan kualitas-kualitas agung ajaran Lamrim itu sendiri untuk membangkitkan rasa hormat terhadap instruksi-instruksi.
3. Bagaimana cara mengajar dan mendengarkan ajaran dengan kualitas-kualitas di atas.
4. Bagaimana kita para murid dibimbing dengan ajaran Lamrim yang sebenarnya.

 

Kita sudah sampai pada bab ke-4, dan di dalam bab-4, kita sudah sampai pada melatih batin pada tahap-tahap jalan makhluk-makhluk dengan tingkat motivasi tertinggi.

Tahapan jalan untuk makhluk bermotivasi tinggi terbagi menjadi tiga bagian:

1. Mengenali manfaat-manfaat bodhicitta, sebagai satu-satunya pintu gerbang menuju Mahayana dan seterusnya.
2. Bagaimana cara mengembangkan bodhicitta.
3. Setelah mengembangkan bodhicitta, bagaimana cara berlatih dalam praktik Bodhisatwa.

 

Kita sudah sampai pada poin ke-3, yaitu “Setelah mengembangkan bodhicitta, bagaimana cara berlatih dalam Praktik Bodhisatwa.” Poin ke-3 ini bisa dijabarkan lagi menjadi:

1. Bagaimana cara berlatih dalam keenam paramita untuk mengembangkan batin kita.
2. Bagaimana cara berlatih dalam keempat metode untuk pengumpulan murid-murid agar mengembangkan batin makhluk-makhluk lain.

 

Untuk poin pertama, yaitu Enam Paramita, kita sudah sampai pada paramita Kesabaran.

[Pada saat ini, Rinpoche memberikan transmisi pada bagian teks “Esensi Emas yang Dimurnikan” yang akan dijelaskan]

Rinpoche menjelaskan bahwa untuk paramita-paramita sebelum Kesabaran, sebenarnya masih banyak penjelasan yang bisa diberikan, berikut penjelasan tentang urutan keenam paramita tersebut, tapi karena tidak banyak waktu tersedia, maka Rinpoche tidak akan menjelaskannya di sini sekarang.

Secara umum, ada 3 jenis kesabaran, yaitu:

1) Kesabaran menahan penderitaan yang diakibatkan orang lain kepada kita.
2) Kesabaran menerima segala jenis penderitaan secara umum.
3) Kesabaran yang memungkinkan kita bertahan menghadapi kesulitan dalam menjalani praktik spiritual.

 

Melatih kesabaran sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa demikian? Karena dalam kehidupan sehari-hari tersedia banyak sekali kesempatan bagi kita untuk menggunakannya. Contoh, ada orang-orang yang berniat menyakiti kita, atau kita mengalami bentuk-bentuk penderitaan lainnya. Dan ketika kita berupaya untuk belajar atau praktik, ada jenis-jenis penderitaan yang harus kita jalani. Jika kita mampu mengembangkan kesabaran, maka kita akan mampu menghadapi berbagai situasi tersebut.

Di dalam teks “Esensi Emas yang Dimurnikan,” untuk kesabaran jenis pertama, yaitu kesabaran dalam menghadapi bahaya yang diakibatkan orang lain kepada kita, ada 3 alasan yang diberikan untuk membantu mengembangkan kesabaran jenis pertama ini.

1) Kenyataan bahwa kita harus menjadi sasaran untuk disakiti orang lain bukanlah kebetulan, tapi itu adalah akibat karma.

Karena kita sendiri sudah berupaya untuk menyakiti orang lain, maka tidak ada alasan mengapa kita harus berperilaku buruk ketika orang lain berupaya menyakiti kita. Karena kenyataannya, kita sendirilah yang menciptakan sebab untuk disakiti. Ketika ada orang lain yang bemaksud jahat kepada kita dan ingin menyakiti kita, alih-alih marah atau berniat membalas, kita harus berhenti dan berpikir. Mengapa situasi seperti ini terjadi pada kita? Tentu saja ada faktor-faktor eksternal yang berperan, tapi sebab utama adalah faktor karma yang berperan, karma yang sudah kita ciptakan sendiri sehingga kita menjadi obyek yang disakiti orang lain. Kalau kita tidak punya sebab internal ini, walaupun orang lain berniat menyakiti kita, tapi kita tetap tidak akan bisa disakiti.

Oleh karena kita sendiri yang sudah menciptakan sebab internalnya, maka tidak ada gunanya kita menyalahkan orang lain. Ketika orang lain berniat menyakiti kita, kita menyalahkan mereka sepenuhnya, tanpa mempertimbangkan sebab internal yang kita ciptakan sendiri. Secara umum, ada dua unsur yang berperan dalam sebuah kejadian: unsur eksternal dan unsur internal. Walaupun ada unsur eksternal, tapi kita bertanggung-jawab untuk separuh bagian (50%), yaitu pada unsur internal. Tapi kita cenderung tidak melihat fakta ini, dan sepenuhnya menyalahkan orang lain 100%, yang tentu saja sebuah kekeliruan.

2) Terlebih, orang yang berniat menyakiti kita sebenarnya tidak sepenuhnya bebas.

Dalam artian mereka dipengaruhi oleh kilesa mereka, terutama kemarahan dan sifat bermusuhan. Karena kondisi yang tidak bebas inilah, tidak ada gunanya kita menyalahkan orang itu.

3) Lanjut lagi, kalau kita bereaksi dengan kemarahan, ini pun tidak bisa dibenarkan.

Alasannya karena kemarahan merupakan karma yang sangat destruktif. Kemarahan bisa menghancurkan semua kebajikan yang sudah kita kumpulkan dengan tubuh, ucapan, dan pikiran, untuk waktu yang lama. Lebih jauh lagi kemarahan bisa menghancurkan kebajikan yang sudah kita kumpulkan dari praktik kemurahan hati, menjaga sila, kesabaran, upaya bersemangat, dan konsentrasi, yang sudah kita kumpulkan untuk waktu yang lama. Sedemikian destruktifnya kemarahan, ini harus kita pahami dan hindari.

Untuk kesabaran jenis kedua dan ketiga, dijelaskan secara bersamaan pada bagian berikutnya. Kesabaran untuk menerima penderitaan secara umum dan kesabaran untuk menghadapi kesulitan ketika menjalani praktik spiritual.

Jika kita bisa menahan penderitaan secara umum yaitu, semua penderitaan di luar penderitaan yang diakibatkan orang lain kepada kita dan tidak putus asa, maka tujuannya adalah:

1) Untuk mengurangi kesombongan kita.

 

Hal ini dijelaskan oleh Shantidewa di dalam Bodhicaryawatara:
“Kebaikan penderitaan adalah mengurangi sifat sombong.”
2) Kebaikan penderitaan lainnya adalah memungkinkan kita membangkitkan rasa muak terhadap samsara, artinya membangkitkan niat untuk terbebas dari samsara.

 

Kalau kita tinjau, ini sungguh benar adanya. Dengan penderitaan, barulah kita bisa melihat sifat asli samsara yang sebenarnya, yaitu menderita. Kalau segala sesuatu berjalan baik-baik saja dan lancar-lancar saja, kita akan mendapatkan kesan bahwa “samsara baik-baik saja,” sehingga tidak berniat untuk keluar darinya.

Itulah sebabnya pula mengapa Sang Buddha ketika memutar roda dharma untuk pertama kalinya, mengajarkan “Inilah kebenaran mulia tentang penderitaan.” Penderitaan ini merujuk pada agregat tercemar yang sudah kita dapatkan, yaitu batin dan jasmani yang sudah kita dapatkan, yang pada dasarnya bersifat menderita. Buddha telah menunjukkan penderitaan ini kepada kita dengan tujuan supaya kita membangkitkan keinginan untuk terbebas darinya, dan kemudian mengatasi samsara kita, yaitu batin dan jasmani kita.

3) Penderitaan juga mendorong kita untuk menghindari menciptakan sebab-sebab penderitaan yang baru di masa akan datang.

 

Pada saat sekarang ini kita menderita diakibatkan oleh ketidakbajikan yang sudah kita ciptakan sendiri di masa lampau. Dengan penderitaan, kita terdorong untuk menghindari menciptakan sebab-sebab yang sama, artinya kita berhenti melakukan ketidakbajikan.

4) Seseorang yang mengalami penderitaan juga lebih bisa membangkitkan welas asih terhadap penderitaan orang lain.

Merujuk kembali pada kesabaran jenis pertama, yaitu kesabaran menghadapi penderitaan yang diakibatkan orang lain kepada kita, kalau kita berlatih dan mengembangkan kesabaran jenis ini, maka kesabaran ini akan mampu mengembangkan 5 paramita lainnya.

Sehubungan dengan orang yang berniat menyakiti kita, kita harus mampu melihatnya sebagai seseorang yang berjasa kepada kita, seseorang yang baik sekali pada kita. Bahkan, pada tingkat lebih tinggi lagi, disebutkan kita harus bisa melihat orang yang berniat ataupun benar-benar menyakiti kita sebagai guru spiritual.

Ini juga yang persisnya disebutkan di dalam teks:

“Dengan mempraktikkan kesabaran terhadap bahaya yang diakibatkan orang lain kepadamu,
Engkau akan mampu mengembangkan paramita-paramita lainnya,
Dan akhirnya mencapai tingkat Kebuddhaan,
Dan sang gurulah yang membantumu mencapainya.”

 

Ketika menjalankan praktik, kita mengembangkan keyakinan terhadap Triratna, Buddha dan Bodhisatwa, dan terinspirasi untuk menjalankan Praktik Bodhisatwa. Seseorang akan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dalam praktik spiritualnya kalau ia mengembangkan kesabaran jenis ketiga.

Sehubungan dengan analogi untuk kesabaran, Je Rinpoche menjelaskannya dalam “Baris-baris Pengalaman”:

Kesabaran adalah perhiasan unggul bagi mereka yang perkasa,
Keteguhan terbaik bagi mereka yang tersiksa oleh klesha,
Ibarat seekor garuda terhadap ular musuhnya yakni, kemarahan,
Laksana perisai hebat di hadapan senjata kata-kata kasar,

Kesabaran merupakan penawar bagi kebencian, kemarahan, dan seterusnya. Perisai hebat yang melindungi kita ketika diserang oleh kata-kata kasar, celaan, dan seterusnya. Mereka yang menjalankan Praktik Bodhisatwa melatih ketiga jenis kesabaran ini, yang merupakan senjata terbaik untuk melindungi diri dari situasi-situasi sukar.

Demikianlah penjelasan ringkas mengenai paramita ketiga, yaitu penyempurnaan kesabaran.

[Rinpoche memberikan transmisi di bagian ini]

Demikianlah sesi untuk hari ini. Sampai ketemu pada sesi berikutnya. Rinpoche mengingatkan, baik pendatang baru atau bukan, untuk mendaya-gunakan apa yang telah didengar hari ini. Tidak ada gunanya kalau hanya mempelajari tanpa mengaplikasikannya. Karena kalau Anda benar-benar menerapkannya, itu akan membawa transformasi cara berpikir dan sikap Anda dan pada akhirnya membawa dampak langsung pada kualitas kehidupan Anda sehari-hari. Ingat, kita di sini bukan untuk mengejar selesainya materi pelajaran, tapi untuk menggunakan apa yang sudah dipelajari untuk mengembangkan diri kita dalam hidup sehari-hari.

Rinpoche mengucapkan selamat berlibur karena di Perancis sudah memasuki musim panas. Rinpoche tidak akan mengajar di Perancis sampai dengan musim gugur nanti. Berikutnya, semua peserta akan melafalkan doa dedikasi. Kita semua mendedikasikan kebajikan yang dikumpulkan pada sesi ini kepada diri sendiri dan semua makhluk agar bisa menghentikan semua pemikiran dan perilaku buruk dan membangkitkan pemikiran dan perilaku yang baik dan benar.[Jl]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *