Rangkuman Ajaran Retret Kulu 2010: RISALAH AGUNG TAHAPAN JALAN MENUJU PENCERAHAN

  • September 19, 2010


Melewati barisan perbukitan, menyusuri jalanan kecil yang bertepikan jurang terjal, pagi itu (29 Juli 2010) kami tiba di Dhakpo Shedrup Ling Monastery, Kais. Keesokan harinya retret dimulai pk 09.00 waktu setempat. Dimulai dengan Puja, Rinpoche selalu memulai sesi teaching dengan mengingatkan peserta retret untuk membangkitkan motivasi yang baik di awal.
Berikut ini adalah ringkasan dari poin-poin yang Rinpoche paparkan pada retret tersebut.
Rinpoche selalu mengawali ajaran dengan mengingatkan para peserta untuk membangkitkan motivasi yang baik. Kelahiran sebagai manusia yang berharga apabila bisa dimanfaatkan untuk belajar Dharma, maka hal itu akan lebih berharga dari permata pengabul harapan sekalipun. Dengan Dharma kita bisa menjadi manusia yang lebih baik, terlebih lagi digunakan untuk mencapai tujuan tertinggi: Kebuddhaan. Anggaplah kehidupan kita saat ini hanya ada satu kali kesempatan ini saja untuk belajar Dharma, dimana kita harus mempraktikannya, dan saat menjelang kematian kita juga harus dapat membangkitkan kebiasaan-kebiasan positif selama hidup ini.
Saat kita bisa membuat rencana-rencana ke depan bertahun-tahun, itu membuktikan kita masih mempunyai ke-aku-an bahwa kita akan hidup abadi. Padahal, sangat penting bagaimana kita mengisi waktu yang sangat berharga ini dengan belajar Dharma.
Terdapat pepatah bagaimana memilih beras di antara kulitnya? Apakah kita bisa menentukan prioritas kita? Cara terbaik untuk melihatnya adalah memotivasi secara kuat kepada diri sendiri dengan tujuan bisa membantu semua makhluk. Dalam mendengarkan Dharma/ belajar Dharma, jangan lupakan motivasi yang murni dan agung yaitu membalas kebaikan makhluk lain dengan cepat-cepat mencapai Kebuddhaan.
Satu per satu Rinpoche memaparkan poin-poin yang terdapat di Lamrim Chenmo. Dimulai dari Bab 1 yang menceritakan tentang Atisha hingga masuk ke poin Bertumpu pada Seorang Guru. Rinpoche berulang kali menekankan pentingnya poin Bertumpu pada Guru Spiritual.
Sutra Sepuluh Ajaran mengatakan:
Kembangkanlah pemikiran berikut sehubungan dengan guru-gurumu. Aku telah mengembara untuk waktu yang lama di dalam samsara, dan mereka telah mencariku; aku telah tertidur, karena telah terhalangi oleh khayalan untuk waktu yang sangat lama, dan merekalah yang membangunkanku; mereka menarikku keluar dari dalam lautan samsara; aku telah memasuki jalan yang salah, dan merekalah yang menunjukkan jalan yang benar kepadaku; merekalah yang melepaskanku dari penjara samsara; aku telah didera oleh penyakit untuk waktu yang sangat lama, dan mereka adalah para dokterku; mereka adalah awan-awan hujan yang memadamkan api kemelekatanku dan sebagainya.
Rinpoche mengatakan bahwa kita tidak seharusnya mencari-cari kesalahan seorang Guru, karena dengan demikian kita tidak akan mencapai apapun. Kita juga tidak boleh pura-pura tidak melihat kesalahan Guru. Sadari dan lihat! Hal ini diumpamakan dengan pengobatan Tibet. Salah satu teknik pengobatan Tibet akan membuat pasien semakin parah setelah diobati. Hal ini dilakukan agar penyakit dapat terlihat makin jelas sehingga dapat diobati. Demikian jugalah seharusnya kita bertumpu.
Lima Puluh Bait Bakti kepada Guru mengatakan:
Apalagi yang harus dikatakan panjang lebar di sini
Lakukan apa pun yang menyenangkan guru-gurumu;
Lenyapkan segala yang tidak menyenangkan hati mereka.
Analisislah hal ini, dan berjuanglah melakukannya.

Dan mengapa kita masih berada di samsara hingga saat ini adalah karena kita tidak bertumpu dengan benar.


Selanjutnya, berhubungan dengan para praktisi kapasitas kecil, Rinpoche kembali mengingatkan syarat minimal seorang praktisi adalah memikirkan kehidupan yang akan datang.
Jika kita tidak bisa menjamin bahwa pada kehidupan yang akan datang kita akan menjadi manusia, maka sia-sia saja upaya kita.(Dagpo Rinpoche, Kullu 2010)
Mengapa setelah penjelasan poin bertumpu pada Guru Spiritual, kita kemudian dijelaskan mengenai Kelahiran Berharga sebagai Manusia? Hal ini untuk menghilangkan pandangan keliru yang menganggap bahwa kita tidak memiliki kapasitas ketika bertumpu kepada Guru untuk praktik. KITA MEMILIKI KAPASITAS!!
Jika kita dapat menyatukan 3 sebab (Sila yang murni, Praktik Paramitha, Doa-doa), kita akan kembali memperoleh tubuh manusia yang berharga. Yang menodai kita dari pencapaian ini adalah kemelekatan kita hanya pada kehidupan saat ini saja. Tubuh yang kita miliki saat ini tentu saja tubuh yang sama dimiliki oleh Sang Yogi Milarepa. Perbedaannya adalah beliau berupaya dengan sungguh-sungguh memanfaatkan tubuh manusia ini untuk pencapaian agung, sedangkan kita tidak.
Rinpoche kembali menegaskan bahwa tubuh ini sangat berharga. Bahkan pada makhluk di Sukhavati selalu berdoa agar dapat terlahir menjadi manusia. Namun sebaliknya, kita malah berharap dapat terlahir di alam Sukhavati! Hal ini dikarenakan kita tidak menyadari betapa berharganya tubuh manusia ini. Seperti yang dikatakan oleh Yang Agung Dromtonba: Sadarkah engkau dengan tubuh manusiamu?
Menjalankan Praktik Bodhisatwa mengatakan:
Mengandalkan perahu tubuh manusia ini,
Bebaskan dirimu dari sungai penderitaan yang besar.
Karena perahu ini akan sukar lagi ditemukan,
Jangan tidur sekarang, wahai orang bodoh!


Kemudian masuk pada poin Kematian. Rinpoche mengatakan bahwa praktik yang murni adalah praktik yang tidak melekat pada kehidupan ini. Praktik yang murni juga merupakan penawar atas kemelekatan pada kehidupan ini. Dikarenakan tidak mengingat kematian, kita tidak tekun dalam praktik. Contoh ketidak tekunan kita adalah mulut kita membaca teks atau melafalkan mantra namun otak kita memikirkan hal yang berbeda, lalu melakukan puja namun pikiran langsung teralihkan ketika ada bunyi telepon. Rinpoche mengingatkan kita untuk berhati-hati jika kita terus seperti ini hingga menjelang kematian.
Yang seharusnya kita takuti adalah sebuah kematian yang penuh dosa. Hidup kita bagaikan pelita/ gelembung air di angin yang kencang. Tidak ada satu pun faktor kehidupan yang tidak dapat berubah menjadi faktor kematian. Kita seharusnya takut mati tanpa Dharma. Pada saat kematian tiba, tubuh, teman, harta, 100% akan menghianati kita. Dikarenakan tidak mengingat kematian, kita tidak mempraktikkan ajaran.
Bangkitkan motivasi yang baik ketika kita bangun di pagi hari dengan berpikir bahwa kita bisa bangun pagi ini dan tidak mati semalam adalah karena berkah Guru. Maka, hari ini kita akan menggunakan segala daya upaya untuk mempraktikkan ajaran.
Selanjutnya adalah penjelasan mengenai penderitaan-penderitaan di alam-alam rendah: merenungkan penderitaan makhluk-makhluk penghuni neraka, merenungkan penderitaan binatang, merenungkan penderitaan setan kelaparan.
Surat yang Bersahabat mengatakan:
Jika kamu takut hanya dengan melihat lukisan alam-alam neraka,
Dengan mendengarnya, mengingatnya,
Membaca tentangnya, dan dengan dipaparkan olehnya,
Apa lagi mesti dikata kalau seseorang mesti mengalami langsung kenyataan pahit itu?

Kelahiran kembali sebagai binatang mengandung beragam penderitaan
Dibunuh, diikat, dipukul, dan seterusnya.
Mereka yang telah membuang kebajikan kedamaian
Secara menakutkan saling memangsa satu sama lain.

Beberapa mati karena mutiara, bulu,
Tulang, daging atau kulit mereka.
Binatang tak berdaya lainnya dipaksa bekerja
Dengan ditendang, dipukul, dicambuk, ditusuk dengan kait besi, atau dilecut.

Surat kepada Murid karya Candragomin mengatakan:
Tersiksa oleh haus yang mengerikan, mereka melihat sebuah sungai jernih
Dari kejauhan dan berniat meminumnya. Ketika mereka tiba di sana,
Sungai berubah menjadi kumpulan air yang dipenuhi campuran cangkang kerang,
Tumpukan rambut, dan nanah yang membusuk, sebuah tangki septik berisi darah dan kotoran.

Kalau mereka mendaki sebuah bukit yang sejuk dengan semburan angin musim semi yang lembab
Dan sebuah hutan yang dipenuhi pohon cendana yang menghijau,
Bagi mereka akan berubah menjadi hutan api yang diselubungi lidah api yang menjilat-jilat
Dan berisi tumpukan gelondongan kayu yang berjatuhan dan terbakar

Ketika mereka pergi ke tepi laut yang diselimuti
Pecahan gelombang yang jernih dan berbusa-busa
Bagi mereka akan berubah menjadi tanah terlantar
Yang didera pasir panas, kabut kelam, dan angin yang menghanguskan.

Tinggal di tempat seperti itu, mereka mendambakan munculnya awan hujan,
Tapi yang muncul adalah awan-awan yang mencurahkan hujan anak panah besi,
Abu api berasap, dan bongkahan sekeras intan yang berkilau,
Dan, satu demi satu, sambaran petir emas dan jingga menghujam tubuh mereka seperti hujan.

Bagi mereka yang tersiksa oleh panas bahkan badai salju terasa panas;
Bagi mereka yang tersiksa oleh angin bahkan api terasa dingin.
Seluruh alam semesta dilihat secara terbalik oleh setan-setan kelaparan ini
Dikacaukan oleh buah karma buruk yang amat mengerikan.

Bahkan bisa seorang setan kelaparan tersiksa oleh mulut yang berukuran sebesar mata jarum
Dan sebuah perut beryojana-yojana ukurannya lalu meminum air di samudera luas
Airnya tidak bisa melewati bukaan di tenggorokan
Dan mulut mereka yang beracun menguapkan setiap tetes air yang masuk.


Tidak banyak yang dijelaskan pada poin ini. Rinpoche mengatakan bahwa penjelasan penderitaan makhluk-makhluk di alam rendah yang ada di Lamrim Chenmo sudah cukup jelas. Rinpoche menambahkan bahwa di Lamrim Chenmo, penderitaan binatang berada di urutan kedua, setelah alam neraka. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang halangan untuk praktik Dharma yang dimiliki binatang lebih besar daripada setan kelaparan.
Memasuki topik berlindung, Rinpoche menyatakan bahwa kita sesungguhnya belum memiliki kondisi internal berlindung berupa kebajikan. Yang menghalangi diri kita adalah bahwa kita belum meletakkan kepercayaan penuh pada Buddha. Dan, pada saat menjelang kematian kita harus berupayakan agar kita dapat mengingat Buddha.
Yang harus kita bangkitkan dalam batin kita adalah perasaan takut akan kematian tanpa kualitas jalan. Jika kita merujuk pada poin-poin kerugian-kerugian tidak mengingat kematian, hal ini seperti penjabaran biografi hidup kita. Pikiran saat kematian sangatlah penting!
Jey Rinpoche mengatakan: “Di antara semua angin duniawi, kita berulang kali terjebak pada keinginan untuk dipandang baik oleh orang lain”
Ada sebuah pepatah Tibet yang menyatakan: “Setan-setan bisa tertawa jika melihat pikiran kita”. Hal ini untuk menggambarkan betapa pikiran kita sangat liar dan tidak terkendali.
Jangan biarkan perasaan menyenangkan berubah menjadi kemelekatan. Jangan biarkan perasaan tidak menyenangkan berubah menjadi kebencian. Amati! Inilah praktik dharma.
Kita telah salah menilai perasaan bahagia sebagai kebahagiaan yang sebenarnya. Sesungguhnya itu bukanlah kebahagiaan, melainkan berkurangnya penderitaan. Karena, jika memang itu adalah kebahagiaan yang kekal, maka ia harusnya kekal.
Yang Agung Jey Tsongkhapa menyatakan: Begitu engkau telah mengetahui klesha-klesha akar dan sekunder, lalu ketika klesha apapun seperti kemelekatan, kebencian, atau sejenisnya, muncul dalam arus batinmu, engkau harus bisa mengenalinya dengan berpikir,”Ini dia; sekarang sudah muncul”-lalu bertempurlah dengan klesha tersebut.
Dan seorang Guru Kadampa mengatakan: “Jika aku masih mempunyai waktu 1-2 tahun, semoga aku mampu menyelesaikan Sang Jalan. Jika aku masih punya waktu 1-2 bulan saja, semoga aku mampu menjamin diriku tidak jatuh ke alam rendah”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *