Budaya Tionghoa vs Buddhisme: Kawan atau lawan?

  • November 14, 2010


Seminar “Meresapi ke-Buddha-an pada Budaya Tionghoa” 24 Oktober 2010, Wihara Nimmala/Boen San Bio Tangerang oleh Suhu Bhadra Ruci

Sebuah kesempatan yang langka, bahkan hal tersebut diakui oleh Suhu sendiri yang menyatakan, “setelah sekian lama, baru kali ini Saya memberikan ceramah di wihara.” Kelangkaan ini semakin dipertegas karena Vihara Nimmala/Boen San Bio, yang merupakan tempat diadakannya seminar, dikenal sebagai wihara-klenteng warisan budaya yang sudah berdiri sejak tahun1689. Tetapi kelangkaan saja tiada berarti jika tidak memberi manfaat kepada para peserta. Hal tersebut tidak luput dipertimbangkan oleh panitia seminar yang kemudian menyusun sebuah tema berlandaskan permasalahan nyata yang dekat dengan para umat vihara di Tangerang yang dikenal sebagai “Cina Benteng”, yaitu keterkaitan antara praktek kebudayaan tionghoa dengan nilai-nilai Buddhisme. Permasalahan ini diangkat karena seringkali ceramah-ceramah spiritual memojokkan atau bahkan melarang pelaksanaan praktek kebudayaan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Buddha.
Dalam kondisi tersebutlah, Suhu Bhadra Ruci akhirnya “turun gunung” untuk membenahi kesalahpahaman dan memberkahi para peserta seminar atas pemahaman yang benar antara kebudayaan dan ajaran Buddha. Suhu memaparkan, mengarahkan, membenarkan, menegaskan dan memberi instruksi kepada para peserta yang memberikan beragam tanggapan mulai dari yang mistik hingga yang logis, yang sangat terpuaskan dengan pemaparan Suhu hingga yang tidak bisa menerimanya dan yang tertawa terbahak-bahak karena perumpamaan Suhu yang jenaka tetapi mewakili dengan tepat kondisi apa adanya sesuai dengan karakteristik para pendengar.
Dengan demikian, pemaparan berlangsung sangat luas, mendalam tetapi tetap memenuhi kemampuan pendengar. Terlepas dari segala keterbatasan penulis, hanya sebagian kecil sebagai berikut yang bisa disajikan dari pemaparan Suhu pada seminar tersebut:
Buddhis PeDe????
“Musuh terbesar Buddhisme adalah cinta!!!”, demikian yang disabdakan Suhu pada sesi pertama seminar. Latar belakangnya adalah fenomena mudahnya umat Buddhis mengalah untuk mengikuti tradisi pemberkahan pernikahan daripada pasangan hidupnya tercinta (atau setidaknya yang katanya cinta). Kondisi terparah bahkan membawa mereka beralih dari Buddha dan berlindung sepenuhnya pada objek perlindungan lainnya, semata-mata dikarenakan tantangan untuk membuktikan seberapa besar/tulus cinta mereka. Oh, benar-benar menggemaskan sekali pola berpikir ini.
Suhu menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan kebanyakan umat Buddhis tidak punya kepercayaan diri kepada Buddha sendiri dus membuat ke-umat-an mereka menjadi kosong dan mudah untuk dialihkan. Empat hal yang menurut Suhu seyogyanya mematri kepercayaan diri tanpa batas dalam diri umat Buddhis kepada Buddha adalah: Buddha telah bebas dari penderitaan, punya kemampuan untuk membebaskan kita dari hal tersebut, punya welas asih kepada semua makhluk dan terakhir (dan yang terutama ditekankan Suhu) Buddha menolong siapa pun baik yang menguntungkan atau merugikan-Nya. Rasa-rasanya, hanya kelupaan/kepikunanan/kehilangan kesadaran (akibat mabuk cinta, dsb) yang membuat orang lupa akan argumen inilah yang membuat umat Buddhis tidak yakin kepada Buddha sehingga tidak pede. Bagaimana mungkin tidak, jika kebanyakan para tuhan, menjanjikan api neraka dan berbagai portofolio penyiksaan kepada mereka yang berbeda menyebut nama tuhan, Buddha sebaliknya justru menjanjikan tekad-Nya untuk terus bekerja membebaskan semua (makhluk) hingga tiada lagi yang menderita (entah mereka buddhis, muslim, kristiani, hindu dan ateis). Begitu keras dan tertutupnya hati kita jikalau masih tidak pede terhadap Buddha dan ajarannya.
Keyakinan sebagai kunci, tetapi Buddha sudah hilang……
Pemahaman akan kualitas-kualitas Buddha sebagai objek perlindungan yang kemudian akan membangkitkan keyakinan kita kepada Buddha (dan lebih lanjut kepada Dharma dan Sangha). Hal ini ibarat kunci yang membuka pintu masuk sebagai umat Buddhis. Tapi, Suhu secara harfiah mengatakan bahwa Buddha sudah hilang dari hati banyak umat, ini bukan perumpamaan tapi senyata-nyatanya hilang. Sebuah paradoks memang, di satu sisi rupang Buddha dibuat di berbagai vihara/cetiya sebesar-besarnya dan seanggun mungkin, para umat menghaturkan pujian melalui kebaktian tapi bagi sebagian besar orang Buddha sudah mati (Parinibbana) dan sekarang mereka bergantung pada karma mereka sendiri (argumen salah seorang peserta seminar).
Buddha Sakyamuni memang benar adanya (menampilkan) mengalami kematian, tapi mengulas kembali tekad Buddha untuk membebaskan semua makhluk yang menderita seharusnya membuat kita berpikir mengenai makna kematian Buddha. Buddha telah menghancurkan segala bentuk kilesa, demikianlah Buddha tidak bisa (dan tidak akan) berbohong. Dengan demikian, jika sampai sekarang penderitaan masih saja terjadi, mungkinkah Buddha tidak terus bekerja pada masa sekarang ini? Lebih lanjut, jika semua tergantung karma kita sendiri lalu mengapa harus puja, mengapa harus jadi Buddhis, mengapa harus ke vihara? Sayang bukan main, Suhu memaparkan kenyataan yang menyakitkan, Buddha benar telah hilang.
Praktek Dharma itu apa sih?
Lebih lanjut, dengan mengasumsikan masing-masing dari kita berhasil menemukan kembali Buddha yang telah hilang, menerapkan apa yang diajarkan adalah wajib jikalau kita ingin mencapai kebahagiaan dan terbebas dari penderitaan. Toh, Buddha tidak menolong dengan membasuh kesalahan kita dengan air. Tapi sangat penting menjelaskan apa sebenarnya praktek Dharma itu agar kita bisa memisahkan mana yang ritual Dharma dengan praktek yang sejati.
Suhu menegaskan bahwa praktek yang sejati seharusnya membawa pada sebuah transformasi atau perubahan radikal menuju batin yang lebih baik sehingga kita mampu melihat segala sesuatu apa adanya. Cara kita melihat sesuatu tergantung pada pola pikir. Dengan demikian. praktek Dharma adalah menerapkan metode yang memutakhirkan cara berpikir kita dan dengan demikian sifatnya adalah internal (batin) bukan eksternal. Dampaknya, bisa saja kita 6 kali seminggu kebaktian di vihara, mempelajari teks-teks Dharma yang sulit, fang-shen setiap minggu, tapi tidak mempraktekkan Dharma. Karena semua tergantung pada motivasi yang menyertainya.
Cinta ohh cinta
Cinta diumpamakan oleh Suhu sebagai musuh bagi perkembangan Buddha Dharma, namun demikian itu hanya umpama. Seiring seminar menuju klimaks, Suhu pun mengangkat aspek positif dari cinta yang perlu diterapkan dalam hal belajar Dharma. Belajar diangkat karena untuk praktek kita harus mempelajari terlebih dahulu, dan sebaliknya apa yang kita pelajari seharusnya adalah hal yang ingin kita praktekkan.
Suhu membuat umpama bahwa belajar Dharma ibarat pacaran. Ketika jatuh kita dan setelahnya memutuskan untuk berpacaran, kita tidak melihat sedikitpun kesalahan pada pasangan kita dan sebaliknya melihat semua hal dari pacar kita adalah sempurna. Mungkin saja pacar kita memiliki kekurangan fisik atau batin, tetapi dalam pandangan kita itu semua tak nampak. Nah, belajar Dharma adalah belajar senantiasa melihat hal positif dari segala sesuatu dan mengabaikan hal yang buruk sedemikian sehingga benar-benar menerima apa adanya. Sebagaimana kita menerima pacar kita apa adanya, demikianlah hal tersebut selaras dengan makna praktek Dharma yaitu melihat kenyataan sebagaimana adanya.
Betapa dalam perumpamaan tersebut dan dapat membawa kita pada banyak kesimpulan berbeda. Suhu lebih lanjut memaparkan, mereka yang benar-benar mempraktekkan Dharma akan sangat terlihat dari bagaimana hubungan mereka dengan orang lain. Mereka yang mempraktekkan Dharma mampu mengelola hubungan harmonis dengan semua orang, karena menerima mereka apa adanya, tanpa tipu muslihat, tanpa mementingkan diri sendiri. Hal yang sebaliknya terjadi jika terus-menerus memaksakan pandangan kita ke orang lain, entah saat itu juga atau menunggu waktu akan meletuskan perselisihan yang menyakitkan diri sendiri dan orang lain.
His Holiness Dalai Lama ke-VI, Tsangyang Gyatso membuat suatu syair yang relevan dengan penjelasan di atas:

If I could meditate upon the Dharma Andai aku dapat memeditasikan Dharma
As intensely as I muse on my belovedSekuat aku membayangkan kekasihku tercinta
I would certainly attain enlightenment Niscaya aku dapat mencapai pencerahan
Surely, in this one lifetime Dengan pasti, dalam waktu satu kehidupan ini

Bahkan His Holiness Dalai Lama VI menggunakan perumpamaan yang sebanding bahwa pemanfaatan aspek cinta dalam praktek spiritual niscaya membuat kita tercerahkan dalam waktu bahkan hanya dalam satu masa kehidupan. Dengan demikian, belajarlah sekuat anda berpacaran.[TK]

—-bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *