Budaya Tionghoa vs Buddhisme: Kawan atau lawan? (Bagian 2)

  • November 19, 2010


Budaya bertentangan dengan Buddhisme, ”yang ngomong kurang belajar tampaknya”
Sebuah pertanyaan yang sangat sesuai dengan tema meluncur dari mulut seorang pemuda yang sangat heran sekaligus kagum karena baru sekarang ini (atau sangat jarang), seorang rohaniwan Buddhis tidak memberi ceramah yang mengesampingkan budaya sebagai suatu pertentangan dengan Buddha Dharma. Tetapi Suhu sendiri jauh lebih heran dengan kondisi yang serta merta mengekang budaya tionghoa karena bertentangan dengan ajaran. Pernyataan Suhu sangat jelas dan tegas bahwa yang berkata/menjelaskan demikian pastilah kurang belajar!
Argumentasinya, misal dalam budaya tionghoa untuk pemakaman atau penghormatan leluhur yang sejatinya adalah mengingat jasa mereka kepada kita, dan membalas kebaikan mereka dengan menunjukkan rasa bakti melalui rangkaian upacara. Hal tersebut adalah kualitas bajik yang justru harus kita pupuk. Tapi memang, jangan sampai upacara tersebut merugikan yang lain misal mempersembahkan binatang atau membuat upacara yang sangat besar hingga menguasai jalan raya dan membuat macet, atau bahkan membakar terlalu banyak persembahan kertas hingga asap mirip dengan kebakaran, singkat kata Suhu jangan membuat suatu yang lebai. Dan yang paling penting, bagaimana motivasi kita menjalankan semua praktek kebudayaan tersebut. Atas dasar bakti atau hanya karena semangat kompetisi dan eksibisi?
Budaya dan ajaran Buddha tidak saling bertentangan. Keduanya saling mengisi satu sama lain selama motivasi kerap diwaspadai, dijaga dan diarahkan untuk senantiasa menghasilkan kebajikan dan manfaat bagi semua.
Karma kita sendiri dan nenek menggugat Avalokiteshvara
Poin-poin terakhir ini seraya menjelang berakhirnya seminar. Berangkat dari pertanyaan, apakah boleh memohon pertolongan Buddha yang berdiam di wihara atau klenteng, tanggapan peserta adalah boleh dan tidak. Masing-masing akan dijelaskan:
Tidak boleh, karena kita bergantung pada karma kita sendiri
Segelintir ceramah Dharma melarang kita memohon di hadapan altar Buddha untuk mendapatkan apa yang diinginkan semuanya berlandaskan pemikiran ”karma kita sendiri”. Hal ini sangat salah, karena jikalau permohonan tersebut berlandaskan keyakinan akan kualitas Buddha untuk menolong kita bahkan untuk masalah duniawi sekalipun tetap saja itu adalah sebuah kebajikan (keyakinan pada Tri Ratna). Justru dengan memohon bantuan kepada Tri Ratna atas dasar keyakinan, kita dapat mengumpulkan kebajikan dan melalui akumulasi kebajikan tersebutlah hal-hal yang baik akan dapat kita peroleh. Demikianlah ”karma kita sendiri” dipahami bukannya dengan melarang kita merendahkan hati untuk memohon di hadapan perwakilan Buddha.
Boleh,……. tetapi bagaimana cara Buddha menolong?
Suhu bertitah, ”Buddha menolong kita dengan cara yang misterius!”. Alkisah seorang nenek yang yakin kepada Bodhisattva Avalokiteshvara dikepung oleh banjir besar dan memohon pertolongan dari beliau. Sembari menunggu Avalokiteshvara, nenek itu didatangi tetangganya yang menawarkan tempat di rakit miliknya, tapi nenek itu menolak. Kemudian anggota SAR dengan perahu motor, mengajak nenek itu turut serta tapi lagi-lagi ditolak. Terakhir sebuah helikopter datang dan berkeras mengajak nenek itu ikut karena banjir semakin besar, tapi nenek itu menolak karena yakin Avalokiteshvara akan datang menolongnya. Akhirnya nenek itu tewas diterjang banjir besar. Di hadapan Raja Yama (penguasa alam kematian), nenek itu menggugat Bodhisattva Avalokiteshvara yang dianggap berbohong karena senantiasa berjanji menolong makhluk yang kesusahan tapi tidak datang ketika nenek tersebut memohon bantuan. Avalokiteshvara pun menjelaskan bahwa tiga kali beliau berusaha menolong tapi sang nenek menolak, tiga kali!
Apa yang dialami nenek tersebut adalah terjebak dalam tahayul, hal mana yang akan membuat Buddha dan Bodhisattva tidak dapat menolong kita (karena kita yang menutup diri). Penting sekali untuk menyadari bahwa Buddha tidak pernah ingkar untuk menolong kita kapanpun dimanapun dan siapapun, tapi kita perlu memiliki keyakinan terhadap Buddha serta hukum karma dan akibatnya. Tanpa hal tersebut kita justru tenggelam dalam kebodohan (tahayul) yang justru membuat kita tidak dapat ditolong oleh siapapun. Buddha ibarat bulan, jika banyak ember air berada di bawahnya dan air tersebut tenang, bulan akan nampak di semua ember tersebut. Tetapi pada air yang terus bergejolak, bulan tidak akan nampak. Siapkah kita menerima pertolongan dari Buddha?
Kendaraan boleh-boleh saja berbeda, tapi……..
Dua paham daripada Hinayana dan Mahayana jelas berbeda, yang satu menganggap Buddha sudah mati, yang satu menganggap Buddha terus bekerja dengan banyak cara selama penderitaan berlangsung. Dua paham ini terwujud dalam contoh di atas mengenai ”karma kita sendiri” dan pertolongan misterius Buddha. Yang mana yang benar? Menurut Suhu, keduanya tidaklah salah. Yang salah adalah jika kemudian kita kehilangan keyakinan kita akan Buddha (Buddha hilang dalam batin kita) atau terjebak dalam tahayul sehingga membuat kita bermental peminta-minta. Semoga ketidak-salingpahaman bisa teratasi oleh karenanya.

Sebuah penutup, sembari menunggu berakhirnya musim penghujan yang membuat kita rentan untuk tergelincir (lahir dan batin) dalam perjalanan kita melatih batin, sebuah pegangan adalah niscaya keharusan. Dan dari sekian banyak mereka yang menawarkan sebuah pegangan, berpegang pada guru spiritual adalah yang terbaik. Maka berpeganglah dengan keyakinan dan rasa hormat untuk kemudian mewujudkannya secara nyata melalui tubuh, ucapan dan batin. Seiring sukacita terhadap semua usaha panitia seminar Vihara Boen Tek Bio yang dengan gigih mengadakan acara tersebut, semoga dengan kebajikan yang terkumpul mendatangkan hari yang cerah di tanah Wasior, Mentawai dan Merapi yang sedang dirundung oleh bencana, semoga Dharma berkembang luas. [TK]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *