Webcast Biezenmortel Sesi 2: Apa sih Ruginya kalau Kita Tidak Sadar akan Mati?

  • March 9, 2011

Walaupun tadi kita sudah membangkitkan motivasi yang bajik, tapi tadi kita sudah sempat jeda, sehingga penting sekali bagi kita untuk sekali lagi memperbaiki dan membangkitkan motivasi yang bajik.

Rinpoche ingin kita semua mengingatkan diri sendiri bahwasanya kita sudah mendapatkan kelahiran kembali sebagai manusia yang bebas dan terberkahi, yang merupakan kualitas yang sangat penting dan bernilai tinggi, dalam hal apa yang bisa dicapai dengan bentuk kehidupan seperti ini.

Oleh sebab itu, kita harus bertekad untuk menggunakannya dengan sebaik-baiknya, khususnya pada sesi ini. Jaga agar perhatian kita jangan sampai teralihkan dengan kemalasan dan lain sebagainya. Sebaliknya, kita harus fokus pada tujuan kita yaitu mencapai Kebuddhaan demi kebaikan semua makhluk. Karena itulah kita semua ada di sini untuk mendengarkan dan mempraktikkan dharma.

(Perenungan 5 menit)

 

Anda harus mengetahui bahwa masing-masing topik meditasi memiliki dua bagian penjelasan, sebagaimana yang diterangkan di dalam Lamrim Chenmo, yakni:
1) Penjelasan lebih detil untuk menerangkan sebuah topik
2) Bagaimana memeditasikan topik tersebut

 

Dua jenis penjelasan ini berlaku untuk semua topik yang ada di dalam Lamrim. Misalnya topik Bertumpu kepada Guru Spiritual di dalam Lamrim Chenmo. Yang pertama adalah penjelasan panjang lebar untuk menerangkan topik ini, antara lain definisi siapa yang memenuhi kualifikasi seorang guru spiritual yang sesungguhnya, beserta definisi murid spiritual yang sesungguhnya pula, dan seterusnya.

Pada setengah bagian berikutnya, ada pemaparan ringkas yang menunjukkan bagaimana cara seseorang untuk benar-benar memeditasikan topik tersebut. Teks Instruksi-instruksi Guru yang Berharga, Jalan Cepat, dan Jalan Mudah, yang merupakan teks-teks yang cukup ringkas, tidak mencakup penjelasan mendetil jenis pertama. Ini tidak menjadi masalah selama praktisi yang hendak bermeditasi sudah cukup banyak belajar dan memahami penjelasan dari topik-topik tersebut. Penggunaan dua jenis penjelasan tersebut dibutuhkan oleh orang-orang seperti kita.

Kembali pada poin Tahapan Jalan yang dijalankan bersama-sama dengan makhluk motivasi awal, yang terbagi menjadi dua bagian besar:

1) Mengembangkan sikap yang merupakan ketertarikan terhadap kelahiran-kelahiran kembali kita di masa yang akan datang.
2) Bertumpu pada metode untuk merealisasikan kebahagiaan dalam kelahiran-kelahiran kembali yang akan datang.

 

Poin pertama sangat krusial, semata-mata karena kita belum membangkitkan ketertarikan terhadap kehidupan yang akan datang. Segala praktik yang kita lakukan sekarang ditujukan semata-mata untuk kepentingan kehidupan saat ini. Artinya, semua pikiran dan perbuatan kita ditujukan semata-mata untuk menghindari reputasi buruk, mengumpulkan kekayaan, menghindari sakit, dan seterusnya.

Tentu saja kita harus tetap hidup dan mencari penghidupan (mata pencarian, penghasilan, dsb). Tapi jangan sampai menjadikan ini sebagai satu-satunya tujuan kita, karena ini tidak benar. Kalau kita hanya fokus pada kehidupan saat ini dan ini saja, maka pada akhirnya kita akan menderita.

Apabila tujuan utama kita hanya menyangkut kehidupan saat ini saja, dan segala yang kita lakukan semata-mata demi tujuan tersebut, ini berarti kita tidak memikirkan masa depan. Masalahnya, kita harus mati dan kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Ketika mati, kita harus melepaskan semuanya, segala yang sudah kita kumpulkan pada saat kita masih hidup. Kita akan mati dengan tangan kosong, tanpa persiapan sama sekali, karena selama ini memang tidak pernah memikirkan kehidupan yang akan datang sama sekali.

Dengan demikian, Anda harus lanjut hidup dan mencari penghidupan dan seterusnya, tapi juga harus memikirkan kehidupan yang akan datang dan melakukan persiapan untuk itu. Inilah yang dimaksudkan pada poin pertama Tahapan Jalan motivasi awal, yakni “Mengembangkan sikap yang merupakan ketertarikan terhadap kelahiran-kelahiran kembali kita di masa yang akan datang.”

Pesan yang hendak disampaikan kepada kita adalah “Pikirkan kehidupan yang akan datang dan lakukan sesuatu untuk menghadapi kelahiran yang akan datang tersebut.” Ini menuntun kita pada poin kedua, yaitu “Bertumpu pada metode untuk merealisasikan kebahagiaan dalam kelahiran-kelahiran kembali yang akan datang.”

Kita harus memastikan bahwa kita sudah melakukan persiapan menghadapi kehidupan yang akan datang. Jadi tidak melulu hanya kehidupan saat ini saja.

Presentasi topik ini dipaparkan dengan cara yang sangat terampil, termasuk dari aspek psikologis. Pertama-tama diajarkan bahwa tidak cukup kalau seseorang hanya menjalani kehidupan saat ini saja, karenanya ia juga harus memikirkan kehidupan yang akan datang. Dari sini, kita bisa melihat bahwa pemikirannya sudah meningkat dan meluas. Ketertarikan terhadap kehidupan yang akan datang ini didukung oleh 2 alasan, yakni: 1) Kehidupan saat ini tidak akan berlangsung lama, yang menuntun seseorang untuk merenungkan kematian. Langkah logis berikutnya adalah 2) Merenungkan bagaimana bentuk kehidupan kita yang akan datang: kebahagiaan dan penderitaan dari kedua alam keberadaan.

Sedangkan untuk poin pertama, yaitu kita perlu merenungkan bahwa kehidupan saat ini tidak akan berlangsung selama-lamanya. Oleh sebab itu, kita perlu merenungkan kematian…..

(sampai sini ada bagian yang putus)

….inilah topik utama retret kita kali ini, yaitu merenungkan kerugian-kerugian bila gagal mengingat kematian, artinya merenungkan di mana letak kesalahannya kalau seseorang tidak ingat kematian. Di sisi lain, kita juga merenungkan manfaat-manfaat yang bisa diperoleh dari perenungkan kematian, artinya perenungan ini akan membangkitkan energi seperti apa.

Yang pertama, kerugian-kerugian bila gagal mengingat kematian. Di dalam garis-garis besar, ada 6 kerugian utama bila kita gagal mengingat kematian, yakni:

1. Kerugian karena kita tidak mengingat dharma.
2. Bahkan meskipun kita mengingat dharma, kerugian karena tidak mempraktikkannya.
3. Bahkan biarpun kita mempraktikkannya, kerugian karena tidak melakukannya dengan murni.
4. Kerugian karena kurangnya ketekunan dalam praktik kita.
5. Kerugian karena menyebabkan diri kita merosot.
6. Kerugian karena pada saat menjelang kematian kita harus mati dengan penyesalan-penyesalan.

 

Akan sangat baik sekali kalau kita memiliki cukup banyak waktu untuk menjelaskan dan merenungkan masing-masing dari kerugian di atas, tapi kalau waktunya tidak cukup, maka kita akan melakukannya dengan cepat.

Kerugian kalau kita tidak merenungkan kematian yang pertama adalah kita tidak akan mengingat dharma. Ini sangat jelas sekali. Jika kita tidak perlu mati, maka kita tidak perlu dharma, tidak perlu ajaran, dan tidak perlu praktik. Tapi karena kita harus mati dan mengambil bentuk kehidupan lain, maka kita butuh dharma, butuh ajaran, dan butuh praktik spiritual.

Kerugian kedua: Bahkan meskipun mengingat dharma, kerugian karena tidak mempraktikkannya. Poin ini kurang lebih menggambarkan situasi kita. Kita tahu bahwasanya kita akan mati satu hari nanti, tapi kita tidak benar-benar memikirkannya. Apa yang kita pikirkan adalah: “Hari ini saya tidak akan mati,” dan pikiran ini kita pegang terus sampai tiba hari kematian kita. Karenanya, kita tidak akan benar-benar melakukan praktik apapun. Kita cenderung berpikir, “Ah, ga perlu sekarang,” karena kita tidak merasakan keterdesakan (urgency) untuk mempraktikkan dharma, akibatnya kita tidak akan pernah mencapai hasil apapun.

Itulah kenyataan kondisi kita sekarang. Kita senantiasa menunda-nunda dan hanya berpikir untuk melakukan praktik hingga akhirnya tidak mempraktikkan apapun. Kita tidak punya apa yang disebut ‘perenungan akan kematian’ yang sesungguhnya. Kita berpikir, “aya akan melakukan ini dulu..” apakah itu bisnis, memperbaiki rumah, membeli rumah, dan seterusnya. Lalu, kita berpikir, “Setelah selesai urusan yang satu ini, barulah saya akan benar-benar duduk dan melakukan praktik saya.” Tapi, kita tahu pasti, selalu saja ada yang muncul dan harus didahulukan. Ini semua akibat dari kurangnya perenungan dan kesadaran akan kematian, hingga kita tidak akan pernah benar-benar melakukan praktik apapun.

Sebenarnya kita mau melakukan praktik tapi masalahnya kita memprioritaskan urusan-urusan lain, yaitu segala macam urusan yang berkaitan dengan kehidupan saat ini. Kita menomor-dua-kan praktik spiritual dan di sinilah letak permasalahan sesungguhnya. Karena bisa jadi sebelum kita sempat melakukan praktik apapun, kita sudah keburu meninggal, karena kita tidak tahu kapan kita akan meninggal. Kematian tidak akan menunggu kita. Kematian tidak akan berpikir, “Oh, Si Anu belum menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukannya. Baiklah, aku akan menunggunya.” Sudah barang tentu kematian tidak akan berpikir demikian karena ia bisa datang sewaktu-waktu tanpa diketahui.

Apakah hari di mana kita akan benar-benar praktik atau hari di mana kita benar-benar mati yang datang duluan, kita tidak pernah tahu, dan yang kita lakukan hari demi hari adalah memprioritaskan segala urusan yang tidak ada hubungannya dengan praktik spiritual. Ini berarti, sampai dengan hari ketika kita berbaring di atas ranjang kematian kita, kita tidak akan pernah punya kesempatan untuk mempraktikkan dharma.

Kita berpegang pada harapan-harapan dan rencana-rencana yang tidak akan pernah direalisasikan sampai dengan saat kita berbaring di ranjang kematian kita. Ini adalah sesuatu yang acap terjadi dan bisa kita amati. Rinpoche sendiri menyaksikan hal ini, yaitu betapa sering kita melihat orang-orang yang sudah sekarat dan berpikir, “Seandainya kali ini saya sembuh, maka saya akan bertekad melakukan ini.” Ini adalah kondisi yang sering terjadi.

Jadi, bagaimana seharusnya kita melangkah ke depan? Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Je Rinpoche, ketika bangun di pagi hari, kita seharusnya bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya akan mati hari ini atau tidak?” Kesimpulan terbaik yang seharusnya kita tarik adalah kemungkinan sangat besar kita akan mati hari ini. Jadi, atas dasar kemungkinan yang sangat besar tersebut, kita akan melakukan hal-hal yang sesuai dengan kesimpulan kita. Kita akan berperilaku sedemikian rupa dan melakukan hal-hal yang bermakna serta tidak terjebak dalam segala bentuk urusan pada kehidupan saat ini saja.

Je Rinpoche mengatakan bahwa itu adalah pendekatan orang yang bijak dalam menghadapi situasi. Di dalam Lamrim-nya Gomchen Ngawang Wangpo, yang didasarkan pada teks Je Rinpoche, juga dinyatakan hal yang sama, tapi disampaikan dengan lebih ringkas. Intinya bahwa kita tidak tahu apakah kita akan mati hari ini atau tidak, jadi pendekatan yang lebih bijak adalah condong pada kemungkinan besar kita akan mati dan sampai pada kesimpulan, “Ya, saya kemungkinan besar akan mati hari ini.”

Pendekatan sebaliknya adalah, kita berpikir kita tidak akan mati hari ini. Kalau demikian kesimpulannya, maka semua aktivitas kita hanya diprioritaskan pada kehidupan saat ini saja. Seandainya kita benar-benar mati pada malam harinya, maka kita akan mati dengan penuh penyesalan, karena kita berpikir kita sudah menyia-nyiakan hidup kita. jadi, yang paling baik adalah, kita harus siap mati kapan saja. Ibarat seorang yang bepergian selalu siap sedia dengan kopernya, maka kita juga harus siap sedia untuk mati kapan saja. Kalau bisa bersikap demikian, maka kita tidak akan mati dengan penyesalan.

Jadi, kalau kita lihat tiga kerugian pertama tersebut, kita bisa mengamati bahwa kerugian pertama seseorang tidak akan mengingat dharma sama sekali. Berikutnya, walaupun ingat, dia tidak akan mempraktikkannya. Selanjutnya, kalaupun dipraktikkan, praktiknya tidak murni. Kalau kita membaca kerugian tidak mengingat kematian, maka ibarat kita sedang membaca riwayat hidup kita sendiri.

Khusus untuk kerugian ketiga, kita harus ekstra hati-hati. Karena sangat mungkin terjadi dan sering terjadi: kita berpikir kita melakukan apa yang kelihatannya seperti sebuah praktik spiritual, tapi ternyata kita melakukannya dengan alasan yang keliru, misalnya untuk memberikan kesan yang baik kepada orang lain. Atau seseorang yang melafalkan mantra dengan tujuan mendapatkan kekuatan gaib tertentu dalam kehidupan saat ini. Ada juga yang melakukan praktik untuk menghindari penyakit dan mendapatkan kemampuan untuk menyembuhkan orang lain dalam kehidupan saat ini. Jadi, itu semua kelihatannya seperti praktik spiritual, tapi sebenarnya bukan, karena dilakukan semata-mata demi kehidupan saat ini saja.

Di dalam “Pembebasan di Tangan Kita” ada sebuah bagian yang menceritakan situasi ketika Guru Atisha ditanya apa yang akan dicapai oleh seseorang yang hanya melakukan sesuatu dengan tujuan kehidupan saat ini saja. Jadi, ada yang mengajukan pertanyaan, “Apa hasil yang diperoleh seseorang yang hanya memikirkan kehidupan saat ini saja?” (hal. 160)

Beliau menjawab, “Ia akan memperoleh hasilnya saat itu.” Ini berarti kalau seseorang melakukan bisnis, maka ia akan mendapatkan hasil sesuai dengan bisnis yang digelutinya itu. Kalau seseorang bertujuan mendapatkan uang, maka ia akan mendapatkan uang yang dicarinya itu. Kalau seseorang berkeinginan mendapatkan kesehatan, maka ia akan memperoleh kesehatan yang diidamkannya. Jadi, seseorang akan mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang dikerjakannya.

Ketika lanjut ditanya, “Apa yang diperoleh pada kehidupan selanjutnya?” Artinya, apa dampak yang akan dialami seseorang di masa yang akan datang. Guru Atisha menjawab, “Ia akan terlahir di neraka, sebagai hantu kelaparan, atau sebagai binatang.” Seseorang yang melakukan sesuatu yang bertujuan pada kehidupan saat ini saja akan berakibat terlahir di alam rendah.

Pembebasan di Tangan Kita ini aslinya merupakan ajaran yang disampaikan oleh Kyabje Dechen Nyingpo, yaitu Pabongka Dorje Chang, yang dituliskan kembali oleh Kyabje Trijang Dorje Chang dan kemudian diterjemahkan. Jadi ada kata-kata yang merupakan kata-kata langsung Pabongka Dorje Chang, tapi ada juga kata-kata yang dituliskan oleh Kyabe Trijang Dorje Chang. Jadi kata-kata yang tertulis di dalam teks Lamrim ini merupakan kata-kata yang berasal dari kedua guru tersebut.

Sebagai ringkasan, Guru Atisha menyimpulkan bahwa hasil dari tindakan memikirkan kehidupan saat ini saja adalah kita akan mencapai tujuan kecil pada kehidupan ini dan di kehidupan yang akan datang kita akan terlahir di alam rendah. Ini merupakan poin yang krusial.

Tentu saja kita harus bekerja dan mencari penghasilan. Tapi sering kali kebanyakan orang tidak tahu mengapa mereka harus bekerja dan mengapa mereka harus mencari penghasilan agar bisa tetap hidup. Sebagai buddhis, Anda harus mengajukan pertanyaan ini. Mengapa Anda bekerja? Apakah Anda bekerja semata-mata demi kehidupan saat ini saja? Ataukah demi kehidupan yang akan datang? Jangan bekerja membabi-buta tanpa pernah sekalipun menanyakan diri Anda sendiri, karena pertanyaan tersebut penting untuk diajukan.

Apabila seseorang bekerja dan mencari penghasilan semata-mata demi kehidupan saat ini dan saat ini saja, maka aktivitas ini mengandung resiko yang besar. Untuk menghindari resiko yang berbahaya tersebut, apa yang harus kita lakukan? Kita harus menetapkan motivasi yang cakupannya melampaui kehidupan saat ini saja. Dimulai di pagi hari ketika kita bangun, janganlah melafalkan kata-kata tanpa disertai dengan motivasi yang benar. Sebaliknya, ketika kita melafalkan doa atau perenungan, bangkitkanlah motivasi yang sesuai dan lakukanlah dengan sepenuh hati. Misalnya ketika kita membangkitkan motivasi untuk mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk dengan bait,

“Pada Buddha, Dharma, dan Sangha yang mulia,
Aku berlindung hingga aku mencapai pencerahan.
Dengan praktik berdana dan kebajikan lain yang kulakukan,
Semoga aku merealisasi Kebuddhaan demi kebaikan para makhluk.”
(Kidung Manggala Bhakti, Penerbit Kadam Choeling, hal. 9)

 

Kalau kita sanggup membangkitkan motivasi yang murni dan tulus serta sepenuh hati dari lubuk hati yang terdalam sesuai dengan bait di atas, dan kalau kita memulai hari dengan motivasi seperti ini dan mempertahankannya sepanjang hari, maka apapun yang kita lakukan akan menjadi sebab untuk mencapai pencerahan sempurna. Ini adalah poin yang mahapenting!

Selama kita masih mempertahankan motivasi tersebut, maka ia akan mentransformasikan apapun yang kita lakukan menjadi sebuah praktik pada jalan. Kita harus mengingat motivasi tersebut berulang-ulang dan membangkitkannya terus-menerus. Yang paling ideal adalah membangkitkan motivasi bajik seperti ini sebelum melakukan kegiatan apapun juga, misalnya mempersembahkan makanan. Sebagai buddhis, kita mempersembahkan makanan sebelum menyantapnya. Pada saat mempersembahkan dan menyantapnya, kita bisa sekalian merenungkan, mengapa kita harus makan. Kita harus berupaya memastikan bahwa kegiatan makan kita dilandasi dengan motivasi yang bajik.

Idealnya kita harus membangkitkan motivasi bajik yang baru sebelum melakukan aktivitas apapun. Tapi kalau belum bisa, kita harus membangkitkannya minimal tiga kali dalam sehari. Motivasi ini harus dijaga dan dipertahankan agar jangan sampai mengendur atau merosot. Dengan demikian, barulah keseluruhan hari yang kita jalani sejalan dengan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan.

Segala bentuk aktivitas yang biasanya kita lakukan, apakah itu bekerja, mencari penghasilan, berbisnis, dan sebagainya, mengandung sifat dasar perbuatan yang netral, tidak bajik dan tidak buruk. Perbuatan netral ini bisa berubah menjadi sebab-sebab untuk terlahir di alam rendah, alam tinggi, bahkan mencapai pembebasan. Praktisi tingkat tinggi bisa mentransformasikan segala perbuatannya menjadi sebab mencapai tujuan tertinggi. Bagi kita yang masih melakukan aktivitas biasa, seperti bekerja dan sebagainya, yang tergolong netral; kita harus bisa mentransformasikannya menjadi aktivitas yang bajik.

Contoh, ketika bekerja, kita bisa melakukan pekerjaan dengan motivasi mengakhiri penderitaan semua makhluk dan menuntun mereka pada kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan ini kita harus menjadi Buddha. Yang tak kalah pentingnya, kita harus menjaga aktivitas kita tidak terpengaruh oleh delapan angin duniawi agar tetap bajik. Jangan lupa untuk melepaskan kehidupan saat ini. Melepaskan kehidupan saat ini bukan berarti menyerahkan segala sesuatu dan menjadi pengemis. Bahkan pengemis saja masih melekat pada kehidupan saat ini, itu sebabnya mereka mengemis. Jadi, penting sekali untuk menghindari delapan angin duniawi dan tidak membiarkannya mencemari aktivitas kita.

Tingkat pelepasan delapan angin duniawi setiap orang berbeda. Ada yang sebagian, ada yang sepenuhnya, ada yang belum sama sekali. Jenis perhatian bisa terbagi menjadi perhatian yang putih, hitam, dan campuran keduanya. Esensi dari pelepasan delapan angin duniawi adalah meninggalkannya atau menolaknya dalam batin kita.

Delapan angin duniawi yang terdiri dari:
“Untung dan rugi, kenikmatan dan kesakitan,
Ketenaran dan reputasi buruk, pujian dan celaan”
(Pembebasan di Tangan Kita, Buku Dua, hal. 162)

 

Penting sekali untuk memeriksa batin kita terus-menerus dan bekerja mengatasinya.

Berikutnya, kerugian keempat: kurangnya ketekunan dalam praktik kita. Poin ini juga mewakili kisah hidup kita. Apapun praktik yang kita lakukan, semuanya tidak stabil. Kadang kita melakukan terlalu banyak, kadang terlalu sedikit. Praktik kita juga tidak teratur, jadi tidak terbangun disiplin keteraturan dalam diri kita. Walaupun kita berniat untuk praktik, tapi praktik kita kurang tekun. Misalnya dalam kasus kita hendak mempraktikkan berlindung atau Trisarana. Praktik Trisarana yang benar dan lengkap harus terdiri dari tiga fase, yaitu: 1) Pendahuluan, 2) Praktik sebenarnya, 3) Penutup.

Dalam situasi kita sekarang ini, yakni kaitannya dengan perenungan kematian, maka perenungan ini harus menginspirasi kita untuk mengambil perlindungan dengan sepenuh hati. Kita berpikir, “Aku tidak bisa tinggal lama. Aku pasti akan mati. Setelah mati, apa yang akan terjadi?” Perenungan ini akan memberikan dorongan yang tulus untuk mencari perlindungan yang timbul setelah kita menyadari kematian kita. Dengan benar-benar menyadari kematian dan ketidak-kekalan kita sendiri, barulah kita bisa membangkitkan batin yang berlindung.

Kalau kita tidak melakukannya dengan cara yang benar, artinya kita melakukan segala sesuatu semata-mata karena kebiasaan dan tradisi, misalnya ketika otomatis duduk dan melafalkan bait berlindung, maka sikap seperti ini tidak akan membangkitkan sikap berlindung yang benar. Alhasil, realisasi apapun yang kita capai masih sangat rapuh.

Kerugian kelima: menyebabkan diri kita merosot. Ini cukup jelas dan mudah dipahami. Seseorang yang tidak memikirkan kematian, artinya ia hanya memikirkan kehidupan saat ini saja. Akibatnya, seluruh perhatian dan konsentrasinya hanya terfokus dan terlibat dalam kehidupan saat ini saja. Saking terlibatnya, orang ini akan melakukan tindakan apapun, seperti mencuri, berbohong, berperilaku buruk, dan seterusnya, dan akibatnya ia harus menanggung konsekuensinya. Itulah yang dimaksud dengan kemerosotan atau perilaku buruk dalam kerugian kelima ini.

Kerugian keenam: kita akan mati dengan penyesalan. Jelas sekali kalau seseorang yang tidak menyadari kematiannya tidak akan mempraktikkan dharma. Seseorang yang tidak mempraktikkan dharma maka ketika mati ia akan menyadari bahwa ia akan mati dengan dipenuhi rasa menyesal.

Demikianlah penjelasan ringkas dari keenam poin kerugian tidak merenungkan kematian. Setelah memahaminya, berikutnya kita akan memeditasikannya. Sekarang kita jeda sejenak karena sesi sudah berlangsung 1 jam 15 menit.

(istirahat sejenak)

Sekarang kita sampai pada penjelasan yang lebih ringkas untuk tujuan meditasi. Sebuah praktik perenungan pada dasarnya terbagi dua bagian besar: 1) Apa yang harus dilakukan pada sesi meditasi dan 2) Apa yang harus dilakukan di antara sesi meditasi.

Meditasi sendiri terbagi menjadi tiga tahapan:
1) Pendahuluan
2) Meditasi yang sebenarnya
3) Penutup

 

(sampai di sini koneksi sempat terputus)

 

…kita membayangkan semua makhluk dalam wujud manusia, ayah dan ibu kita pada kehidupan saat ini berikut semua makhluk hadiri di sekeliling kita. Kemudian, kita mengajukan permohonan kepada guru spiritual dengan berpikir: Alasan mengapa diriku sendiri dan semua makhluk masih belum bisa bebas dari samsara, masih harus mengembara di alam rendah dan tinggi, sebagian besar dikarenakan kami belum bisa merealisasikan kematian dan ketidak-kekalan. Kita bayangkan guru spiritual memancarkan cahaya dan nektar pancawarna, utamanya putih, mengalir membasahi kita dan semua makhluk. Kita dan semua makhluk dipenuhi dengan batin Buddha yang memiliki efek purifikasi. Cahaya dan nektar ini melarutkan dan membersihkan semua kesalahan, ketidaksempurnaan, dan karma-karma buruk yang kita miliki. Ia membersihkan semua halangan dan rintangan berikut akibat-akibatnya, apakah itu penderitaan, penyakit, dan sebagainya, semuanya dibersihkan dengan sepenuhnya.

Pada fase kedua, kita membayangkan kita menerima berkah. Sekali lagi, cahaya dan nektar pancawarna muncul dari guru spiritual yang ada di atas kepala kita yang memberkahi tubuh dan batin kita. Cahaya dan nektar pancawarna kali ini utamanya berwarna kuning, yang mengandung semua kualitas bajik objek perlindungan, memasuki tubuh dan batin kita dan memberkahi kita sedemikian rupa sehingga kita tinggal selangkah lagi untuk merealisasikan kematian dan ketidak-kekalan.

Bagi murid yang lebih tua, barangkali visualisasi ini bisa dilaksanakan. Tapi bagi pendatang baru, barangkali agak sukar. Bagi pendatang baru, apa yang bisa Anda lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin yang Anda bisa. Walaupun mungkin tidak semua poin bisa Anda ingat, tapi minimal lakukan apa yang bisa Anda ingat. Alternatif lain adalah melakukan meditasi pernafasan, kalau Anda tahu bagaimana cara melakukannya. Kalau tidak bisa juga, maka Anda bisa berupaya duduk tenang dan rileks. Apapun kondisi dan kasusnya, yang penting Anda berusaha semaksimal mungkin. Kita ambil waktu 8 menit, 4 menit pertama untuk visualisasi purifikasi, 4 menit berikutnya untuk visualisasi menerima berkah.

(meditasi 8 menit)

Tadi pagi kita sudah melakukan praktik pendahuluan. Sekarang kita masuk pada meditasi yang sebenarnya, yakni pada topik kematian. Perenungan kematian terdiri dari tiga poin: 1) Kerugian-kerugian bila gagal mengingat kematian; 2) Manfaat-manfaat mengingat kematian; 3) Bagaimana cara mengingat kematian yang sesungguhnya.

Kerugian-kerugian tidak mengingat kematian ada 6: Kerugian tidak mengingat dharma, bahkan meskipun kita mengingat dharma, kerugian karena tidak mempraktikkannya, dan seterusnya. Kita akan memeditasikan keenam poin ini, dan meditasinya adalah meditasi analitik, bukan konsentrasi. 5 menit untuk memeditasikan kerugian yang pertama.

(meditasi 5 menit)

Berikutnya, sehubungan dengan kerugian kedua, yaitu bahkan meskipun kita mengingat dharma, kerugian karena tidak mempraktikkannya. Ini tentu saja menggambarkan kondisi kita sendiri. Kita berniat praktik dharma, mau praktik dharma, tapi kita selalu saja melakukan hal lain terlebih dahulu, artinya memprioritaskan hal-hal lain. Setiap hari kita bangun, kita berasumsi tidak akan mati hari itu. Asumsi ini dikarenakan kurangnya perenungan dan asumsi yang keliru ini kita bawa terus sampai hari ketika kita benar-benar meninggal. Akibatnya, kita tidak akan pernah praktik dharma.

Instruksi yang diberikan di sini: Ketika bangun di pagi hari, renungkanlah bahwa ada kemungkinan kita bisa mati hari ini. Dengan pemikiran yang lebih condong pada kemungkinan bisa mati, maka kita akan berperilaku dengan sedemikian rupa, yang selaras dengan dharma. Tindakan-tindakan kita yang tadinya netral bisa ditransformasikan menjadi praktik dharma. Itulah inti dari perenungan poin kerugian kedua ini, yakni kerugian meskipun kita mengingat dharma, tapi kita tidak akan mempraktikkannya.

(meditasi)

Kita harus berupaya agar segala tindak-tanduk kita tidak terpengaruh oleh kemelekatan terhadap kehidupan saat ini. Dengan kata lain, apapun yang kita lakukan, tidak boleh terpengaruh oleh delapan angin duniawi.

Sebagaimana sudah dijelaskan, penting sekali untuk merenungkan kerugian apabila tidak mengingat kematian yang ketiga, yaitu kerugian karena tidak mempraktikkan dharma dengan murni. Ada kisah Dromtonpa, murid utama Guru Atisha. Sebelum Atisha datang ke Tibet, Dromtonpa sudah banyak belajar di Tibet Tengah dan Kham (Tibet Timur). Di kemudian hari ia bertemu dengan Guru Atisha dan menjadi muridnya. Dromtonpa mengajukan pertanyaan kepada gurunya, “Di antara semua aktivitas yang pernah kulakukan, manakah yang termasuk praktik dharma yang murni dan mana yang bukan?” Guru Atisha menjawabnya dengan mengatakan bahwa hanya praktik melayani gurunya lah yang termasuk praktik yang murni dan sesungguhnya, selebihnya tidak termasuk praktik dharma yang sesungguhnya.

Dromtonpa melayani gurunya, Setsun, dengan baik dan luar biasa. Bukan hanya gurunya, tapi juga barang-barang milik gurunya, seperti sapi, dan sebagainya. Dromtonpa juga banyak belajar dharma dengan mendalam, tapi itu semua tidak termasuk praktik spiritual yang sejati. Jika demikian halnya dengan Dromtonpa, yang notabene seorang praktisi tingkat tinggi, bagaimana dengan kita? Apa saja praktik spiritual murni yang sudah kita lakukan?

Kita harus menanyakan pada diri sendiri, di antara semua aktivitas yang sudah kita lakukan, manakah yang termasuk praktik yang murni dan mana yang bukan? Apakah semua yang sudah kita lakukan hingga detik ini, baik itu belajar, merenung, bermeditasi, dan seterusnya, termasuk berdana dan seterusnya. Apakah sudah dilakukan dengan motivasi yang murni, yang tidak terpengaruh oleh delapan angin duniawi? Jika memang murni, kita harus bersukacita dan melanjutkan praktik kita. Tapi kalau sudah tercemar, kita harus bertekad untuk mengubahnya dan berperilaku dengan cara yang berbeda.

(meditasi)

Kerugian keempat: kurangnya ketekunan dalam praktik kita. Ini kesalahan yang umum terjadi. Kita tidak selalu ingat atau sadar akan kematian. Akibatnya praktik kita tidak teratur, tidak stabil. Kadang-kadang bisa membangkitkan penolakan samsara, tapi ini tidak bertahan lama. Seperti seseorang yang merinding dan bulu kuduknya berdiri, tapi nanti akan kembali ke kondisi biasa. Ketika masih merinding, seseorang akan praktik dengan tekun. Tapi kalau perasaannya sudah hilang, praktiknya juga ikut berhenti dan tidak melakukan apa-apa untuk sementara waktu.

Kita memerlukan semangat dan antusiasme untuk terus-menerus melakukan praktik dengan tekun. Kondisi kita sekarang, kita cenderung letih, mengantuk, kadang-kadang merasa muak, kurang semangat, kurang bersukacita terhadap kebajikan yang dilakukan, dan ini semua dikarenakan kegagalan mengingat kematian. Seseorang yang ingat kematian terus-menerus akan mudah mendapatkan energi dan semangat untuk melakukan praktik dengan riang gembira dan teratur.

(meditasi)

Kerugian kelima: menyebabkan diri kita merosot. Ini cukup mudah dipahami. Kerugian keenam: kalau seseorang tidak ingat kematian, maka ia akan tidak akan praktik. Kalaupun praktik, maka praktiknya tidak murni, tidak benar, dan tidak teratur. Dengan demikian, menjelang kematiannya, karena gagal melakukan yang terbaik, maka ia akan menyesal dan mati dalam kondisi menyesal tersebut. Sekarang kita ambil waktu untuk merenungkan kerugian kelima dan keenam ini.

(meditasi)

Jadi, malam ini ketika ada sesi meditasi bersama, Rinpoche harap semua peserta memeditasikan keenam kerugian tidak mengingat kematian. Nanti pada saat kembali ke kamar masing-masing, ambil sedikit waktu untuk merenungkan apa yang sudah dijelaskan, yakni mengulang kembali keenam kerugian tersebut.

Karena kita punya omzey (pemimpin puja) 4 orang, 2 pria dan 2 wanita, maka mereka akan bertugas secara bergiliran. Hari ini wanita, besok omzey pria. Besok pagi ketika kita melafalkan 6 Praktik Pendahuluan, kita akan membaca Dasar Semua Kebajikan dan memohon kepada guru spiritual agar diberikan berkah berupa kualitas pada tahapan jalan. Akan sangat baik sekali kalau pada sesi pelafalan ini kita memusatkan perhatian pada bait yang berhubungan dengan kematian, yaitu:

“Semoga aku selalu mengingat betapa cepatnya
Kematian mengakhiri sebuah kehidupan.
Begitu rapuh, bagaikan gelembung udara di atas permukaan air.
Dan bagaimana setelah kematian karma baik dan buruk akan mengikuti kita,
Bagaikan bayangan yang selalu mengikuti tubuh kita”
(Kidung Manggala Bhakti, Penerbit Kadam Choeling, hal. 21)

Sekarang kita akan melafalkan doa dedikasi Lamrim. Kita akan mendedikasikan kebajikan yang sudah kita kumpulkan dengan mendengarkan dan mempelajari ajaran. Kebajikan ini kita gabung dari semua kebajikan masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Kita dedikasikan semoga realisasi spiritual bisa tumbuh dalam batin kita dengan cepat.

*** End of Session 2***
(JL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *