Webcast Biezenmortel Sesi 4: Mati dengan Sukses VS Mati Sia-sia (Plus Memalukan)

  • March 15, 2011

Walaupun kita sudah membangkitkan motivasi yang bajik, penting sekali untuk memperbaikinya lagi. Mengutip Dromtonpa yang mengatakan “Engkau harus senantiasa mengingat kemuliaan terlahir sebagai manusia yang bebas dan beruntung,” yang ditujukan kepada salah satu muridnya. Memang benar kita harus senantiasa mengingat betapa jenis kelahiran yang sudah kita dapatkan ini sangat penting karena memberikan kesempatan bagi kita untuk mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan jalan Mahayana ajaran Buddha. Dengan demikian, kita memiliki kemampuan untuk mengantarkan semua makhluk pada kebaikan lebih tinggi hingga kebahagiaan sempurna.

Penting sekali bagi kita untuk selalu sadar akan kehidupan ini dan tidak menyia-nyiakannya walau sesaat dengan memahami betapa langka dan berharganya hidup ini. Secara khusus, mari kita bertekad untuk memanfaatkan sesi ini dengan menghindari kemalasan dan pengalihan perhatian. Sebaliknya, kita akan memusatkan perhatian untuk mendengarkan dan mempraktikkan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi.

Kita sudah sampai poin mana? Alasan pertama untuk menegaskan kepastian kematian, yaitu Raja Kematian pasti akan datang dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghalaunya. Untuk poin ini ada beberapa alasan pendukungnya. Pertama, tak ada tubuh jasmani apapun yang memungkinkan seseorang untuk lolos dari kematian. Kedua, tak ada tempat di mana pun di dunia yang bisa menjadi tempat persembunyian untuk lolos dari kematian. Poin kedua ini cukup mudah untuk dipahami tapi di sudut pemikiran kita barangkali berharap adanya suatu tempat di mana seseorang tidak harus mengalami kematian. Tapi kita tahu pasti tidak ada tempat seperti itu sehingga tidak sukar untuk dipahami. Penting sekali kita merenungkan alasan-alasan pendukung tersebut agar analisis kita jelas dan terang.

Sebenarnya apa sih yang sedang kita lakukan di sini? Mengembangkan ingatan/ kesadaran akan kematian. Apa sih maksudnya? Ingatan atau kesadaran seperti apa yang harus kita kembangkan? Apakah kita harus ingat kematian semata-mata supaya kita khawatir akan prospek kehilangan atau berpisah dengan harta benda dan orang-orang yang kita sayangi? Apakah kesadaran seperti itu yang kita butuhkan? Jawabannya: tidak. Bukan kesadaran seperti itu yang harus kita kembangkan dan butuhkan.

Kita mungkin berpikir bahwa kita harus menyadari kenyataan bahwa kita harus mati dikarenakan karma dan kilesa kita, sehingga kita harus mengembangkan niat untuk terbebas darinya. Sekali lagi, bukan kesadaran seperti ini yang kita butuhkan pada tahap ini karena saat ini belum waktunya. Keinginan untuk terbebas dari kematian di bawah pengaruh karma dan kilesa dan mencapai pembebasan total bukanlah realisasi yang kita butuhkan sekarang ini karena ini di luar kemampuan kita saat ini. Jadi, bukan kesadaran akan kematian seperti ini.

Jadi, kesadaran akan kematian yang seperti apa?

Jawab: Kesadaran akan kematian berupa perasaan sangat disayangkan atau sangat memalukan kalau seseorang sampai mati tanpa praktik dharma sama sekali. Dengan kata lain, sangat disayangkan sekali kalau seseorang tidak mencapai apa yang seharusnya bisa dicapai dengan mempraktikkan dharma. Banyak sekali yang bisa dicapai kalau seseorang mempraktikkan dharma, yakni: menghindari kejatuhan ke alam-alam rendah di kehidupan berikutnya, mendapatkan kelahiran yang baik, mendapatkan sebab-sebab untuk kelahiran kembali yang baik, mencapai kebaikan yang pasti, apakah itu pembebasan samsara maupun pencerahan sempurna.

Jadi, ingatan atau kesadaran akan kematian pada tahap ini adalah perasaan sangat malu atau menyayangkan apabila seseorang harus mati tanpa pernah melakukan praktik dharma.

Di dalam Lamrim Chenmo, pada poin kesadaran kematian seperti apa yang harus dikembangkan, ini dijelaskan. Teks Instruksi-instruksi Guru yang Berharga sangat singkat sehingga tidak dijelaskan kesadaran akan kematian seperti apa yang seharusnya dikembangkan. Kesadaran akan kematian ini penting untuk diketahui. Kita ambil waktu 5 menit untuk memeditasikan bahwa tidak ada tempat di mana pun di dunia ini di mana seseorang bisa lolos dari kematian.

(meditasi 5 menit)

 

Berikutnya, tidak ada metode atau cara apapun yang bisa diterapkan untuk lolos dari kematian. Pertama, seseorang yang berkaki cepat mungkin berpikir ia bisa berlari menjauhi kematian. Kedua, seseorang yang kaya mungkin berpikir ia bisa menyuap Raja Kematian. Ketiga, seseorang yang kuat barangkali berpikir bisa berperang melawan kematian. Seseorang mungkin berpikir bahwa salah satu dari ketiga cara di atas bisa berhasil menaklukkan kematian.

Mari kita lihat. Cara pertama yaitu berkaki cepat. Ini tentu saja bukan merujuk pada kaki cepat orang biasa, tapi merujuk pada sejenis kekuatan gaib di mana seseorang bisa bergerak sangat cepat. Ini bisa dicapai oleh para siddhi melalui kekuatan meditasi yang luar biasa. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain. Kemampuan ini bisa dimiliki oleh praktisi buddhis maupun nonbuddhis.

Di antara murid-murid Buddha, Yang Arya Mogallana terkenal akan kemampuan gaibnya yang superior. Beliau menggunakan kemampuan ini untuk menaklukkan orang-orang, misalnya penghuni neraka, dan sebagainya. Suatu kali, Yang Arya Mogallana pergi ke neraka dan bertemu dengan nonbuddhis yang menitipkan pesan padanya. Pesan ini ditujukan kepada murid-murid praktisi nonbuddhis ini agar mereka berhenti membangun stupa untuknya karena tindakan itu hanya memperparah penderitaannya di dalam neraka.

Ketika kembali, Yang Arya Mogallana menyampaikan pesan ini kepada murid-murid praktisi nonbuddhis sebagaimana yang dititipkan kepadanya. Murid-murid ini marah mendengar ucapan Yang Arya Mogallana dan memutuskan untuk menghajarnya. Yang Arya Mogallana berhasil kabur dari serbuan para murid tersebut dan pulang kembali ke biara. Setelah menjelaskan apa yang terjadi, ada yang bertanya kepada Yang Arya Mogallana: Mengapa tidak menggunakan kekuatan gaibnya untuk kabur? Yang Arya Mogallana menjawab bahwa ketika seseorang sudah mendapatkan karmanya, tak ada cara apapun untuk lolos dari buah karma tersebut. Hal ini juga berlaku untuk karma kematian. Ketika waktunya sudah tiba, maka kematian pasti akan datang menjemput dan tidak ada cara untuk lolos darinya.

Kita akan mengambil sedikit waktu untuk memeditasikan penjelasan yang baru saja diberikan, bahwasanya tidak ada cara untuk lolos dari kematian. Kita ambil waktu 5 menit untuk merenungkan bahwa biarpun seseorang memiliki kekuatan gaib seperti ‘berkaki cepat’, ia tidak akan bisa lolos dari kematian ketika waktunya sudah tiba.

Ketika mulai bermeditasi, renungkanlah bahwa kematian memang pasti dengan berpikir, “Saya pasti akan mati. Tak peduli bentuk tubuh jasmani apapun yang saya dapatkan, tak peduli ke mana pun saya pergi, tak peduli metode atau cara apapun yang saya tempuh, saya tidak mungkin lolos dari kematian.”

(meditasi)

 

Alasan pendukung ketiga, barangkali ada orang yang membayangkan kalau seseorang yang kuat bisa melawan kematian, misalnya dengan bertempur dengan Raja Kematian dan memenangkan pertarungan. Kita lihat contoh makhluk yang kuat seperti gajah atau singa, yang menjulang tinggi di antara semua binatang dalam hal kekuatan fisiknya. Mereka mampu mendominasi dan mengalahkan semua jenis binatang. Tapi, ketika kematian sudah datang, bahkan makhluk-makhluk ini pun surut. Cakar singa yang kuat akan masuk ke dalam dan mengundurkan diri. Mereka pun harus menyerah pada kematian, sama seperti kita semua. Anda harus menyadari bahwa kekuatan fisik pun bukanlah pilihan, yakni seseorang tidak bisa mengandalkan kekuatan fisik untuk melawan kematian.

Kita juga tidak bisa menggunakan kekayaan untuk menghindari kematian. Barangkali ada yang berpikir kalau ia mengumpulkan cukup banyak harta, maka ia bisa menyuap Raja Kematian sehingga tidak harus mati. Ini pun tidak mungkin terjadi. Kalau bisa, maka semua orang kaya di dunia tidak perlu mati. Tapi kita tahu persis, orang-orang kaya pun harus mati dan bukan hanya mati, ketika mati, semua hartanya ditinggalkan dan tak bisa dibawa. Jadi, apapun cara yang sanggup kita bayangkan, tetap saja kita harus mati. Dan memang tidak ada satu orang pun yang sanggup lolos dari kematian yang bisa kita jadikan contoh.

Mari kita memeditasikan poin yang baru saja dijelaskan. Pusatkan perhatian pada guru spiritual di atas kepala kita yang merupakan Buddha yang mencakup seluruh objek perlindungan. Kita memanjatkan permohonan dengan setulus hati untuk mendapatkan realisasi kematian dan ketidak-kekalan. Lakukan visualisasi cahaya dan nektar untuk purifikasi, berikut visualisasi mendapatkan berkah, yang mana cahaya dan nektar itu melebur ke dalam diri kita dan membawa kita mendekati realisasi.

Bagi yang kesulitan melakukan meditasi ini bisa merenungkan kembali motivasi, yaitu membangkitkan niat untuk bekerja demi semua makhluk. Dengan tujuan ini, berarti sekarang Anda harus memanfaatkan kesempatan ini, yakni kesempatan untuk memeditasi kematian dan ketidak-kekalan. Anda harus merenungkan betapa berharganya kesempatan ini dan menganggapnya sebagai…… (sampai di sini, koneksi putus)…..

(di sini ada bagian yang putus)

Di dalam Pembebasan di Tangan Kita, ada sebuah kisah yang diambil dari Sutra “Instruksi kepada Seorang Raja”. Rajanya adalah Raja Bimbisara. Di dalam sutra ini, Buddha memberikan metafora empat gunung besar yang benar-benar solid, tanpa ruang hampa atau lubang, yakni gunung yang benar-benar terdiri dari tanah yang padat. Ada empat gunung besar dan padat seperti ini yang mendekati kita dari empat penjuru mata angin, bergerak dengan cepat. Gunung-gunung ini menghancurkan segala sesuatu, bangunan, makhluk hidup, manusia, binatang, semuanya hancur digencet dan dilindas oleh gunung-gunung tersebut.

Perumpamaan pada zaman modern sekarang ini bisa menggunakan kereta api berkecepatan tinggi yang sangat besar. Kereta api ekspress ini akan melaju dan melindas segala sesuatu yang ada di jalurnya. Sama halnya, ada empat hal yang melaju menghancurkan kita, tanpa ada sesuatu pun yang bisa menghentikannya. keempatnya tidak bisa dihentikan oleh kekuatan fisik, kekayaan, kekuatan gaib, meditasi, dan sebagainya.

Buddha menjelaskan bahwa keempat gunung besar itu adalah usia tua, sakit, kematian, dan kemalangan. Keempat gunung besar ini sangat menyeramkan, begitu pula keempat kondisi yang mau tak mau harus kita jalani. Sama halnya gunung menghancurkan segalanya, usia tua menghancurkan kemudaan, penyakit menghancurkan kesehatan, kematian menghancurkan kehidupan. Tak ada apapun yang bisa menghentikan hal tersebut, karena itu semua tidak bisa dielakkan. Tak peduli seberapa kuat, kaya, dan berkemampuan gaibnya seseorang. Pengobatan juga tidak berguna. Mau tidak mau kita harus menghadapi itu semua dan kadang kita bahkan merasa tak berdaya sama sekali karena tidak ada apapun yang bisa membalikkan situasi tersebut.

Kutipan sutra tersebut sangat sesuai dengan kondisi kita, yaitu pada poin yang harus kita renungkan. Bahwasanya tidak ada cara atau metode apapun yang bisa digunakan untuk menolak Raja Kematian. Kita akan mengambil waktu 4 menit untuk memeditasikan analogi yang baru saja dijelaskan sehingga kita sampai pada kesimpulan bahwa terang sudah bahwa kematian itu pasti.

(meditasi)

 

Keempat kondisi yang menakutkan tersebut memang merupakan hal yang tak bisa dielak dan dihentikan. Usia tua, misalnya. Terlepas dari segala macam metode dan cara untuk menghentikan proses penuaan, tapi kita tahu persis bahwa tidak ada metode apapun yang bisa menghentikan proses ini. Jatuh sakit, misalnya, bukan merujuk pada sembarang penyakit yang bisa disembuhkan, tapi merujuk pada sakit parah yang sudah tidak bisa disembuhkan. Kemalangan merujuk pada kondisi-kondisi tertentu di mana seseorang menghabiskan atau menyia-nyiakan karma bajiknya.

Seseorang yang mengalami kemalangan setelah membuang-buang karma baiknya kadang-kadang sudah tidak bisa ditolong lagi. Kalaupun ditolong, bukannya membaik, bisa jadi malah memburuk. Ini yang dimaksud dengan kemalangan di sini. Berikutnya kematian. Kematian sudah pasti tidak bisa dihindari.

Jadi, kembali lagi kita lihat alasan pertama mengapa kematian itu pasti, yang didukung oleh sebab pertama: Suatu hal yang pasti bahwa Raja Kematian akan datang dan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat kita lakukan untuk mengelak darinya. Sebab kedua, masa kehidupan kita tidak dapat diperpanjang dan bertambah pendek tanpa henti.

(istirahat sejenak)

 

Kita lihat sebab kedua yang mendukung kepastian kematian: Masa kehidupan kita tidak dapat diperpanjang dan bertambah pendek tanpa henti.

Sekali lagi, poin ini tidak begitu sulit untuk dipahami. Contoh, misalnya ada seseorang yang memiliki jatah umur 90 tahun, maka jatah ini sudah pasti sejak dari awal, tidak bisa ditambah barang satu detik pun. Di sisi lain, umur ini berkurang terus-menerus. Mulai dari sejak momen konsepsi yang pertama di dalam kandungan ibu, sejak itu umur kita bertambah pendek tanpa henti. Jatah umur 90 tahun itu berkurang terus-menerus.

Sutra Lalita-vistara menyebutkan bahwa para wira (manusia), begitu terkonsepsi di dalam kandungan ibunya, sejak itu, tanpa jeda, setiap momen, berpacu menuju kota kematian.

Kita semua adalah fenomena komposit (fenomena yang terbentuk). Semua fenomena yang terbentuk memiliki sifat dasar yang sama, yaitu berubah dari momen ke momen. Sejak dimulainya momen kehidupan yang pertama, sejak itu pula kehidupan bertambah pendek terus-menerus.

Di dalam teks, ada banyak analogi berbeda yang digunakan untuk memahami poin ini dengan mudah. Misalnya ada analogi menenun. Seiring dengan proses penenunan berjalan, maka bahan untuk menenun sepotong kain pun semakin berkurang. Kalau Anda tidak terbiasa dengan analogi ini, mungkin ia tidak begitu berpengaruh bagi Anda. Perumpamaan lain adalah binatang yang digiring ke rumah jagal. Setiap langkah yang diambil oleh seekor hewan menuju rumah jagal, maka waktu hidupnya pun semakin berkurang.

Kita semua berada pada fase hidup yang berbeda-beda. Ada yang baru mau mulai, lainnya sudah mendekati akhir. Di antara itu, ada yang di tengah-tengah. Apapun fase hidup yang kita miliki sekarang, kita semua sedang menghabiskan umur kita. Waktu berjalan seiring berlalunya bulan demi bulan. Bulan berjalan seiring berlalunya hari demi hari. Hari berjalan seiring berlalunya jam demi jam. Hingga tiba waktunya kematian yang tidak bisa dielakkan.

Mungkin ada yang membayangkan kalau kita sedang beristirahat atau tidur, maka seolah-olah waktu juga berhenti atau jeda. Tapi kenyataannya, waktu berjalan terus, tanpa henti dan tanpa jeda sama sekali.

Ini semua tidak sulit untuk dipahami karena yang dijelaskan sangat mudah untuk diamati. Untuk memahami poin ini tidak dibutuhkan banyak belajar karena mudah dipahami. Walau demikian, untuk benar-benar memahaminya memang agak sulit, seandainya seseorang tidak memiliki fokus perhatian yang kuat. Batin yang mudah teralihkan dan mengembara ke mana-mana akan mencegah timbulnya realisasi dan penembusan langsung. Oleh sebab itu, kita harus membiasakan diri terus-menerus pada satu topik hingga mendapatkan realisasi yang berupa penembusan langsung.

Kita perlu merenungkan betapa kematian adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa dielakkan. Juga kenyataan bahwa sejak konsepsi pertama di dalam kandungan ibu, kita berpacu menuju kematian tanpa henti. Sehingga, waktu yang tersisa bagi kita di kehidupan ini sebenarnya sangat sedikit. Ada kutipan dari Yang Mulia Dalai Lama Ketujuh, Kelsang Gyatso, untuk poin ini. Beliau adalah seseorang yang terkenal akan karya-karyanya berupa Lamrim, Latihan Batin, dan Tantra. Dalai Lama Ketujuh terkenal di antara semua Dalai Lama sebagai sosok yang mahir menggubah teks. Selain beliau, ada juga Dalai Lama Ketiga yang mampu menuliskan karya yang efektif bagi mereka yang membacanya.

Kutipan dari Penakluk yang Unggul, Kelsang Gyatso, menyebutkan:

“Sejak kita lahir, belum pernah kita bebas untuk beristirahat, barang untuk sekejap.
Kita sedang berlomba dengan kecepatan penuh untuk menghadap Yama, Raja Kematian.
Meskipun kita dikatakan hidup, sebenarnya kita sedang berada di atas jalan kematian.
Itulah kesan menyedihkan tentang seorang terpidana yang digiring ke tempat eksekusi.”
(Pembebasan di Tangan Kita, Penerbit Kadam Choeling, hal. 184)

 

Jadi, kutipan di atas menjelaskan bahwa kita ibarat seorang penjahat besar yang akan digiring ke tempat eksekusi. Itu sebabnya kita berjalan di atas jalan kematian, bahkan berpacu di atasnya, dan tahu-tahu kita sudah sampai ke tempat eksekusinya.

Teknik lain yang sering digunakan untuk memeditasikan ketidak-kekalan adalan bermeditasi di tepi aliran sungai dengan mengamati air yang mengalir. Air yang mengalir ke bawah tidak bisa naik lagi. Sama halnya dengan waktu yang berlalu tidak akan bisa dikembalikan lagi. Ini adalah metode yang luar biasa untuk memeditasikan ketidak-kekalan yang terjadi terus-menerus. Teknik lainnya lagi adalah mengamati jam tangan. Kita semua memiliki jam tangan dan semua orang tahu bagaimana mengamati waktu. Tapi yang tidak diketahui semua orang bahwa seiring berlalunya detik-detik jam, berlalu pula waktu kita dalam kehidupan ini. Artinya, umur kita bertambah pendek terus-menerus, tanpa jeda. Paling-paling ada jeda kalau baterai jam habis, tapi berkurangnya umur kita tidak ada jedanya sama sekali. Kita mamakai guru ketidak-kekalan di pergelangan tangan kita.

Dengan teknik atau metode apapun, sebenarnya tidak begitu sukar untuk melakukan itu semua. Yang dibutuhkan adalah fokus dan pemusatan perhatian. Kita harus bisa membawa pemahaman ini ke dalam diri kita masing-masing, yakni kenyataan bahwa kita pasti akan mati.

Sekarang kita akan memeditasikan sebab kedua ini selama 7 hingga 8 menit. Akan sangat baik sekali kalau meditasi dimulai dengan mengajukan permohonan kepada guru spiritual di atas kepala kita. Lakukan permohonan ini dengan singkat. Sebagai balasan, guru spiritual bersedia mengabulkan permohonan kita dan menganugerahkan berkah kepada kita untuk memfasilitasi meditasi yang akan kita lakukan.

(meditasi)

 

Alasan ketiga menyangkut kepastian kematian adalah: Kita mati tanpa memiliki kesempatan untuk mempraktikkan dharma sepanjang hidup kita.

Buddha menjelaskan di dalam Sutra Memasuki Rahim yang dimohon oleh Nanda. Yakni, seseorang yang memiliki umur 60 tahun, separuhnya habis untuk tidur. Sisa separuhnya lagi digunakan untuk beragam aktivitas seperti makan, bepergian, bekerja, jatuh sakit, sembuh, dan seterusnya. Demikianlah kita menggunakan waktu kita, sehingga bisa dilihat betapa sukar untuk menemukan waktu untuk meditasi dan praktik selama seseorang masih hidup.

Tradisi lisan menyebutkan bahwa seseorang maksimal hanya punya waktu 5 tahun untuk benar-benar melakukan praktik spiritual yang murni dari keseluruhan waktu yang dimilikinya. Tapi, tentu saja, terserah pada Anda semua masing-masing untuk menjalani hidup Anda, untuk melihat apakah penjelasan yang diberikan berlaku bagi Anda.

Gomchen Ngawang Wangpo mengatakan:

“Ketika sangat tua dan sangat muda, engkau tidak mengingat dharma,
Di antaranya, engkau menghabiskan waktu untuk makan, minum, jatuh sakit, dst
Jadi walaupun engkau hidup seratus tahun, engkau sama sekali tidak punya waktu untuk dharma.”
(The Essence of All Sublime Discourses, hal. 19)

 

Seseorang yang masih sangat muda tentu tidak akan memikirkan dharma. Sedangkan mereka yang sudah sangat tua juga akan kesulitan untuk melakukannya. Di antara keduanya, waktu dihabiskan untuk makan, jatuh sakit, bekerja, jatuh sakit, sembuh, dan seterusnya. Jadi walaupun seseorang bisa hidup hingga seratus tahun, sulit baginya untuk menemukan waktu untuk praktik dharma. Sebagaimana tadi disebutkan, menurut tradisi lisan, paling banter seseorang memiliki waktu 5 tahun untuk praktik dharma.

Banyak di antara kita yang mau praktik dharma, di antara sekian banyak keinginan dan rencana kita. Banyak juga yang tidak tahu apa yang diinginkannya. Banyak yang ketika mau praktik, selalu saja memprioritaskan hal lain terlebih dahulu dengan mengatakan, “Saya akan melakukan ini dulu, setelah itu baru saya akan praktik.” Rinpoche sering mendengar orang berkata,”Kalau saya sudah pensiun, saya akan bertekad untuk praktik dharma.” Tentu saja itu semua adalah ilusi. Kita tidak tahu mana yang datang duluan, waktu untuk pensiun atau waktu untuk mati.

Di dalam Pembebasan di Tangan Kita, Guntang Rinpoche mengatakan bahwa apakah hari esok untuk praktik dharma yang akan datang duluan atau hari kematian kita yang datang terlebih dahulu, kalau mau praktik, lakukan sekarang juga!

Kita jangan sampai terjerumus dalam perangkap pernyataan, “Saya akan,” “Saya ingin,” “Saya mau.” Kalau memang mau, lakukanlah sekarang juga. Kalau tidak, kita akan mengalami poin ketiga, yakni kita akan mati tanpa memiliki kesempatan untuk mempraktikkan dharma sepanjang hidup kita.

Banyak orang mengatakan “Tahun ini,” atau “Bulan ini, aku akan membereskan segala sesuatu, kemudian aku akan praktik dengan baik.” Tapi pikiran yang mengelabui seperti membodohi semua orang. Idenya bukan sesuatu yang baru. Orang-orang memiliki ide untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Setelah itu, barulah ia akan duduk dan melakukan praktiknya. Tapi, seperti yang sudah kita bilang, pemikiran ini seperti setan yang mengelabui semua orang.

Kita ambil waktu 5 menit untuk merenungkan poin ketiga sehubungan kepastian kematian, yakni: “Kita mati tanpa memiliki kesempatan untuk mempraktikkan dharma sepanjang hidup kita.”

(meditasi 5 menit)

Selesai sampai di sini untuk sesi ini. Kita akan meleburkan guru spiritual ke dalam diri kita. Kita bayangkan tubuh, ucapan, dan batin kita menjadi satu dengan tubuh, ucapan, dan batin Buddha dan guru spiritual. Kita menerima berkah dari tubuh, ucapan, dan batin Buddha dan guru spiritual. Kemudian kita akan melafalkan doa dedikasi dan kita berpikir bahwa kebajikan yang sudah kita kumpulkan dari ketiga masa didedikasikan supaya semua makhluk bisa segera merealisasikan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi.

*** End of Session 4***
(JL)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *