Webcast Nantes Sesi 2: What Makes You Happy?

  • April 19, 2011
Sabtu, 16-April-2011
15:30 – 18:00 WIB

 

Tadi pagi kita sudah membangkitkan motivasi, artinya membangkitkan kerangka berpikir yang bajik untuk mendengarkan ajaran. Tapi kita sudah sempat jeda sebentar. Pada saat jeda, segala macam pemikiran sudah muncul dalam batin kita. Karena itu, akan sangat baik sekali kalau kita mengambil waktu lebih kurang 3 menit untuk memperbaiki lagi motivasi kita.

Saya tidak perlu berpanjang lebar lagi soal motivasi bagi Anda yang buddhis. Bagi nonbuddhis, motivasi yang tadi sudah dijelaskan adalah niat untuk menolong sebanyak mungkin orang yang bisa Anda tolong. Artinya, benar-benar berniat untuk melakukan sebuah tindakan nyata untuk mereka. Ini bisa dijelaskan lebih lanjut dengan melihat diri kita sendiri. Kita sendiri menginginkan kebahagiaan, dan ini adalah sesuatu yang kita ketahui dengan jelas. Kita juga merasa nyaman kalau tidak mengalami permasalahan apapun, dan ketika mendapatkan masalah, kita tahu persis bahwa kita tidak bahagia.

Kalau hal itu berlaku buat kita, maka hal yang sama juga berlaku bagi semua makhluk. Mereka juga tidak bahagia kalau ada permasalahan yang menimpa mereka. Dan jumlah mereka jauh melampaui jumlah kita sebagai perseorangan. Kita hanya satu makhluk tunggal, sedangkan semua makhluk jumlah tak terhingga. Jadi, dari sudut pandang jumlah, yakni satu lawan tak terhingga, sudah terang dan logis dan beralasan kalau kebahagiaan semua makhluk jauh lebih penting daripada kebahagiaan kita sendiri. Dengan demikian, penting sekali bagi kita untuk memikirkan kebahagiaan semua makhluk pula, dan tidak melulu memikirkan kebahagiaan kita sendiri saja. Karena, sebagaimana yang sudah kita lihat, kita hanya satu orang, sedangkan semua makhluk jumlahnya tak terbatas.

Itulah sebabnya mengapa kita harus memikirkan orang lain, dari sudut pandang jumlah. Kita harus memikirkan mereka minimal dengan jumlah atau takaran yang sama dengan kita memikirkan diri sendiri. Lebih lanjut, kita juga harus menyadari bahwasanya kebahagiaan kita bergantung pada orang lain. Karena berkat orang atau makhluk lain-lah, baru kita bisa bahagia. Tanpa orang atau makhluk lain, mustahil kita bisa bahagia. Inilah alasan lebih lanjut untuk mendukung mengapa kita harus memikirkan kebahagiaan orang lain.

Itulah dua sudut pandang mengapa sangat logis kalau kita harus memikirkan kebahagiaan makhluk lain, dan benar-benar melakukan tindakan nyata untuk mewujudkannya. Mari kita renungkan penjelasan tadi sekarang juga.

Tentu saja tidak cukup kalau kita hanya menginginkan kebahagiaan makhluk lain. Kita harus benar-benar mewujudkan niat tersebut dan perwujudan niat itu pada gilirannya akan memberikan manfaat buat kita sendiri. Kita harus memikirkan dan mewujudkan kebahagiaan untuk sebanyak-banyaknya makhluk yang sanggup kita pikirkan dan wujudkan. Dengan sikap seperti ini, kita akan mengumpulkan banyak sekali kebajikan. Apa artinya mengumpulkan kebajikan? Ini berarti kita sendiri akan semakin mendekati pencapaian pembebasan, hingga pencerahan sempurna atau Kebuddhaan.

Jadi, memikirkan dan mewujudkan kebahagiaan orang lain secara tidak langsung memungkinkan untuk memenuhi tujuan semua makhluk, yakni memberikan kebahagiaan dan mengatasi penderitaan mereka. Ketika kita sudah mencapai Kebuddhaan, kita berada pada posisi nyata untuk bekerja untuk semua makhluk. Jadi itulah alasan-alasan mengapa kita harus mengembangkan motivasi demikian. Kita ambil waktu 3 menit untuk merenungkan hal ini.

[perenungan 3 menit]

Sampai di manakah pembahasan kita? Di sesi sebelumnya kita sudah berbicara mengenai kebahagiaan. Bahwasanya kebahagiaan terbagi menjadi dua aspek, kebahagiaan fisik dan mental. Kita juga sudah membahas bagaimana kita semua memiliki kebahagiaan fisik hingga taraf tertentu, tapi kita juga sudah menjelaskan bahwa kebahagiaan fisik bukanlah sesuatu yang bertahan lama. contoh, seseorang yang berumur panjang, paling lama bisa hidup hingga 90 atau 100 tahun. Ketika makin tua, Anda harus menyadari bahwa kebahagiaan fisik menjadi semakin merosot dan semakin jarang. Baik bagi mereka yang berumur panjang atau tidak, secara keseluruhan, kebahagiaan fisik tidak bertahan lama dan hanya bisa dinikmati untuk sekejap.

Oleh karena itu, sebagai kesimpulan, kita tidak boleh bergantung atau mengandalkan kebahagiaan kita pada kebahagiaan fisik semata-mata. Kebahagiaan fisik memang bisa didapatkan, tapi tidak bisa berlangsung lama, oleh karenanya tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebahagiaan kita.

Mari kita lihat aspek kebahagiaan satunya lagi, yaitu kebahagiaan mental. Kebahagiaan mental merujuk pada pengalaman-pengalaman batin yang menyenangkan, misalnya ketika segala sesuatu berjalan lancar, atau ketika menikmati makanan yang lezat, atau memiliki kekayaan yang cukup. Bisa juga karena seseorang memiliki keluarga dan kerabat yang baik dan harmonis, atau pekerjaannya berjalan lancar sehingga memberikan kepuasan tertentu. Atau misalnya aktivitas-aktivitas yang dilakukan semuanya berjalan dengan sukses, dan sebagainya. Itulah contoh-contoh kebahagiaan mental yang mungkin kita alami.

Kebahagiaan mental berbeda dengan kebahagiaan fisik. Kebahagiaan fisik lebih cepat merosot, seiring dengan merosotnya kondisi jasmani seseorang. Semakin bertambah tua, kemampuan kita untuk menikmati kebahagiaan fisik juga semakin menurun. Hal yang sama tidak berlaku untuk kebahagiaan mental. Artinya, kebahagiaan mental tidak sedrastis penurunannya seperti kebahagiaan fisik. Akan tetapi, kebahagiaan mental juga tidak bisa bertahan selama-lamanya. Kadang-kadang kita merasa bahagia, tapi di lain waktu tidak merasakannya. Jadi, kesimpulannya, kebahagiaan mental juga tidak bisa bertahan lama.

Contoh kebahagiaan mental adalah perasaan nyaman kalau kita menjalin hubungan persahabatan yang akrab. Kita menikmati pertemanan dengan sahabat-sahabat kita. Ini adalah salah satu sumber kebahagiaan mental. Tapi kebahagiaan ini tidak stabil dan tidak bisa diandalkan. Alasannya semata-mata karena persahabatan itu sendiri tidak bisa bertahan lama. Ketika kondisi berubah, maka segala sesuatu berubah, termasuk hubungan persahabatan juga bisa berubah. Situasi dan kondisi sangat mudah berubah dan perubahan ini menimbulkan kesukaran bagi kita karena apa yang tadinya kita rasakan sebagai sumber kebahagiaan tiba-tiba saja berhenti menjadi sebab kebahagiaan kita. Ketika sebuah hubungan persahabatan mengalami perubahan, maka kebahagiaan yang timbul akibat persahabatan itu juga berubah.

Selain persahabatan, kita juga memiliki jenis hubungan lainnya, yaitu dengan orang-orang yang bahkan kehadirannya mengganggu kita. Atau orang-orang yang ketika kita memikirkan mereka, kita merasa kesal, marah, atau jengkel. Di sini, situasi yang sama juga berlaku, artinya kondisi tersebut juga tidak stabil. Orang yang tadinya kita anggap menjengkelkan bisa berubah menjadi orang yang kita senangi dan kita tidak mau berpisah darinya. Ketika berpisah darinya, kita merasa tidak nyaman, sedih, kecewa, dan sebagainya.

Kedua jenis kondisi yang dijelaskan di atas tentu sangat dipahami oleh kita semua, karena kita sudah pernah mengalaminya dan bahkan saat ini pun sedang mengalaminya. Itu sebabnya, Bodhisattwa agung, Shantidewa, mengatakan: Seseorang yang tadinya namanya tidak ingin kita dengar, bisa berubah menjadi sahabat kita yang paling dekat. Artinya, kita tidak ingin berpisah darinya. Jadi demikianlah, perasaan senang atau bahagia bisa didapatkan dari jenis-jenis hubungan dengan orang lain, tapi semua hubungan tersebut tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebahagiaan kita.

Kekayaan dan barang-barang kepemilikan juga bisa menjadi sumber kebahagiaan kita. Tapi kebahagiaan seperti ini juga tidak stabil. Kita paham sekali akan kenyataan ini. Suatu hari kita merasa nyaman dan bahagia, tapi hari berikutnya segala sesuatunya berubah menjadi bencana. Kita bisa kehilangan semua harta kekayaan kita. Itu sebabnya kita tidak bisa mengandalkan kebahagiaan kita pada kekayaan dan harta benda.

Contoh paling nyata yang bisa kita amati adalah apa yang menimpa negeri Jepang. Jepang tadinya adalah negara dengan kekuatan ekonomi nomor tiga di dunia. Negara ini sangat kuat dan kaya. Tapi dalam sekejap situasinya berubah drastis dikarenakan bencana alam. Banyak orang yang dirundung kesedihan dan penderitaan akibat peristiwa ini. Ini adalah contoh yang menimpa sebuah negara secara keseluruhan, tapi dalam tingkat pribadi perseorangan, hal yang sama juga bisa terjadi.

Tadi disebutkan bahwa kekayaan dan harta benda tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebahagiaan. Hal yang sama berlaku untuk status dan posisi kita. Sudah sering kita melihat bagaimana orang-orang yang tadinya memiliki kekuasaan dan status yang tinggi tapi akhirnya status tersebut berubah. Ini sudah sangat sering terjadi. Barangkali ada yang bertanya apakah kita bisa berharap untuk bahagia dengan mengandalkan pada kesehatan kita. Orang-orang seperti ini pun pada akhirnya harus mengakui bahwa ia tidak bisa mengandalkan kebahagiaannya pada kesehatan.

Kalau kita salah memahami faktor-faktor yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan, padahal mereka bukan sumber kebahagiaan, maka itu akan mengakibatkan penderitaan bagi kita sendiri. Kalau kita mencengkeram pada keabadian dan menganggap faktor-faktor yang kita anggap sebagai sumber kebahagiaan akan berlangsung selama-lamanya, berarti kita mengingkari perubahan, resiko kehilangan, dan seterusnya. Jadi, ketika situasi berubah dan pasti akan berubah, inilah yang membuat kita terkejut atau kaget. Karena kita terlanjur berharap segala sesuatu tidak berubah, maka ketika perubahan terjadi, inilah yang menyebabkan kita merasa sedih, tertipu, tidak puas, frustrasi, dan seterusnya.

Dengan demikian, cara berpikir dan sikap kita selama ini terbukti sangat tidak realistis, tidak jujur, dan cenderung mengarah pada kekecewaan dan penderitaan. Kita harus bisa melihat sikap-sikap seperti ini seperti ilusi atau bersifat ilusi, sebagaimana judul topik kita. Bersifat ilusi artinya tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dengan demikian, kita dikatakan memiliki sudut pandang yang tidak realistis, karena tidak sesuai dengan realita yang ada. Anda harus benar-benar merenungkan hal ini. Penting sekali bagi untuk bisa mengidentifikasi sumber-sumber atau penyebab yang menyebabkan kita memegang pandangan salah.

Akan lebih baik kalau Anda menyesuaikan cara berpikir dan pandangan Anda dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi, yakni realita sebagaimana adanya. Misalnya, Anda harus mengakui kenyataan bahwa Anda pasti akan tua, tubuh Anda akan merosot, Anda akan kehilangan segala yang telah berhasil dikumpulkan, Anda akan kehilangan teman dan sahabat, dan seterusnya. Itu semua adalah situasi-situasi yang pasti akan Anda hadapi, tak ada pengecualian.

Jadi, penting sekali bagi kita untuk menyesuaikan cara berpikir dan sudut pandang kita. Tentu saja, sambil menyesuaikan cara berpikir, kita bisa terus menikmati masa-masa bahagia. Misalnya kalau segala sesuatu berjalan lancar, kita masih memiliki harta benda, kita masih memiliki sahabat-sahabat, dan seterusnya. Kita tetap bisa mempertahankan cara berpikir yang benar dan realistis sambil terus menikmati kebahagiaan-kebahagiaan yang masih menjadi jatah kita untuk dinikmati.

Dalam menikmati kebahagiaan, ada dua poin penting yang harus diperhatikan. Ketika menikmati segala bentuk kebaikan yang bisa kita nikmati, kita harus bisa mensyukuri dan menghargai kebahagiaan tersebut, dan pada saat bersamaan merasa puas. Penting sekali untuk memiliki sikap berpuas diri terhadap apapun yang kita miliki saat ini. Berikutnya, akan lebih baik lagi kalau kita bisa menambahkan sesuatu. Apa itu? Sambil menikmati kebahagiaan kita, alangkah baiknya kalau kita bisa memikirkan orang lain, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kebahagiaan yang kita nikmati itu. Kita berdoa semoga mereka bisa mendapatkan apa yang sedang kita nikmati. Kita berharap bahwa mereka juga bisa mendapatkan segala keunggulan yang kita miliki sehingga mereka pun bisa menikmati kebahagiaan tersebut.

Kembali pada poin pertama, dalam hal menikmati kebahagiaan kita, penting sekali menghindari sikap mendambakan lebih banyak kebahagiaan. Kalau mau ditunjuk secara lebih persisnya lagi, kita harus menghindari sikap melekat dan mendambakan untuk mendapatkan kebahagiaan dan sumber-sumber kebahagiaan itu, semata-mata karena kemelekatan adalah suatu sikap yang sangat berbahaya. Sebenarnya, dengan menginginkan sesuatu lebih banyak atau minimal dalam jumlah yang sama, tidak berarti kita akan mendapatkannya.

Kita harus bisa menghargai dan mensyukuri apapun kebahagiaan yang sudah berhasil kita dapatkan saat ini. Sebaliknya, kita harus menghindari keinginan untuk mendapatkan lebih. Keinginan untuk mendapatkan lebih ini kita ganti dengan keinginan supaya orang lain bisa menikmati kebahagiaan seperti yang kita nikmati.

Kembali pada respon melekat, atau keinginan mendapatkan lebih dan lebih lagi, yang disebut sebagai sikap melekat atau rakus, inilah sumber penderitaan kita sendiri. Ketika situasi memang tidak bertahan lama, ketika kebahagiaan kita berhenti, tidak bisa diulangi lagi, ini akan menyebabkan kita timbul perasaan menginginkan atau mendambakan, yang akan berakhir dengan kekecewaan dan frustrasi.

Sedangkan untuk respon menghargai dan mensyukuri serta berpuas diri, inilah sikap-sikap yang positif. Mengapa demikian? Buddhisme menawarkan penjelasan mengapa kita harus menghargai dan mensyukuri kebahagiaan yang kita rasakan. Yaitu, apapun kebahagiaan dan kenikmatan yang kita dapatkan sekarang, itu adalah buah atau hasil dari perbuatan bajik yang sudah kita lakukan di masa lampau. Misalnya, dulu kita sudah berperilaku baik, memiliki sifat-sifat yang bajik, dan sebagainya. Inilah yang membuahkan hasil berupa kesempatan untuk menikmati kebahagiaan.

Dengan memahami bahwa kebahagiaan yang kita rasakan merupakan buah dari tindakan bajik yang sudah kita lakukan di masa lampau, maka inilah yang akan menginspirasi kita untuk semakin terlibat dalam perilaku bajik. Kita akan terdorong untuk semakin mengumpulkan kebajikan. Artinya, kita akan membangkitkan upaya yang bersemangat untuk mengumpulkan kebajikan.

[Istirahat sebentar]

Apakah dampaknya kalau kita bisa berpikir demikian? Jawabannya mari kita lihat cara berpikir sebaliknya. Kalau kita tidak berpikir demikian, maka ketika sesuatu yang buruk menimpa kita, maka kita akan langsung menyalahkan orang lain. Kita akan benar-benar melihat bahwa masalah kita disebabkan oleh faktor-faktor eksternal dan kita akan berkesimpulan itu adalah kesalahan orang lain.

Bukan berarti faktor eksternal tidak memiliki peran apapun. Tentu saja faktor eksternal turut berperan. Misalnya, ada orang yang memang benar-benar berniat menyakiti kita. Tapi sesungguhnya, harus ada kondisi tertentu yang bertemu sehingga kita bisa menerima akibatnya. Kalau kita belum pernah menyakiti orang lain, dan ketika kita bertemu situasi tertentu, maka kita tidak akan bisa disakiti. Sebaliknya, kalau kita pernah menyakiti orang lain, barulah kita bisa menerima akibat disakiti juga.

Kalau kita tidak bisa berpikir demikian, akan sangat mudah sekali bagi kita untuk mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain. Tapi kalau kita bisa merenungkan hal ini dengan jernih, maka kita tidak gampang bereaksi secara negatif. Artinya kita tidak gampang marah, cemburu, dan seterusnya.

Kita juga bisa menghadapi permasalahan dengan lebih tenang, dengan merenungkan bahwa itu semua merupakan akibat dari karma buruk yang sudah kita lakukan di masa lampau. Dengan mengalami penderitaan atau akibatnya, berarti kita sudah mengurangi beban karma buruk kita. kita bisa mengatakan, “Satu lagi karma burukku berkurang.” Selama ini kita mengangkut beban karma buruk ke mana-mana. Ketika menghadapi masalah, kita bisa melihat manfaat di balik musibah tersebut. Kita bisa menganggapnya sebagai satu halangan yang berkurang. Dengan perenungan seperti ini, itu akan mengurangi tingkat penderitaan yang akan kita jalani.

Kalau kita tidak memahami situasi dengan baik, sesuai dengan penjelasan dari dua sudut pandang di atas, maka kita akan terjerumus pada pandangan yang keliru. Pandangan keliru ini nantinya akan semakin memperberat atau memperparah permasalahan yang sedang kita hadapi. Sebaliknya, kalau kita memahami situasi dengan benar, artinya melihat dengan cara pandang yang benar dan mengeluarkan respon yang sesuai kondisi sebagaimana adanya, inilah yang akan meningkatkan kebahagiaan kita dan mengurangi tingkat penderitaan yang harus dijalani.

Buddhisme mengincar kebahagiaan bukan pada kehidupan saat ini saja, semata-mata karena Buddhisme mengakui adanya kelahiran kembali. Artinya, setelah kehidupan yang satu ini, kita akan berlanjut pada kehidupan berikutnya, dari situ ke kehidupan berikutnya lagi, demikian seterusnya. Oleh karena itu, buddhis mengincar kebahagiaan pada kehidupan-kehidupan yang akan datang, bukan membatasi pada kebahagiaan pada kehidupan saat ini saja.

Sebelum kita membahas kebahagiaan di kehidupan akan datang lebih jauh, saya akan sedikit menjelaskan tentang kelahiran kembali. Bagi Anda yang buddhis tentu sudah tidak menghadapi masalah dengan konsep ini, tapi bagi Anda yang merupakan pendatang baru dalam Buddhisme dan belum pernah mendapatkan penjelasan tentang kelahiran kembali, maka saya akan sedikit menjelaskannya.

Kalau kita bisa menetapkan adanya kehidupan sebelum yang satu ini, maka kita juga bisa menetapkan adanya kehidupan setelah yang satu ini. Sebenarnya, siapakah kita? Kita adalah manusia, sesosok makhluk, seorang individu yang memiliki diri atau aku. Tapi diri atau aku ini hanya eksis kalau berkaitan dengan dua faktor lain, yakni tubuh jasmani dan batin. Kemungkinan besar semua agama besar di dunia mengakui fakta bahwa diri atau aku eksis kalau berkaitan dengan tubuh jasmani dan batin, tapi ini bukan fokus pembahasan kita sekarang. Poinnya di sini adalah, sebagai individu, kita memiliki jasmani dan batin.

Jasmani dan batin ini pada gilirannya memiliki sebab-sebabnya. Sebab dari jasmani adalah bagian tubuh dari orangtua kita, yaitu sel-sel tubuh yang bisa bereproduksi. Sebab ini cukup mudah untuk dipahami dan langsung bisa dipahami karena sudah merupakan pengetahuan umum. Ketika sperma dan sel telur dari orangtua kita bertemu, mereka bergabung membentuk sebuah gabungan sel yang baru. Gabungan keduanya membentuk basis atau dasar yang valid bagi terbentuknya seorang individu yang baru.

Menurut pandangan buddhis, seorang individu baru bisa lahir kalau sebab-sebabnya terpenuhi. Sebab utama adalah basis fisik dan sebab-sebab yang mendukung terjadinya konsepsi. Faktor lain misalnya orangtua tersebut harus punya karma untuk memiliki anak, anaknya pun harus spesifik anak tertentu yang bisa menjadi anak dari orangtua tersebut. Di sisi lain, anak itu juga harus memiliki karma bertemu dengan orangtuanya, artinya seorang anak bertemu dengan orangtuanya juga harus ada karmanya. Jadi itulah beberapa faktor yang menentukan terjadinya konsepsi.

Jadi, ketika sperma dan sel telur bertemu, ini akhirnya akan membentuk embrio. Sebelum terbentuknya embrio, harus ada batin anak tersebut yang nantinya akan memasuki embrio tersebut. Embrio ini masih belum merupakan jasmani. Ketika kesadaran seorang individu memasuki embrio tersebut, barulah ia menjadi jasmani dari kesadaran tersebut. Momen pertama gabungan sel telur dan sperma menandakan momen pertama terbentuknya jasmani dan momen pertama batin seorang individu memasuki basis fisik tersebut menandakan momen kesadaran yang pertama.

Elemen fisik sebuah embrio yang merupakan gabungan sperma dan sel telur mengandung elemen fisik yang sesungguhnya, tapi juga mengandung benih atau potensi yang berkaitan dengan batin. Kesadaran yang memasuki embrio yang baru terbentuk bukan elemen yang sesungguhnya, tapi baru merupakan potensi. Jadi, ketika ketiga faktor ini sudah bertemu, yaitu elemen fisik embrio yang sesungguhnya, benih atau potensi dari elemen fisik, berikut potensi batin yang memasuki embrio, barulah sebuah individu baru terbentuk dan memulai sebuah kehidupan yang baru.

Terbentuknya jasmani menandainya dimulainya sebuah kehidupan yang baru, ini mudah dipahami. Tapi, dari mana datangnya kesadaran? Pandangan buddhis memiliki penjelasan spesifik untuk ini. Kesadaran haruslah berasal dari sesuatu yang sifat dasarnya sama. Jadi, kesadaran haruslah berasal dari kesadaran juga. Dengan demikian, sebuah kesadaran hanya bisa dihasilkan oleh kesadaran atau momen kesadaran yang lain. Sehingga, momen pertama kesadaran pada seorang makhluk yang baru berasal dari kesadarannya yang sebelumnya.

[sampai di sini, koneksi putus-putus sehingga perangkum tidak mendengar apa yang disampaikan. Tapi perangkum menebak subtopik yang dijelaskan adalah sambungan penjelasan kelahiran kembali, kemudian masuk pada kebahagiaan pada kehidupan mendatang. Penjelasan berikutnya bisa diikuti setelah koneksi tersambung berikut ini.]

Karena buddhis mengakui konsep kelahiran kembali, mereka menyadari bahwa kebahagiaan pada kehidupan mendatang bergantung pada apa yang mereka perbuat di kehidupan saat ini. Oleh karena itu, mereka berupaya sedemikian rupa untuk menjamin di kehidupan mendatang mereka akan mendapatkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Mereka mengejar tujuan ini karena mereka mengakui adanya kebahagiaan fisik dan mental, dan mereka berupaya menciptakan sebab-sebabnya.

Di antara penganut buddhis, ada yang mengincar kebahagiaan pada kehidupan saat ini dan juga kebahagiaan di kehidupan mendatang. Selain ini, ada juga yang sudah memahami bahwa kebahagiaan di kehidupan saat ini dan akan datang sebenarnya sama saja, yaitu sama-sama tidak bisa diandalkan, tidak stabil, dan tidak bisa memuaskan. Oleh karena itu, penganut buddhis jenis ini mengejar kebahagiaan yang lebih tinggi dan lebih stabil.

Baik kebahagiaan di kehidupan saat ini maupun akan datang, sebabnya adalah kebajikan. Kebajikan apapun, selama masih berkaitan dengan kilesa, akan menghasilkan kelahiran kembali di dalam lingkaran keberadaan (samsara). Artinya, kebajikan ini akan terus-menerus melemparkan seorang makhluk dalam kelahiran-kelahiran samsarik. Kebajikan yang tercemar oleh kilesa ini memiliki sifat tidak stabil dan tidak tahan lama. Menyadari hal ini, mereka yang bertujuan untuk terbebaskan dari proses kelahiran kembali di dalam samsara berupaya menghasilkan kebajikan yang tidak berkaitan dengan kilesa.

Praktisi buddhis ini memahami bahwa selama kebajikan yang dihasilkan masih berkaitan dengan kilesa (faktor-faktor mental negatif), maka kebajikan ini hanya akan menghasilkan kebahagiaan yang tidak stabil dan tidak memuaskan. Mereka berkesimpulan, satu-satunya cara untuk mendapatkan kebahagiaan yang stabil adalah dengan membuang kilesa atau membebaskan batin mereka dari kilesa. Mereka berniat menciptakan karma-karma yang sudah tidak berkaitan dengan kilesa. Pemahaman dan pemikiran orang-orang seperti ini sudah jauh berkembang dibandingkan dengan jenis penganut buddhis yang pertama.

Kategori praktisi buddhis yang pertama tadi salah memahami kebahagiaan samsara sebagai kebahagiaan sejati. Mereka memang tidak puas dengan kebahagiaan di kehidupan saat ini dan mengincar kebahagiaan di kehidupan akan datang, tapi mereka membayangkan bahwa mereka bisa mendapatkan kebahagiaan yang memuaskan di dalam samsara. Inilah ilusi yang masih harus mereka atasi.

Praktisi jenis pertama ini sudah mengatasi kemelekatan pada kehidupan saat ini hingga taraf tertentu. Mereka merasa kebahagiaan pada kehidupan saat ini tidaklah mencukupi. Karena itu, mereka mengincar kebahagiaan samsara secara keseluruhan. Mereka mengincar kebahagiaan pada kehidupan-kehidupan yang akan datang. Mereka masih melekat pada samsara dan membatasi kebahagiaan mereka pada kebahagiaan samsarik.

Di antara praktisi jenis pertama ini, mereka ada yang sudah menyadari bahwa kehidupan saat ini sungguh singkat dan kebahagiaan pada kehidupan saat ini juga terbatas. Mereka beraspirasi mendapatkan kebahagiaan dalam kelahiran-kelahiran yang menyenangkan di dalam samsara. Misalnya, mereka ingin mendapatkan kehidupan yang lebih panjang, untuk lebih bisa menikmati kebahagiaan samsara. Inilah aspirasi dari praktisi jenis pertama.

Berdasarkan aspirasi seperti ini, yaitu aspirasi pada kebahagiaan samsara, makhluk seperti ini senantiasa naik turun di dalam samsara. Kadang-kadang mereka terlahir di alam menyenangkan, di lain waktu terjerumus di alam menyedihkan. Yang pasti, proses seperti ini akan berlangsung terus-menerus, tanpa akhir.

Bagi orang yang sudah paham, mereka akan mencari kebahagiaan yang lebih stabil. Dan kesimpulannya, satu-satunya solusi adalah menciptakan karma yang tidak berasosiasi dengan kilesa. Orang-orang seperti ini mengincar pembebasan dari samsara secara keseluruhan, sehingga tidak lagi mengalami penderitaan fisik maupun mental, serta terbebas dari samsara. Walaupun ia masih mengalami perubahan fisik, misalnya tubuhnya merosot, jatuh sakit, meninggal, dan sebagainya, tapi kejadian-kejadian itu sudah tidak memengaruhinya lagi. Artinya, perubahan fisik dan mental sudah tidak lagi menimbulkan penderitaan baginya.

Makhluk-makhluk yang sudah terbebaskan dari samsara, walaupun masih mengalami proses penuaan, jatuh sakit, dan mati, tapi kondisi-kondisi itu sudah tidak memengaruhi mereka lagi. Artinya, sudah tidak menimbulkan penderitaan bagi mereka. Karena mereka memahami bahwa proses tersebut adalah sesuatu yang normal, alami, wajar, dan tidak terelakkan. Mereka sudah tidak melekat pada kebahagiaan-kebahagiaan seperti itu. Mereka sudah terlepas dari beban mereka dan dengan ringan menghadapi segala bentuk kondisi.

Kebahagiaan yang didapatkan dari pembebasan samsara berbeda dengan kebahagiaan pada kehidupan saat ini. Kebahagiaan pada kehidupan saat ini sangat singkat dan tidak memuaskan. Kebahagiaan pembebasan sudah tidak akan berubah dan tidak bisa merosot lagi. Mereka yang sudah terbebaskan dari samsara artinya sudah menjadi Arya. Para Arya memiliki kebahagiaan dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dan stabil dibandingkan dengan kebahagiaan samsara. Tapi bukan berarti para Arya ini sudah mencapai kebahagiaan pencerahan yang lengkap sempurna. Para Arya belum terbebaskan dari semua kesalahan dan belum menyempurnakan semua kualitas unggulnya. Artinya, kualitas para Arya ini masih bisa ditingkatkan.

Tentu saja para Arahat sudah tidak memiliki kilesa, tapi mereka belum mencapai tingkat yang sempurna. Ketidaksempurnaan ini disebabkan oleh jejak-jejak kilesa lampau yang masih mereka bawa. Jejak-jejak kilesa ini adalah sifat mementingkan diri sendiri yang menghalangi mereka untuk mencapai kesempurnaan.

Jadi, para Arahat masih memiliki jejak-jejak kilesa berupa sifat mementingkan diri sendiri atau berpusat pada diri sendiri. Ini berbeda dengan kebahagiaan tertinggi, yaitu kebahagiaan dari pencapaian pencerahan yang lengkap dan sempurna, Kebuddhaan.

Sebagai rangkuman, ada berbagai jenis kebahagiaan. Ada kebahagiaan pada kehidupan saat ini, ada kebahagiaan pada kehidupan mendatang. Kebahagiaan pada kehidupan mendatang mirip dengan kebahagiaan pada kehidupan saat ini, tapi dalam alam kehidupan yang lebih tinggi dengan durasi yang lebih lama. berikutnya, ada kebahagiaan yang terbebaskan dari kilesa. Jenis kebahagiaan ini bisa dinikmati selama-lamanya, karena sudah terbebaskan dari samsara. Terakhir, ada kebahagiaan lengkap sempurna, yaitu kebahagiaan dari pencapaian pencerahan lengkap sempurna. Kebahagiaan tertinggi ini sudah bersih dari semua halangan dan ketidaksempurnaan, serta dilengkapi dengan semua kualitas bajik yang sudah disempurnakan hingga tingkat maksimal. Jadi, inilah empat jenis kebahagiaan yang bisa dicapai.

Penjelasan bagaimana cara meraih kebahagiaan-kebahagiaan tersebut, yaitu topik kita, akan dibahas besok. Tadi kita jeda 2,5 jam dari sesi satu ke sesi dua. Besok kita akan jeda 2 jam saja dan memulai sesi kedua lebih awal supaya kita bisa selesai lebih awal pula karena besok adalah sesi terakhir dan para peserta harus bersiap-siap untuk beres-beres dan pulang.

Kita semua sudah membangkitkan motivasi yang bajik dan mengeluarkan upaya yang bajik pula. Oleh sebab itu, kita sudah mengumpulkan banyak karma bajik. Karma bajik ini harus kita dedikasikan. Kita bayangkan semua potensi karma bajik kita digabung menjadi satu, yaitu karma bajik dari masa lampau, masa kini, masa akan datang, dan ditujukan untuk mengakhiri semua bentuk pemikiran yang keliru dan tidak bajik. Kita dedikasikan semoga semua makhluk lekas-lekas mengembangkan cara berpikir yang benar dan bajik.

*** end of session 2***

(jl)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *