Open House 19 Juni 2011: Menerapkan Prinsip Tanpa Kekerasan dan Mengembangkan Hati yang Baik

  • June 21, 2011


Pada hari Minggu tanggal 19 Juni 2011, bertempat di Yiga Choedzin, Veneux-Les-Sablons, Perancis, diselenggarakan Open House 1 hari. Rinpoche mengisi satu sesi di sore hari (pukul 16:00 waktu setempat, pukul 21:00 WIB) yang disiarkan via webcast ke center-center Rinpoche. Kadam Choeling Indonesia menerima siaran tersebut di ruang bhaktisala. Di sana-sini terjadi gangguan koneksi internet, sehingga siaran tidak bisa diterima secara lengkap. Rangkuman berdasarkan catatan tangan penerjemah bahasa Indonesia ini dibagikan dengan harapan dapat memberikan sedikit manfaat. Apabila terdapat bagian yang tidak sinkron, mohon maaf dan mohon maklum.
*******

Saya menyambut kedatangan Anda semua dengan salam khas Tibet, “Tashi Deleg.” Cuaca di Veneux cukup dingin. Saya harap ruangan aula ini tidak terlalu panas pun tidak terlalu dingin buat Anda. Saya harap Anda semua merasa nyaman.

Saya melihat banyak muka-muka yang sudah akrab, tapi banyak juga muka-muka baru. Saya harap Anda semua berbahagia selalu. Hari ini kita akan sedikit membahas tentang Buddhisme. Saya yakin banyak di antara Anda yang sudah sering mendengarkan pembahasan tentang Buddhisme. Ini bukanlah topik yang sama sekali asing bagi Anda.

Pada hari ini apa yang hendak saya sampaikan adalah esensi dari Buddhisme, inti dari ajaran Buddhis, yaitu tanpa kekerasan. Konsep tanpa kekerasan bukanlah konsep yang hanya ada di dalam Buddhisme, karena konsep ini bisa ditemukan di semua agama besar di dunia. Tapi di sini kita akan membahasnya dari sudut pandang Buddhisme, khususnya dari sudut pandang teks-teks Tibet, agar kita bisa memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan tanpa kekerasan.

Aryadewa mengatakan bahwa inti dari dharma atau ajaran adalan tanpa kekerasan. Kalau membicarakan tanpa kekerasan, berarti ada yang dinamakan kekerasan atau sikap yang membahayakan. Dari kutipan di atas, kita akan membahas tanpa kekerasan ditinjau dari objeknya, konsep itu sendiri, serta aplikasinya.

Objek tanpa kekerasan ditujukan kepada pihak lain. Yang pertama dan utama, tanpa kekerasan adalah sebuah sikap atau pendekatan terhadap pihak lain, yang bebas dari niat jahat. Jadi, ia adalah sikap batin yang bebas dari tindakan pikiran, ucapan, maupun perbuatan yang menyakiti pihak lain. Artinya, tidak mengucapkan kata-kata ataupun melakukan tindakan yang menyakiti pihak lain.

Kalau dikatakan sikap tanpa kekerasan itu ditujukan kepada pihak lain, kita harus memahami istilah “pihak lain” dengan benar. Kalau tidak, maka pemahaman kita terhadap istilah ini bisa jadi tidak tepat dan tidak jelas. Bagaimana kita memahami istilah “pihak lain”? Pihak lain adalah semuanya yang berada di luar diri sendiri. Jadi, di satu sisi ada yang disebut “diri sendiri” dan di sisi lain ada “pihak lain.” Pihak lain di sini mencakup segala bentuk kehidupan. Jadi, semua makhluk di luar diri kita sendiri itu termasuk pihak lain.

Dalam konteks sekarang ini, kalau kita lihat diri sendiri dan pihak lain, maka diri sendiri adalah saya yang duduk di kursi ini, sedangkan pihak lain adalah Anda semua yang berada di ruangan ini bersama saya.

Tentu saja sudut pandang untuk menentukannya bersifat subjektif bagi masing-masing orang. Misalnya, apabila Anda semua bergabung menjadi satu kelompok, berarti Anda bisa memandang kelompok itu sebagai sebuah “diri” yang lebih besar, dan berarti pihak lain yang berlaku di sini hanyalah saya sendiri. Tapi, kalau Anda memandang diri Anda sendiri hanya sebagai satu individu, bukan sebuah kelompok, maka semua orang di luar diri Anda itu disebut dengan “pihak lain.”

Kembali ke kutipan tadi. Di sini, Aryadewa menyatakan bahwa Buddhisme merupakan pandangan yang menganut paham tidak menyakiti pihak lain. Tadi sudah dijelaskan, pihak lain mencakup semua makhluk di luar diri sendiri.

Anda semua harus paham dengan konsep ini. Akan tetapi, walaupun praktik Buddhisme adalah sikap yang bebas dari kekerasan atau tindakan menyakiti pihak lain, namun kita juga harus realistis. Walaupun kita semua berjuang untuk mencapai tujuan tersebut, namun ini bukanlah sesuatu yang serta merta bisa langsung dicapai. Tentu, konsep ini adalah konsep yang ideal, tapi kita harus berjuang untuk mewujudkannya.

[sampai di sini ada bagian yang terpotong karena gangguan koneksi]

….kalau misalnya ada yang menyakiti kita, kemudian kita terpancing untuk mengungkapkan kemarahan, bahkan hanya dengan sebuah tatapan sinis misalnya, kita harus cepat-cepat menyadari apa yang telah kita lakukan dan kemudian memperbaikinya.

Barangkali ada yang bertanya, “Mengapa sih kita harus repot-repot begitu? Apa gunanya?” Jawabannya, kalau kita tidak cepat-cepat menyadari kesalahan dan memperbaikinya, maka kita sendirilah yang akan menderita terlebih dahulu. Misalnya, kita kehilangan ketenangan batin, merasa tidak nyaman, sedih, dsb. Lebih lanjut, melakukan tindak kekerasan kepada pihak lain juga berakibat bagi mereka. Walaupun hanya dengan sebuah tatapan tak senang, mengucapkan kata-kata kasar, melontarkan kecaman, hingga pukulan dan tendangan; ini semua tentu saja menyengsarakan orang lain.

Jadi, untuk kedua alasan tersebut, Buddha mengajarkan bahwa kita harus senantiasa menghindari kekerasan dan menghindari menyakiti pihak lain. Sesungguhnya, dengan kita menghindari menyakiti orang lain, maka secara tidak langsung kita juga menghindari menyakiti diri sendiri. Cara-cara untuk menyakiti orang lain bisa dilakukan secara mental, yakni dengan pikiran, maupun dengan kata-kata hingga perbuatan. Akan tetapi, dengan cara-cara yang sama, kita juga bisa menyakiti diri sendiri. Karena itu, kita harus menghindari tindakan-tindakan mental, ucapan, dan fisik yang bisa menyakiti diri sendiri.

Bisa saja terjadi, dan memang terjadi, ada orang-orang yang menyakiti diri sendiri. Ada yang bunuh diri dengan cara memotong urat nadi, misalnya, atau membakar diri, atau makan terlalu banyak obat-obatan. Tindakan menyakiti diri sendiri seperti ini sangat disayangkan dan ini merupakan bentuk tindak kekerasan terhadap diri sendiri.

Perilaku menghina diri sendiri bukan saja tidak bermanfaat, tapi juga sangat berbahaya. Sikap seperti ini bisa meningkatkan kebencian terhadap diri sendiri. Tindakan itu akan meninggalkan jejak/ potensi di dalam batin kita untuk menimbulkan bahaya bagi diri sendiri. ia bahkan bisa memicu timbulkan perilaku-perilaku lebih buruk.

Sehubungan dengan sikap-sikap batin yang menyakiti diri sendiri, ada beberapa jenis. Misalnya, kemarahan, kecemburuan, kesombongan. Ada sebuah daftar panjang akan sikap-sikap batin yang menyakiti diri sendiri. Tambahan misalnya, kebodohan batin, sifat kikir, kemalasan, pengalihan perhatian, dst. Kalau kita menyerah pada sikap-sikap tersebut, pada akhirnya mereka akan membahayakan diri kita sendiri.

Selain sifat-sifat batin berbahaya yang kelihatan jelas, sebenarnya masih ada sifat-sifat batin lain yang tidak begitu mudah untuk dikenali, tapi sama berbahayanya. Karena kita tidak menyadari bahayanya, kita malah merasa senang dan menganggapnya bermanfaat. Dengan demikian, bukannya kita memeriksa dan menyelidikinya, kita malah menyerahkan diri sepenuhnya.

[sampai di sini ada bagian yang terpotong karena gangguan koneksi]

Untuk kemarahan, kecemburuan, dst, analogi yang bisa kita pakai adalah sahabat atau kenalan yang kasar dan singgah ke rumah kita. Mereka datang berkunjung dan mengambil alih rumah kita. Kenalan yang kasar ini mengacaukan seluruh rumah dan membuat keributan. Kita sebagai tuan rumah bertanya-tanya, “Kapan orang ini akan segera pergi supaya saya bisa kembali dengan rutinitasku yang damai?” Jadi, demikianlah, sifat-sifat seperti kemarahan, kecemburuan, dst, ibarat teman-teman kasar dan tukang bikin onar yang tidak kita senangi. Kita ingin agar mereka lekas-lekas kabur.

Ketika kita merasa marah, terganggu, dsb, itu adalah kondisi batin yang tidak menyenangkan. Kita merasa tidak nyaman. Di sisi lain, yaitu pada kategori faktor batin lain, mereka lebih…..[sampai di sini ada bagian yang terpotong karena gangguan koneksi]
….yaitu kemelekatan, keserakahan, kemalasan, hingga sejenis kegirangan mental, unsur-unsur yang ketika hadir di batin, mereka membuat kita merasa nyaman, bahkan seolah-olah melayang……[sampai di sini ada bagian yang terpotong karena gangguan koneksi]

Karena kita tidak menyadari bahayanya, bukan berarti sikap-sikap batin tersebut tidak membahayakan, karena sesungguhnya mereka justru berbahaya. Karena seolah-olah merupakan sikap batin yang baik, apa yang terjadi justru kita semakin memperkuatnya. Ibarat menambahkan api ke dalam api yang sudah menyala. Sikap-sikap batin yang kelihatannya seolah-olah tak berbahaya ini pada akhirnya akan memunculkan faktor-faktor batin yang memang berbahaya, seperti kemarahan, kecemburuan, dst. Berikutnya, di bawah pengaruh faktor-faktor batin yang berbahaya ini, kita mengumpulkan karma-karma yang akan menuntun pada penderitaan.

Lebih lanjut, di bahwa pengaruh sikap-sikap batin yang berbahaya tersebut, kita terancam dari pencapaian tujuan kita. Misalnya, seseorang yang sangat malas, atau perhatiannya selalu teralihkan, dst. Jadi, ia tidak bisa mencapai tujuan apa pun, baik tujuan spiritual maupun aktivitas duniawi. Sikap-sikap batin yang berbahaya itu mencegah kita untuk mencapai apa yang ingin kita capai, apakah itu dalam belajar, bekerja, dsb.

Sikap-sikap batin yang mengandung kekerasan telah mengambil wujud yang berbeda dan bersifat membahayakan bagi kita. Walau demikian, terlepas dari sulitnya kita mengenali mereka karena sudah berubah bentuk, kita terlena oleh efek jangka pendek berupa perasaan-perasaan menyenangkan dan sensasi-sensasi yang enak yang kita rasakan. Kita menderita rabun jauh sehingga tidak bisa melihat jauh ke depan. Kita hanya berhenti pada efek jangka pendek yang terpampang di hadapan kita, dan tidak menyadari efek jangka panjang ke depan. Inilah yang menyebabkan kita menciptakan karma-karma buruk yang berakibat segala jenis penderitaan yang harus kita alami, satu demi satu.

Untuk alasan inilah, penting sekali bagi kita untuk mengenali berbagai sikap batin yang negatif dan berupaya untuk menghindarinya. Kita harus membangkitkan tekad yang kuat untuk menghindarinya, untuk menyerah kepadanya, untuk tidak terlena olehnya. Kalau kita berhasil melakukannya, dengan cara merenungkan kerugian-kerugiannya, maka kita akan bisa mengendalikan diri kita. kita akan bisa mengendalikan batin kita sendiri dan menghindari sikap-sikap bawah sadar yang berbahaya, seperti kemarahan, kemelekatan, dan kebodohan batin.

Semakin kita bisa mengurangi sifat-sifat buruk di dalam diri kita, semakin kita bisa mengembangkan kualitas-kualitas kebalikannya, yaitu kualitas-kualitas bajik kita akan tumbuh.

[sampai di sini ada bagian yang terpotong karena gangguan koneksi]

Lebih lanjut, semakin kita bisa mengurangi kebodohan batin, semakin kita bisa menambah pemahaman kita, yakni semakin memahami realitas sebagaimana adanya, serta kaitannya dengan makhluk lain. Kita akan melihat kenyataan bahwa sesungguhnya kita berhutang kepada pihak lain, kebaikan-kebaikan yang selama ini sudah kita terima dari semua pihak. Semakin kita memahami kenyataan ini, semakin kecil ruang di dalam batin kita untuk munculnya pemikiran untuk menyakiti orang lain. Sebaliknya, kita akan semakin menyadari bahwa betapa mereka sangat penting bagi kita. Semua kebaikan yang sudah dan akan terus kita terima dari semua pihak.

[sampai di sini ada bagian yang terpotong karena gangguan koneksi]

……dibutuhkan waktu untuk mengatasi sikap dan kebiasaan buruk. Walau demikian, tugas mengatasi sikap dan kebiasaan buruk adalah sesuatu yang bisa dicapai.

Ketika kita merasa marah, barangkali ada benarnya kalau setelah dilepaskan kita akan merasa lebih lega, tapi….. [sampai di sini ada bagian yang terpotong karena gangguan koneksi]

Berdasarkan kutipan yang sudah diberikan di atas mengenai konsep tanpa kekerasan, ada dua tingkat kekerasan yang bisa kita alami:
1)Penderitaan di alam-alam rendah di dalam samsara
2)Penderitaan di dalam samsara secara keseluruhan

Sikap tanpa kekerasan melindungi kita dari kedua jenis akibat di atas. Pada level pertama, kita bisa melindungi diri dari penderitaan di alam-alam rendah dengan cara menghindari 10 perbuatan tak bajik (10 jalan karma hitam). Dengan menjalankan ini, kita akan terhindar dari kejatuhan di alam-alam rendah di dalam samsara serta terhindari dari penderitaan-penderitaan yang harus dijalani di sana.

Level berikutnya, adalah semacam keinginan atau niat yang memungkinkan kita untuk memahami realita sebagaimana adanya. Dengan kata lain, penembusan kesunyataan. Inilah yang akan melindungi dari penderitaan samsara secara keseluruhan. Inilah bentuk tanpa kekerasan yang lebih unggul, yang melindungi kita dari segala macam penderitaan samsara, termasuk penderitaan-penderitaan yang sifatnya halus.

Kutipan Aryadewa lanjut mengatakan: hasil dari tanpa kekerasan dalam bentuk penembusan kesunyataan akan melindungimu dari penderitaan lingkaran keberadaan. Inilah inti atau ajaran khusus dari Buddha.

Sekarang saya sudah menjelaskan dengan ringkas apa yang dimaksud dengan prinsip tanpa kekerasan di dalam Buddhisme. Sebenarnya, tanpa kekerasan adalah konsep yang luas dan dalam, mencakup banyak hal. Dari apa yang sudah saya jelaskan, terserah kepada Anda masing-masing untuk memaknainya. Jika Anda merasa apa yang saya jelaskan masuk akal dan berharga, berarti Anda harus mencoba menerapkannya. Artinya, menjalani hidup dengan prinsip tanpa kekerasan. Jika Anda merasa apa yang telah saya jelaskan tidak benar dan tidak sesuai, maka silahkan diabaikan saja.

Demikian penjelasan saya dari sudut pandang Buddhisme, yakni bagaimana Buddhisme memandang fenomena atau konsep. Dari penjelasan ringkas ini, seandainya ada yang mau bertanya, silahkan.

Sedikit kesimpulan dari apa yang sudah saya sampaikan. Kita bisa mempraktikkan prinsip tanpa kekerasan dan hasilnya:
1)Kita akan terlindungi dari kejatuhan ke alam-alam rendah di dalam samsara.
2)Kita akan terlindungi dari penderitaan samsara secara keseluruhan.
Tambahan, kita juga bisa menerapkan prinsip tanpa kekerasan dalam keseharian. Hasilnya, hidup kita lebih mudah dan segala sesuatu berjalan lebih lancar.

Tanya-jawab

[Pertanyaan 1 & 2 tidak bisa diterima dengan baik]

Penjelasan Rinpoche membuat saya bertanya-tanya tentang aksi-aksi ketidakpatuhan sipil, demo-demo damai, aksi protes. Bagaimana Buddhisme memandang aksi-aksi ini? Apakah kita boleh mengungkapkan pendapat tanpa menggunakan kekerasan?

Kalau pertanyaan Anda mengarah pada politik, maka saya harus katakan bahwa politik yang sesungguhnya adalah politik yang tidak membahayakan. Politik yang ideal seharusnya dimotivasi oleh keinginan untuk menolong sebuah negara atau masyarakat di mana seseorang berada, bukan untuk bersaing mendapatkan kekuasaan. Apabila tujuan politik semata-mata demi memperoleh kekuasaan, maka inilah yang akan memunculkan masalah besar. Sebaliknya, politik seharusnya berkeinginan menciptakan perubahan ke arah lebih baik, melakukan perkembangan yang positif yang akan memberikan manfaat kepada orang banyak.

Dengan demikian, politik tidak melibatkan kemarahan, kebencian, dst. Setiap orang berhak untuk memiliki pendapat dan mengungkapkannya. Apalagi kalau pendapat itu ditujukan untuk perbaikan dan perkembangan demi orang lain, bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, kekuasaan, dst. Politik yang benar sesungguhnya sangat positif, bermanfaat, dan sangat membantu.

Jadi, dari sudut pandang Buddhisme, silahkan melakukan demo sebanyak-banyaknya dan serukan slogan-slogan Anda, apa pun itu, selama tidak ada kemarahan di dalam batin Anda ketika melakukannya. Kalau dilakukan dengan sikap yang baik dan benar, aksi Anda barulah akan produktif dan membuahkan hasil yang bermanfaat. Jadi, jangan sampai Anda memprotes dan mengkritik semata-mata karena senang memprotes dan mengkritik saja. Sebaiknya ada tujuan yang konstruktif di balik protes dan kritik Anda. Tapi, sekali lagi, jangan lupa bahwa jaga jangan sampai ada kemarahan di dalam batin Anda dan tidak ada tindak kekerasan yang terlibat. Jagalah batin Anda senantiasa tidak menyerah pada kemarahan, terutama dalam situasi-situasi sulit seperti itu.

Apakah seseorang yang melakukan kekerasan fisik pada dirinya sendiri bisa mencapai pembebasan?

Tidak, saya rasa tidak bisa. Ketika seseorang melakukan tindak kekerasan fisik pada dirinya sendiri, bisa jadi ada semacam rasa lega dari tekanan tinggi yang kemudian diterjemahkan menjadi semacam pembebasan. Padahal sebenarnya tidak ada. Lagian, itu sudah pasti bukan pembebasan. Saya mohon Anda semua untuk hati-hati menggunakan istilah, apalagi istilah pembebasan. Kata ini mengandung makna penting dan mendalam, sehingga janganlah kita menggunakannya untuk hal-hal kecil karena kata itu kemudian kehilangan maknanya. Kalau sudah demikian, tentu sangat disayangkan. Contoh, kalau ada orang yang kebelet kemudian pergi ke toilet, setelah selesai ia merasa lega, tentu ini bukan pembebasan. Jangan sampai kita menggunakan istilah pembebasan untuk konteks seperti ini.

Bagaimana Buddhisme memandang tindakan bunuh diri?

Menurut etika Buddhis, tindakan bunuh diri termasuk membunuh. Tentu saja, tindakan membunuh adalah tindakan yang sangat negatif dan mengandung konsekuensi berat karena melibatkan pengambilan nyawa. Walaupun dalam kasus bunuh diri yang diambil adalah nyawa diri sendiri, yang barangkali dirasa berhak oleh orang yang melakukannya selaku pemilik nyawanya sendiri, tapi nyawa tetap nyawa. Dan tindakan bunuh diri tetap mengandung konsekuensi berat dan menciptakan karma buruk yang berat. Karma buruk ini pada gilirannya mengakibatkan penderitaan besar pada kehidupan orang ini selanjutnya.

Tindakan bunuh diri, sama dengan tindakan apa pun juga, sekali dilakukan, maka kita akan memiliki kecenderungan/ potensi untuk mengulangi tindakan yang sama. Begitu sebuah karma dilakukan, kita akan cenderung mengulanginya. Jadi, seseorang yang sudah pernah melakukan bunuh diri akan lebih gampang melakukan bunuh diri lagi. Demikian seterusnya hingga terbentuk lingkaran setan.

Bagaimana kita memandang tragedi yang menimpa bangsa Tibet?

Bangsa Tibet harus mengalami tindak kekerasan dari bangsa lain, ini jelas merupakan akibat dari karma, yakni karma bangsa Tibet itu sendiri. Secara khusus, karma tindak kekerasan yang dilakukan oleh bangsa Tibet yang akhirnya berbuah dalam bentuk tindak kekerasan pada kehidupan saat ini. Demikianlah kita bisa memahami apa yang terjadi dengan bangsa Tibet. Sedikit tambahan, apa yang menimpa bangsa Tibet terjadi karena ketika itu kami tidak memahami bagaimana cara menghindari peristiwa seperti itu.

Bagaimana kita mengetahui apa yang baik dan benar untuk diri kita?

Cara mengetahui apa yang baik buat diri sendiri adalah dari apa yang sudah saya jelaskan tadi. Kita harus mengurangi respon-respon negatif di dalam batin, yakni mengurangi frekuensi dan intensitasnya. Kita harus berupaya menghindari menyakiti makhluk lain. Di sisi lain, kita juga harus berjuang meningkatkan kebahagiaan dengan cara meningkatkan sifat-sifat bajik dan positif.

******

Saya sungguh senang bisa memiliki kesempatan berbicara dengan Anda sekalian mengenai topik tanpa kekerasan. Terima kasih Anda semua sudah bersedia datang dan menyimak dengan penuh perhatian. Saya ulangi, proses mengembangkan sikap-sikap baik hingga tanpa kekerasan yang murni, adalah sebuah proses. Tidak bisa dicapai dalam waktu satu malam. Selama kita mau berupaya dan berusaha, lambat tapi pasti, sikap kekerasan akan semakin berkurang dan hati yang baik akan semakin berkembang. Ini adalah tujuan yang bisa dicapai dan saya sangat menyarankan Anda semua untuk meraihnya. Hasilnya akan sangat bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun semua pihak.

Dengan upaya sedikit demi sedikit, kita semakin mudah menerapkan prinsip-prinsip tanpa kekerasan, dengan cara-cara yang telah dijelaskan. Hasilnya pun akan sangat baik sekali, bagi diri Anda sendiri dan orang lain. Untuk mengikuti nasihat ini, Anda tidak harus menjadi seorang Buddhis. Anda semua tidak perlu ganti agama. Kalau ingin dilakukan, ya langsung lakukan saja.

Terakhir, proses menerapkan prinsip-prinsip tanpa kekerasan haruslah dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Setelah itu, barulah kita menerapkannya pada orang-orang dekat kita, mulai dari keluarga, rekan kerja, kenalan, dan seterusnya, hingga akhirnya mencakup semua makhluk dan kita bisa menerapkan prinsip-prinsip tanpa kekerasan secara universal.

Terima kasih. Sampai jumpa segera.

[C.Jayawardhani]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *