Nantes Sesi 2: Bulan yang Tak Perlu Berpikir

  • April 10, 2012
Transkrip Webcast Nantes
“Kebahagiaan Universal”
Nantes, 30 Maret – 1 April 2012
Sesi 2 [20:00 – 22:30 WIB]

 

Memperbaiki Motivasi

Tadi pagi kita sudah membangkitkan motivasi yang bajik, tapi kita sudah beristirahat untuk waktu yang relatif lama. Dalam masa jeda tersebut, sangat mungkin sekali segala bentuk pemikiran sudah muncul di dalam batin kita. Akibatnya, motivasi awal kita tadi barangkali sudah merosot. Jadi, pertama-tama, marilah kita memperbaiki motivasi terlebih dahulu, sebelum kita menjalani sesi ini.

Untuk memperbaiki motivasi, bagi Anda yang buddhis, setidak-tidaknya yang harus kita renungkan adalah kita sudah memiliki kemuliaan terlahir sebagai manusia yang bebas dan beruntung. Kita tidak boleh menyia-nyiakannya, tapi justru harus bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Caranya adalah berjuang untuk mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna sehingga bisa bekerja demi semua makhluk, untuk menuntun mereka pada kebahagiaan sejati. Itulah sebabnya kita berada di sini untuk mendengarkan, merenungkan, dan memeditasikan ajaran.

Bagi yang bukan buddhis, Anda harus berpikir bahwa Anda sudah mendapatkan kesempatan luar biasa, yakni Anda sudah memiliki batin seorang manusia. Dengan demikian, Anda memiliki peluang untuk melakukan sesuatu yang bermakna, dengan cara menolong dan berbaik hati kepada sebanyak-banyaknya makhluk hidup di dunia ini. Untuk menolong dan berbaik hati kepada orang lain, Anda perlu meningkatkan kemampuan diri sendiri. Itulah sebabnya Anda berada di sini untuk mendengarkan ajaran.

[ 3 menit untuk membangkitkan motivasi ]

Rangkuman Sesi Sebelumnya : Kemelekatan pada Kehidupan Saat Ini

Kita sudah melihat bagaimana kemelekatan pada kehidupan saat ini merupakan penghalang besar. Saya sudah menjelaskan penawar untuk kemelekatan ini tahun lalu. Tapi saya akan jelaskan lagi sebagai pengingat bagi kita semua. Penawar bagi kemelekatan pada kehidupan saat ini adalah perenungan pada kemuliaan terlahir sebagai manusia yang bebas dan beruntung, merenungkan betapa sulitnya kehidupan seperti itu diperoleh, serta perenungan pada kematian dan ketidak-kekalan. Penawar-penawar itulah yang akan melepaskan kita dari cengkraman kemelekatan pada kebaikan-kebaikan yang ditawarkan oleh kehidupan saat ini.

Lanjutan Sesi Ini: Kemelekatan pada Kebahagiaan Samsarik

Berikutnya, masih ada resiko kita melekat pada kebahagiaan-kebahagiaan samsarik secara keseluruhan. Satu-satunya penawar pada kemelekatan ini adalah merenungkan kerugian-kerugian atau sisi-sisi negatif samsara secara keseluruhan. Dengan demikian, pada akhirnya kita akan sanggup membangkitkan rasa penolakan terhadap samsara secara keseluruhan.

Kenyataan yang terkandung pada kebahagiaan samsarik, baik itu kebahagiaan fisik maupun mental, sesungguhnya berbuah pada faktor mental perasaan. Kesejahteraan fisik dan mental itu dapat kita rasakan pada faktor mental perasaan, artinya kebahagiaan fisik dan mental memang eksis. Namun, permasalahan pada kebahagiaan samsarik adalah kita tidak akan pernah merasa cukup! Semakin kita menikmatinya, semakin kita tidak puas, dan selalu mengharapkan lebih dan lebih. Semakin kita menurutkan nafsu, semakin kita merasa tak puas.

Semakin kita mendapatkan sesuatu, semakin kita menginginkan lebih banyak lagi. Walaupun kita sudah mendapatkan kehidupan yang bahagia dan bisa menikmati banyak hal, menikmati saat-saat yang menyenangkan, merasakan kenyamanan fisik dan batin, tapi waktu keseluruhan untuk menikmati semua hal tersebut sangatlah singkat. Walaupun seseorang berumur panjang, tidak mungkin ia bisa menikmati hidup dari awal hingga akhir. Seiring dengan seseorang bertambah tua, maka kemampuannya untuk menikmati hidup pun berkurang. Paling maksimal, kalau pun seseorang berumur panjang, ia bisa menikmati hidup selama 60 hingga 70 tahun saja.

Kebahagiaan Samsarik Juga Tidak Mencukupi

Kalaupun kita berhasil mendapatkan kelahiran di alam bahagia pada kehidupan berikutnya, seperti yang sudah kita dapatkan sekarang, apakah itu sebagai manusia atau dewa, dan sekali lagi kita bisa menikmati kesenangan-kesenangan samsarik, namun tetap saja kita harus terlebih dulu mengalami proses kematian yang menyakitkan. Berikutnya, kita akan mengalami penderitaan akibat proses kelahiran. Seterusnya, dalam kehidupan berikutnya itu, waktu bagi kita untuk menikmatinya juga sama terbatasnya. Paling lama yang bisa kita nikmati adalah selama 60 hingga 70 tahun. Itu pun kalau kita cukup beruntung.

Bukan berarti pula dalam kelahiran di alam yang baik tersebut kita terus-menerus mengalami momen-momen yang menyenangkan. Di sepanjang hidup, kita akan mengalami sakit, ketidak-nyamanan, rasa frustrasi karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, dan sebagainya. Kita senantiasa mengalami penderitaan-penderitaan yang tidak diinginkan, kemalangan yang terjadi mendadak, dan seterusnya.

Situasi seperti ini tentu tidak bisa memberikan kepuasan. Walaupun kita sudah berhasil mendapatkan kelahiran yang baik dan menikmati kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh kehidupan tersebut, tapi kita justru akan memperkuat nafsu keinginan. Pada akhirnya, kita melekat pada kesenangan-kesenangan tersebut. Kalau sampai kita membiarkan timbulnya kemelekatan, maka apa yang kita lakukan sesuangguhnya menciptakan karma-karma untuk terjerumus ke alam rendah.

Jebakan Kemelekatan pada Kebahagiaan Samsarik

Semakin kita tidak bisa mengendalikan kemelekatan, semakin kita menciptakan sebab-sebab untuk terlahir di alam rendah. Sebab-sebab inilah yang pada gilirannya akan benar-benar menjerumuskan kita ke alam rendah. Kalau sudah demikian, maka kita dipastikan harus mengalami siksaan penderitaan alam rendah untuk waktu yang sangat lama.

Lebih lanjut, kadang-kadang kita marah. Di lain waktu, kita cemburu. Tindakan apa pun yang kalau dilakukan berdasarkan kilesa ini akan menciptakan karma-karma untuk terlahir kembali di alam rendah. Kalau kita terus-menerus menciptakan karma-karma buruk untuk terlahir kembali di alam rendah, maka suatu hari nanti pasti kita benar-benar terlahir di sana!

Untuk mem-verifikasi proses ini, yang perlu kita lakukan adalah mengamati batin kita sendiri. Pikirkanlah, seberapa sering kita merasakan iritasi, marah, dan kemelekatan yang timbul di dalam batin kita. Dalam waktu satu hari, berapa kali pikiran-pikiran buruk tersebut muncul? Tentu saja itu semua bukannya tanpa konsekuensi. Tindakan fisik, ucapan, atau batin apa pun, yang didorong oleh faktor mental negatif atau kilesa, maka itu akan memicu kita menciptakan karma-karma untuk terlahir kembali di alam rendah.

Karma-karma buruk itu semakin menambah tumpukan karma buruk yang sudah sedemikian banyaknya. Itulah kondisi kita sekarang ini, yaitu menambah tumpukan karma buruk yang sudah menggunung. Ini adalah sesuatu yang perlu kita sadari. Tumpukan karma-karma buruk inilah yang akan memaksa kita untuk terlahir di dalam samsara secara keseluruhan, dan utamanya menjerumuskan kita ke alam rendah.

Kalau kita renungkan baik-baik dan menyeluruh, hingga akhirnya benar-benar paham akan situasi di mana kita berada sekarang ini, berikut proses-proses yang terlibat di dalamnya, maka cepat atau lambat akan muncul niat murni untuk terbebaskan dari samsara. Inilah yang disebut sebagai kualitas “penolakan samsara.”

Membangkitkan Penolakan Samsara

Jadi, dengan merenungkan kerugian-kerugian samsara, yang dipadukan dengan konteks kepastian karma dan akibat-akibatnya, yang direnungkan berulang-ulang, maka kita akan mampu mengatasi kemelekatan terhadap samsara secara keseluruhan. Sebagai lawan dari kemelekatan, kita justru akan membangkitkan niat untuk terbebaskan darinya.

Kalau sudah demikian, tindakan apapun yang terinspirasi oleh penolakan samsara, yakni niat untuk terbebaskan dari samsara, maka itu akan menjadi sebab-sebab untuk mencapai pembebasan total dari lingkaran eksistensi secara keseluruhan.

Memotong Akar Samsara

Akan tetapi, realisasi penolakan samsara yang spontan saja belum cukup untuk benar-benar membebaskan kita dari samsara. Aspirasi itu bukan merupakan antidot langsung terhadap samsara, dalam artian belum benar-benar memotong akar samsara. Mengapa demikian? Karena akar samsara adalah sifat mencengkram adanya diri atau aku yang berdiri sendiri, di mana diri atau aku yang demikian sesungguhnya tidak eksis.

Aspirasi mencapai pembebasan dari samsara atau penolakan samsara tidak secara langsung melawan pandangan akan diri yang keliru ini. Oleh karenanya, ia tidak bisa berfungsi sebagai antidot langsungnya. Ia tidak bisa memotong akar samsara, yakni pandangan didapatkan yang mencengkram adanya aku yang berdiri sendiri. Antidotnya haruslah berupa pandangan yang melawan pandangan keliru tersebut langsung pada sifat kebalikannya.

Dengan kata lain, untuk membebaskan diri Anda dari samsara, yaitu niat untuk mencapai pembebasan dari samsara secara keseluruhan, Anda harus mengembangkan kebijaksanaan yang memahami diri atau aku yang tidak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri. Anda perlu memahami bagaimana cara diri atau aku tersebut eksis. Yakni, ia adalah fenomena yang bergantung pada fenomena lain serta tidak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri.

Eksistensi diri atau aku yang sesungguhnya ini berkebalikan dengan apa yang kita lihat sekarang. Kita perlu memahami modus eksistensi diri yang tertinggi, yang sudah dijelaskan tadi pagi.

Kalau Sudah Bebas dari Samsara, Apakah Tugas Kita Sudah Selesai?

Melawan samsara dengan cara seperti ini akan menghancurkan samsara kita, yakni menghancurkan sebab-sebabnya. Dengan cara demikian, barulah kita bisa membebaskan diri dari samsara dan meraih kebahagiaan yang stabil. Tapi, kalau kita sudah mencapai pembebasan samsara, apakah itu berarti tugas kita sudah selesai? Jawabannya, tidak! Karena kita masuh memiliki cela atau noda mental, yang berarti batin kita belum dikembangkan hingga sempurna. Di sisi lain, kita juga belum mengembangkan kualitas-kualitas bajik hingga ke tingkat yang paling sempurna pula.

Begitu kita sudah menghancurkan akar samsara dan memahami sifat sejati akan diri atau aku, maka kita sudah mencapai tingkat Arahat. Pencapaian tingkat Arahat ini adalah pencapaian yang sangat berharga, sebuah pencapaian yang luar biasa. Pada tingkat Arahat ini seseorang sudah menikmati kebahagiaan yang stabil.

Akan tetapi, seorang Arahat belum bisa mencerap semua fenomena sesuai dengan dua tingkat kebenarannya, yaitu kebenaran konvensional dan kebenaran tertinggi, secara bersamaan. Seorang Arahat belum bisa mencerap semua fenomena sebagaimana adanya, pada saat bersamaan sekaligus. Seorang Arahat juga belum mengembangkan welas asih agung yang menjangkau semua makhluk yang senantiasa menderita, siang dan malam.

Seorang Arahat belum bisa mencerap penderitaan semua makhluk secara terus-menerus. Karena, semua makhluk agung dan semua arya di luar seorang Buddha, apakah itu Arya Arahat atau Arya lainnya, ketika mereka sedang mencerap kesunyataan atau ketanpa-aku-an, yang merupakan modus eksistensi yang tertinggi, tidak bisa mencerap kebenaran konvensional pada saat yang bersamaan sekaligus. Akibatnya, para Arya di luar Arya Buddha, tidak bisa mencerap penderitaan semua makhluk ketika mereka sedang tercerap dalam kesunyataan.

Kedua jenis kebenaran ini tidak bisa berjalan sekaligus pada saat yang bersamaan. Ketika mereka sedang mencerap kebenaran tertinggi, mereka tidak bisa mencerap kebenaran relatif. Sama halnya, ketika sedang mencerap kebenaran relatif, mereka tidak bisa mencerap kebenaran tertinggi. Semua Arya, terkecuali seorang Buddha, memiliki welas asih yang masih terbatas.

Seseorang bisa saja memiliki welas asih di dalam batinnya, tapi pada saat ia memeditasikan kesunyataan, ia tidak bisa mencerap penderitaan semua makhluk ketika ia benar-benar terserap ke dalam meditasi kesunyataan tersebut. Kedua jenis kebenaran ini tidak bisa hadir bersamaan, yaitu kebenaran tertinggi dan kebenaran relatif. Ketika ia sudah bangkit atau keluar dari meditasi kesunyataannya, barulah ia bisa memancarkan welas asih agung kepada semua makhluk, berdasarkan pada kesadarannya akan penderitaan makhluk-makhluk di sekelilingnya.

Kesadaran akan penderitaan semua makhluk yang mendorong timbulnya welas asih muncul setelah keluar dari meditasi yang mencerap kesunyataan. Ketika ia sedang memeditasikan kesunyataan atau ketanpa-aku-an maka ia berada dalam kondisi meditatif yang merupakan aspek kebijaksanaan.

Supremasi Kebuddhaan

Seorang makhluk yang senantiasa, terus-menerus mencerap modus eksistensi fenomena yang tertinggi, yakni kesunyataan, sekaligus mencerap kebenaran konvensional, adalah karakteristik khusus yang hanya dimiliki oleh seorang Buddha. Semua makhluk yang belum mencapai Kebuddhaan, tidak memiliki kemampuan untuk mencerap kedua jenis kebenaran, relatif dan tertinggi, pada saat yang bersamaan.

Karena Buddha mampu mencerap semua fenomena sekaligus, secara langsung, maka Beliau terus-menerus mencerap semua makhluk di dalam samsara yang sedang menderita. Welas asih seorang Buddha setara dan konstan. Beliau senantiasa, setiap saat, mencerap semua makhluk. Oleh karena itu, batin seorang Buddha senantiasa diwarnai oleh welas asih agung.

Selama masih ada makhluk yang menderita, maka selama itu pula Buddha memancarkan welas asih agung. Penderitaan semua makhluk merupakan objek yang disadari atau diketahui oleh semua Buddha.

Jadi, sejauh menyangkut kualitas batin seorang Buddha, kita akan menemukan perbedaan yang sangat besar sekali antara seorang Buddha dan non-Buddha, termasuk Arahat sekalipun. Selain kualitas batin, ditinjau dari aktivitas atau kekuatan seorang Buddha dan non-Buddha, perbedaannya juga sangat besar sekali.

Aktivitas seorang Buddha bersifat terus-menerus, spontan, dan tanpa upaya. Ini adalah karakteristik aktivitas yang khas dan spesifik pada seorang Buddha. Bahkan makhluk-makhluk yang sudah berada di tahap akhir, satu tahap sebelum mencapai Kebuddhaan, dengan kata lain Bodhisattva pada tahapan akhir bhumi kesepuluh, masih harus mengeluarkan upaya untuk melakukan aktivitas-aktivitas mereka. Tentu saja, upaya yang dikeluarkan tergolong kecil atau minor. Tapi mereka tetap harus mem-formulasikan niat untuk melakukan hal-hal tertentu, yang ditujukan kepada makhluk-makhluk tertentu.

Aktivitas seorang Buddha, di sisi lain, sudah tidak membutuhkan upaya sekecil apa pun juga. Aktivitas seorang Buddha berlangsung terus-menerus, spontan, dan tanpa upaya. Aktivitas Buddha yang terus-menerus dan spontan berfungsi kapan pun Beliau melihat ada makhluk yang sudah siap dan matang untuk menerima manfaat dari aktivitas seorang Buddha. Beliau akan langsung bertindak demi makhluk tersebut, tanpa memerlukan pemikiran atau keputusan apa pun dari pihak Buddha. Buddha tidak perlu berpikir, “Saya akan melakukan ini dan itu untuk makhluk yang ini dan itu.” Tapi seketika itu juga, aktivitas Buddha serta-merta akan terlaksana dengan sendirinya, kapan pun seorang makhluk sudah siap atau matang untuk menerima manfaat tersebut.

Bulan yang Tak Berpikir

Analogi yang digunakan untuk menggambarkan proses ini adalah rembulan yang bersinar terang setiap penanggalan 15 atau bulan purnama. Di mana pun terdapat genangan air, apakah itu besar maupun kecil, bahkan sekecil setetes embun, selama genangan air tersebut tidak keruh, jernih, dan tidak suram, maka seketika itu juga bayangan rembulan akan terpantul pada genangan air tersebut. Rembulan tidak perlu berhenti dan berpikir, “Sekarang, saya akan memancarkan pantulanku di air tersebut.” Selama dua kondisi yang mendukung tersebut telah bertemu, maka genangan rembulan akan serta merta terpantul, selama air tersebut jernih.

Perbedaan antara Arahat dengan Buddha

Ada perbedaan yang sangat besar sekali antara kualitas seorang Arahat dan Buddha, ditinjau dari sudut atau aspek mana pun. Apakah itu dari kualitas pengetahuan/ kebijaksanaan, welas asih, hingga aktivitas. Tinjauan dari sudut mana pun akan terlihat betapa besar perbedaan kualitas di antara keduanya.

Salah satu perbedaan krusial yang sangat besar antara seorang Arahat dengan Buddha terletak pada kualitas persepsi-nya. Hanya seorang Buddha yang mampu mencerap kedua jenis fenomena sekaligus, baik fenomena tertinggi maupun konvensional, sekaligus pada saat yang bersamaan. Ini hanya berlaku pada seorang Buddha. Semua makhluk yang belum mencapai Kebuddhaan tidak memiliki kemampuan ini.

Kalau kita membahas tentang Buddha, kebanyakan orang akan membayangkan sosok yang nun jauh sekali. Sosok yang tinggal di alam Buddha. Karena Buddha tinggal di alamnya sendiri, tentu saja ada yang berpikir Buddha bukanlah sosok yang dekat. Tapi, sesungguhnya bukan demikian halnya. Justru sebaliknya, Buddha senantiasa mengetahui dan menyadari keberadaan kita semua.

Buddha mengetahui persis apa yang sedang terjadi pada semua makhluk, termasuk kita. Apakah kita bahagia atau tidak bahagia. Apakah pikiran bajik sedang muncul di dalam batin kita atau pikiran-pikiran lainnya. Buddha senantiasa memikirkan semua makhluk, dalam semua aspek. Dengan demikian, kita bisa memahami betapa Buddha adalah sosok yang sangat sangat dekat sekali dengan kita.

Buddha tidak hanya mengetahui dengan tepat apa yang sedang terjadi pada kita, tapi Buddha senantiasa mengkhawatirkan kebahagiaan dan kesejahteraan kita. Buddha senantiasa berharap kita bahagia. Beliau berharap kita berhenti berperilaku seperti ini dan itu. Jadi, Buddha senantiasa mencemaskan kita, dan memikirkan kesejahteraan serta kebahagiaan kita. Buddha selalu berharap bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk membuat kita bahagia.

Contoh, ketika kilesa muncul di dalam batin kita, apa pun jenis kilesanya, Buddha akan merasa bahwa itu adalah sesuatu yang amat disayangkan. Buddha berpikir, “Aduh! Sayang sekali. Orang ini yang sudah berputar-putar di dalam samsara, kalau dia membiarkan kilesa muncul di batinnya, maka dia akan menciptakan karma yang akan melemparkannya pada kelahiran di dalam samsara, serta menjerumuskannya ke alam rendah. Sungguh amat disayangkan kalau dia terus-menerus menciptakan karma yang akan mengakibatkan penderitaannya. Seandainya bukan demikian halnya.” Jadi, Buddha senantiasa memikirkan kita!

Di sisi lain, kapan pun kita melakukan tindakan yang bajik, misalnya munculnya sebuah pikiran bajik dan berdasarkan pikiran ini kita kemudian terdorong untuk melakukan kebajikan, apakah itu melalui tindakan fisik, ucapan, maupun mental, maka itu akan membuat Buddha merasa senang. Buddha akan bersuka-cita pada kebajikan tersebut, karena Buddha tahu persis apa konsekuensi yang akan didapatkan oleh orang yang melakukan kebajikan itu. Seseorang yang melakukan kebajikan akan menerima hasil yang baik pula.

Kita tentu paham bagaimana perasaan orang tua pada anak-anaknya yang berkelakuan baik. Orang tua akan merasa bangga pada anak-anaknya tersebut. Biasanya orang tua akan bercerita tentang anak-anaknya kepada orang lain, berbagi cerita mengenai prestasi anaknya, dan sebagainya. Orang tua akan semakin menyayangi anaknya. Namun, seorang Buddha menyayangi kita jauh lebih kuat intensitasnya, berkali-kali jauh lebih kuat dibandingkan orang tua yang menyayangi anaknya.

Itu sebabnya dikatakan bahwa menghasilkan kebajikan dan berkelakuan baik merupakan persembahan yang unggul kepada para Buddha. Tindakan ini dan hanya tindakan seperti inilah yang akan menyenangkan para Buddha. Inilah yang benar-benar membangkitkan sukacita di dalam batin mereka.

Di atas Kepala Semua Makhluk Masing-masing Ada Satu Buddha

Barangkali penjelasan yang diberikan ini kelihatannya tidak berkaitan langsung dengan topik kita. Untuk lebih memahami penjelasan tadi, ada sebuah instruksi yang diwariskan oleh guru-guru besar masa lampau. Mereka mengatakan bahwa di atas kepala kita masing-masing sekarang, ada seorang Buddha. Itu adalah satu cara untuk menjelaskan betapa Buddha senantiasa menyadari apa yang kita lakukan, baik maupun buruk. Buddha senantiasa memikirkan kita, dan memancarkan welas asih agung dan cinta kasih agung. Beliau senantiasa mengingingkan hal-hal yang baik terjadi pada kita.

Jadi, demikianlah perbedaan radikal antara seorang Buddha dengan non-Buddha. Buddha mencerap semua fenomena pada dua level kebenara sekaligus, baik konvensional maupun tertinggi, secara langsung dan pada saat bersamaan. Ini adalah kemampuan yang mustahil dimiliki oleh mereka yang belum mencapai Kebuddhaan. Mereka bisa mencerap kebenaran tertinggi atau kesunyataan, tapi tidak bisa mencerap kebenaran konvensional pada saat yang bersamaan. Demikian pula sebaliknya. Ketika mereka mencerap kebenaran konvensional, pada saat bersamaan mereka tidak bisa mencerap modus eksistensi yang tertinggi (kesunyataan).

Persepsi Unggul Seorang Buddha

Satu perbedaan lagi antara Buddha dengan non-Buddha. Selain pada kemampuan mencerap kedua jenis kebenaran sekaligus, ada satu hal lagi yang mencegah persepsi non-Buddha untuk memiliki persepsi yang unggul. Yakni, halangan yang bukan merupakan halangan kilesa, tapi berupa halangan bagi kemaha-tahuan.

Bagaimana hingga seorang Buddha mencapai modus persepsi yang terunggul? Seorang Buddha, sebelum mencapai Kebuddhaan, menjalani latihan yang panjang untuk waktu yang sangat lama. Calon Buddha ini memahami bahwa prakteknya harus diasosiasikan dengan dua aspek, yakni kebijaksanaan dan metode.

Dengan mengombinasikan kedua aspek tersebut, paralel antara yang satu dengan lainnya, maka ia pun bergerak maju di sepanjang jalan spiritual. Pada akhirnya, persepsinya bisa mencerap kebenaran relatif dan kebenaran tertinggi pada saat bersamaan.

Calon Buddha ini pada suatu titik menghasilkan dan membangkitkan Bodhicitta. Ia pun merealisasikan Bodhicitta yang berkaitan dengan kebijaksanaan. Artinya, aspek metode dan aspek kebijaksanaan saling bertautan satu sama lain. Kedua aspek ini hadir secara bersamaan pada calon Buddha yang sedang berlatih ini. Kehadiran dua aspek secara bersamaan ini merupakan ciri khas kendaraan Mahayana yang tidak terdapat pada kendaraan lain yang lebih kecil.

Di antara murid-murid yang lebih senior, tentu Anda paham apa yang dimaksud dengan metode. Tapi, barangkali di antara pendatang baru masih belum begitu jelas. Kualitas utama yang dirujuk di dalam aspek metode adalah Bodhicitta, yakni batin pencerahan. Selain itu, ada pula cinta kasih agung, welas asih agung, dan kelima Paramita pertama.

Aspek metode sepenuhnya berasosiasi dengan kebijaksanaan dan keduanya bergabung menjadi satu. Inilah praktek yang menghasilkan Kebuddhaan.

Kendaraan Intan

Jalan penyempurnaan kebijaksanaan dan metode saling berasosiasi satu sama lain. Namun, di dalam jalan Vajrayana (kendaraan intan), cara asosiasinya berbeda. Pada Vajrayana, di dalam satu persepsi tunggal kedua aspek tersebut hadir, bukan secara paralel. Jadi, ada satu persepsi tunggal yang menggabungkan kedua aspek metode dan kebijaksanaan.

Karena kemungkinan yang terdapat di dalam Kendaraan Intan, yaitu menggabungkan kedua aspek ke dalam satu persepsi tunggal, makanya disebut Vajrayana atau Kendaraan Intan. Alasan mengapa ada istilah Vajrayana atau Kendaraan Intan ini karena penggabungan kedua aspek ke dalam satu persepsi tunggal.

Bagaimana Cara Menjadi Seorang Buddha?

Jadi, kita sudah melihat perbedaan besar antara tingkat Kebuddhaan dengan tingkat Arahat. Apa yang menuntun pada pencapaian Kebuddhaan? Apa yang memungkinkan seorang makhluk mencapai Kebuddhaan? Sebagaimana yang sudah kita lihat, penembusan kesunyataan secara langsung akan mengakibatkan seseorang mencapai tingkat Arahat.

Sebelumnya, kita juga sudah melihat bahwa kualitas penolakan samsara akan menciptakan sebab-sebab untuk mencapai pembebasan dari samsara. Sama halnya, realisasi Bodhicitta akan mengakibatkan pencapaian Kebuddhaan. Ada atau tidaknya Bodhicitta yang merupakan faktor penentu apakah seseorang mencapai Kebuddhaan atau tidak.

Dasar dari pencapaian batin pencerahan adalah sikap yang mengutamakan orang lain. Dasar pertama dan utama dari Bodhicitta adalah sikap yang mengutamakan makhluk lain. Inilah persisnya sikap yang berlawanan dengan niat yang memotivasi Anda untuk meraih pembebasan pribadi. Niat untuk mencapai pembebasan pribadi inilah yang akan menuntun kita untuk mencapai pembebasan pribadi dari samsara.

Dengan cara seperti ini kita bisa memahami mengapa ada tiga kualitas, yakni penolakan samsara, Bodhicitta, dan pandangan unggul, di dalam Tiga Kualitas Utama pada tahapan jalan spiritual. Tanpa penolakan samsara yang spontan, kebajikan apa pun yang dilakukan tidak akan berfungsi sebab untuk meraih pembebasan dari samsara.

Sebenarnya, ada dua level penolakan samsara: 1) Penolakan terhadap kehidupan saat ini, 2) Penolakan terhadap samsara secara keseluruhan. Apa fungsi penolakan yang pertama? Kalau penolakan jenis pertama ini sudah direalisasikan, maka kita akan melepaskan diri dari kemelekatan terhadap hal-hal baik yang ditawarkan oleh kehidupan saat ini. Dengan demikian, semua kebajikan yang dilakukan akan memungkinkan kita meraih kelahiran kembali yang baik pada kehidupan berikutnya. Inilah yang kemudian melindungi kita dari alam rendah.

Kita harus menghentikan kemelekatan pada kehidupan saat ini. Dengan demikian, kebajikan yang dilakukan akan memungkinkan Anda menciptakan sebab-sebab untuk mendapatkan kelahiran yang baik di dalam samsara. Kalau kita sudah menciptakan sebab-sebab tersebut, maka otomatis kita terlindungi dari penderitaan terlahir di alam rendah.
Tapi, perlu diketahui bahwa sejak kita membangkitkan penolakan samsara secara keseluruhan barulah kita dikatakan menciptakan sebab-sebab untuk meraih pembebasan dari samsara. Sebagaimana yang sudah dilihat, sejak titik ini, kita menciptakan sebab-sebab untuk meraih pembebasan samsara. Akan tetapi, ini belum cukup untuk memotong akar samsara.

Untuk memotong akar samsara kita harus meraih pandangan unggul yang menembus ketanpa-aku-an atau kesunyataan, karena pandangan ini merupakan lawan kebalikan langsung dari akar samsara, yakni pandangan yang mencengkram adanya eksistensi yang berdiri sendiri. Karena pentingnya pandangan unggul ini maka ia merupakan salah satu dari tiga kualitas utama tahapan jalan spiritual.

Dari semua kualitas di atas, yakni penolakan samsara dan pandangan unggul, yang tentu saja merupakan kualitas yang luar biasa unggul, namun mereka belum mampu menghasilkan pencapaian Kebuddhaan. Untuk meraih Kebuddhaan, kita membutuhkan Bodhicitta. Itu sebabnya kita bisa menemukan Bodhicitta sebagai salah satu dari tiga kualitas utama pada tahapan jalan spiritual.

Ketika Anda mempraktekkan keduanya, penembusan kesunyataan dan batin pencerahan yang berharga, secara bersamaan, seiring-sejalan, maka inilah sebab untuk meraih kedua Kaya, yakni Dharmakaya dan Rupakaya. Sebab utama Dharmakaya adalah penembusan kesunyataan atau aspek kebijaksanaan. Sebab utama Rupakaya adalah aspek metode yang utamanya adalah batin pencerahan atau Bodhicitta.

Ketika seseorang merealisasikan penembusan kesunyataan yang terlepas dari batin pencerahan, itu akan menuntunnya pada pencapaian Arahat atau meraih tingkat Arahat. Tapi kalau penembusan kesunyataan ini dilanjutkan lagi dan digabungkan dengan batin pencerahan, maka kualitas penembusan kesunyataan yang sama akan menjadi sebab utama pencapaian Tubuh Kebenaran atau Dharmakaya seorang Buddha. Pada kedua kasus, mereka sama-sama berfungsi sebagai antidot bagi akar samsara. Tapi ketika diasosiasikan dengan Bodhicitta, kualitas tersebut berfungsi sebagai sebab utama untuk meraih Tubuh Kebenaran seorang Buddha.

Seseorang yang menapaki tahapan jalan dan berupaya mencapai Kebuddhaan harus menggabungkan kedua kualitas tersebut, yaitu penembusan kesunyataan dan Bodhicitta. Keduanya haruslah dipraktekkan secara dekat, berdampingan satu dengan lainnya. Karena dengan metode penggabungan seperti ini hasil akhirnya adalah persepsi yang mampu mencerap kedua jenis kebenaran sekaligus pada saat yang bersamaan.

[istirahat sejenak]

Apa Target Pencapaian Anda?

Dalam praktek kita, yang paling baik tentu saja kita harus menargetkan untuk meraih kebahagiaan tertinggi berupa pencapaian Kebuddhaan yang lengkap sempurna. Kalau belum bisa, maka alternatif kedua yang terbaik adalah mencapai kebahagiaan dalam bentuk pembebasan dari samsara secara keseluruhan. Tapi kalau ini belum bisa juga, maka target paling minimum yang harus kita upayakan adalah meraih kebahagiaan dalam bentuk kelahiran kembali yang baik di dalam samsara pada kehidupan berikutnya. Kalau target minimum ini tidak bisa juga, maka tidak ada gunanya kita terlahir sebagai manusia yang bebas dan beruntung pada kehidupan saat ini.

Metode-metode yang telah dijelaskan untuk meraih ketiga jenis hasil di atas telah dijelaskan dan dipadatkan di dalam Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan karya Guru Atisha. Banyak sekali kitab-kitab penjelasan dari instruksi tersebut yang sudah tersedia bagi kita, yaitu teks-teks Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi.

Keunggulan Guru Atisha

Cara Guru Atisha memadatkan semua ajaran Buddha menjadi satu jalan tunggal yang bisa dipraktekkan oleh berbagai jenis praktisi dengan beragam kapasitas adalah sesuatu yang luar biasa, mencengangkan, dan diagung-agungkan oleh para pandita besar India ketika itu. Mereka semua kagum dan tercengang dengan karya ini.

Para pandita besar India yang sezaman dengan Guru Atisha, ketika mereka melihat karya ini, walaupun mereka sendiri tidak membutuhkannya karena mereka memiliki kapasitas untuk memahami karya-karya lain yang lebih sulit, seperti kitab penjelasan Arya Nagarjuna, dan sebagainya, dan memahaminya tanpa membutuhkan penjelasan lebih lanjut; Namun, mereka tetap tercengang dengan karya yang disusun oleh Guru Atisha. Karya Guru Atisha ini terbukti sangat bermanfaat bagi orang-orang Tibet yang memang menjadi target penulisan karya tersebut.

Kalau saja Guru Atisha tidak pernah pergi ke Tibet, maka Beliau tidak akan pernah menuliskan karya ini. Karena murid-muridnya di India memiliki kecerdasan yang tinggi, sehingga mereka tidak membutuhkan karya seperti itu. Berkat Guru Atisha pergi ke Tibet-lah, maka Beliau menuliskan karya ini yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan orang-orang Tibet yang memiliki kecerdasan lebih rendah dan kurang berpendidikan. Pada akhirnya karya ini bermanfaat untuk orang-orang Tibet dan India.

Karya ini merupakan karya yang sangat luar biasa, ideal untuk pemula dan juga bermanfaat untuk praktisi lanjut. Jika saja Guru Atisha tidak pernah datang ke Tibet, Beliau tidak akan pernah menuliskan karya ini.

Begitu teks Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan ini disusun untuk orang-orang Tibet, seketika itu pula teks ini terkenal hingga ke pelosok negeri Tibet. Instruksi ini berfungsi sebagai dasar bagi praktisi Sutra maupun Tantra, terlepas dari adanya keempat aliran besar dalam Buddhisme Tibet. Instruksi ini menjadi patokan dasar bagi praktisi Sutra maupun Tantra.

Sebagai contoh, di dalam aliran Kagyupa, kita bisa melihat nyanyian-nyanyian spiritual karya Yogi besar, Jetsun Milarepa. Cara penyusunan nyanyian spiritualnya mirip dengan susunan Guru Atisha sebagaimana yang terpaparkan di dalam Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan karyanya. Kedua karya ini sangat mirip. Ada juga seorang praktisi penting Kagyupa bernama Gampopa yang menyusun Ornamen Pembebasan yang sesungguhnya merupakan penjelasan bagi teks Pelita Jalan.

Walaupun Jestun Milarepa tidak memakai sebutan “Lamrim” dalam karyanya, namun keduanya sungguh-sungguh mirip, sehingga jelas bahwa Lamrim berfungsi sebagai basis bagi praktisi Sutra dan Tantra di Tibet.

Contoh lain, ada seorang guru Sakya bernama Drakpa Gyaltsen, yang menyusun karya berjudul Shenpa Sidre atau Ketiadaan Empat Jenis Nafsu Keinginan. Karya ini hanya terdiri dari empat bait, tapi apa yang terkandung di dalamnya mirip dengan Pelita Jalan. Ini merupakan bukti bahwa guru-guru besar Tibet sangat mengenal teks Pelita Jalan.

Bebas dari empat jenis kemelekatan, yang pertama adalah kemelekatan pada kehidupan saat ini. Kemelekatan pada kehidupan saat ini maksudnya keterlibatan total dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan saat ini saja, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Inilah objek kemelekatan yang pertama, jenis kemelekatan yang mana kita harus bebas darinya.

Drakpa Gyaltsen mengatakan, “Kalau kamu masih melekat pada kehidupan saat ini, kamu bukanlah seorang praktisi dharma.”

Bait berikutnya menjelaskan kemelekatan pada samsara secara keseluruhan, yaitu kemelekatan pada keunggulan dan kemegahan samsara. Kedua bait ini merujuk pada Tahapan Jalan untuk motivasi awal dan menengah.

Berikutnya, disebutkan, “Kalau kamu masih melekat pada kebahagiaanmu sendiri, kamu bukanlah seorang Bodhisattva.”

Bait ini merujuk pada Tahapan Jalan untuk motivasi agung yang menekankan sikap “mementingkan makhluk lain” sebagai lawan dari sikap mementingkan diri sendiri dan mencari kebahagiaan pribadi. Ini adalah jalan yang dijalankan oleh praktisi motivasi agung. Jadi baris tersebut menjelaskan tentang seseorang yang apabila masih melekat pada kebahagiaan pribadinya sendiri, maka ia bukanlah seorang Bodhisattva.

Bait tersebut mencakup tiga kualitas utama tahapan jalan yakni penolakan samsara (yang terbagi menjadi dua) dan Bodhicitta. Kedua jenis penolakan samsara mencakup tahapan jalan untuk motivasi awal dan menengah. Sedangkan tahapan jalan motivasi agung terkandung dalam baris yang berbunyi “Kalau kamu masih melekat pada kebahagiaanmu sendiri, maka kamu bukanlah seorang Bodhisattva.”

Berikutnya, ada baris yang berbunyi, “Kalau kamu mencengkram aku, maka kamu tidak memegang pandangan.” Yang artinya, tidak memegang pandangan yang menembus kesunyataan atau ketanpa-aku-an. Ini merupakan kualitas ketiga pada Tiga Kualitas Utama, yakni pandangan unggul.Jadi keseluruhan isi Pelita Jalan terkandung dalam empat baris tersebut.

Bagi aliran yang lebih tua atau Nyingma, pada periode sebelum Guru Atisha datang ke Tibet, juga terdapat karya-karya yang walaupun tidak mengikuti urutan teks Pelita Jalan, namun pokok-pokok ajaran Lamrim terkandung di dalamnya. Setelah Guru Atisha datang, ada juga teks Nyingma yang mengikuti strukstur Lamrim.

Salah satunya Kunsang Lamei Shelung atau Instruksi Guru Samantabhadra. Karya ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, barangkali juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ini merupakan karya yang mirip dengan teks Lamrim. Kunsang Lamei Shelung ditulis oleh seorang Guru Nyingma, yang merupakan kitab penjelasan untuk Pelita Jalan. Banyak guru-guru Kadampa yang mengutip teks ini.

Tergantung Kapasitas Masing-masing Orang

Dewasa ini kalau ada seseorang yang berniat mencapai tujuan pribadi berupa pencapaian kelahiran kembali yang baik di dalam samsara pada kehidupan berikutnya, maka ia hanya perlu mempraktekkan isi ajaran Tahapan Jalan untuk motivasi awal saja.

Jika ia mencapai pembebasan dari samsara maka ia harus mempraktekkan motivasi awal ditambah dengan motivasi menengah. Selanjutnya, kalau ia berniat mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk, maka ia harus mempraktekkan motivasi awal ditambah motivasi menengah, yang kemudian dilanjutkan dengan motivasi agung. Dengan demikian, bisa dipastikan ia akan mencapai tujuan yang diinginkannya.

Belahan Bumi yang Mempraktekkan Pratimoksayana

Di belahan bumi yang mempraktekkan Pratimoksayana, ajaran yang dipraktekkan utamanya agar orang-orang mencapai hasil berupa pencapaian tingkat Arya. Sebenarnya ini tidak berbeda dengan tahapan jalan yang dijalankan bersama-sama dengan makhluk motivasi menengah, di mana mereka mempraktekkan Tiga Latihan Tingkat Tinggi, yakni Sila, Samadhi, Prajna. Ini sama persis dengan pokok-pokok ajaran motivasi menengah pada Lamrim.

Praktek apa yang dilakukan, itulah hasil yang akan didapatkan. Tentu saja, dalam menjalankan prakteknya, seseorang harus mengetahui apa yang mesti dilakukan dan apa yang mesti dihindari. Semuanya tergantung pada kapasitas masing-masing orang.

Apa yang Ditawarkan oleh Lamrim?

Yang paling baik menurut saya adalah seseorang mulai belajar dari instruksi yang singkat namun lengkap. Instruksi ini tidak mesti berupa teks yang panjang. Anda bisa mulai dari mempelajari teks yang singkat dulu, baru kemudian seiring dengan praktek Anda berkembang, bisa ditambahkan teks-teks lainnya yang lebih panjang.

Itu sebabnya biasanya saya menasihati orang-orang untuk mulai dari teks yang berjudul Instruksi-instruksi Guru yang Berharga. Ini merupakan teks yang berisi garis-garis besar Lamrim secara lengkap dan menyeluruh, namun teks ini cukup singkat. Bagi pemula, akan sangat baik sekali kalau memulai dari teks ini.

Itulah awal kalau Anda mau memulai proses belajar atau studi. Tapi, dalam hal praktek, tentu saja Anda tidak bisa mempraktekkan keseluruhan instruksi yang terkandung di dalam teks tersebut. Untuk praktek, Anda butuh teks yang lebih singkat lagi. Dimulai dari instruksi yang singkat, baru kemudian praktek Anda dikembangkan dari sana. Jadi, sebenarnya seseorang tidak bisa memulai prakteknya dengan berpatokan pada Instruksi-instruksi Guru yang Berharga. Ia butuh teks yang lebih singkat lagi.

Untuk alasan inilah, guru-guru besar masa lampau memberikan nasihat bahwa ketika memberikan pelajaran, kita harus memberikan penjelasan yang panjang lebar dulu, baru kemudian memberikan ajaran yang sedikit lebih singkat, terakhir adalah ringkasan dari apa yang sudah diajarkan.

Sedangkan, untuk praktek, urutannya dibalik. Ketika mengajarkan instruksi untuk praktek, pertama-tama dimulai dengan instruksi singkat. Instruksi ini harus dipraktekkan terus-menerus hingga menjadi kebiasaan dan mendarah-daging. Barulah kemudian secara perlahan tapi pasti, instruksi untuk praktek ditambahkan setahap demi setahap.

Saatnya untuk Meditasi!

Sebagian besar dari Anda semua sudah banyak belajar. Yang kurang adalah unsur prakteknya, dengan kata lain : meditasi! Sebagian besar dari Anda mampu bermeditasi, bahkan banyak yang sudah melakukannya. Tapi, apa pun yang sudah Anda lakukan hingga saat ini, itu belum cukup. Anda perlu melakukannya lebih banyak, artinya meningkatkan meditasi Anda.

Tentu saja apa yang saya sampaikan ini tidak berlaku bagi pendatang baru. Bagi pendatang baru, Anda perlu belajar lebih banyak sebelum bisa memeditasikannya. Namun, terkecuali pendatang baru, sekarang sudah tiba waktunya bagi Anda untuk bermeditasi. Tambahkanlah frekuensi Anda pada latihan meditasi. Saya yakin beberapa dari Anda adalah ahli dalam meditasi. Terlepas dari apakah Anda ahli atau bukan, inilah saatnya untuk bermeditasi.

Itu sebabnya saya akan memberikan penjelasan bagaimana cara bermeditasi. Kita akan memusatkan perhatian pada topik ini, yaitu bagaimana bermeditasi dan kemudian kita akan langsung mempraktekkan meditasi. Ada sedikit penjelasan yang hendak saya berikan sehubungan dengan cara bermeditasi, namun saya diberitahu bahwa ada sejumlah orang yang baru akan datang besok. Mereka belum datang hari ini. Jadi kalau saya jelaskan sekarang, tentu mereka tidak bisa mendapatkan penjelasan ini. Jadi lebih baik kita tunggu hingga esok hari bagi saya untuk menjelaskannya.

Sedikit yang hendak saya tambahkan sekarang adalah tak peduli seberapa banyak Anda sudah mempelajari dharma, tak peduli seberapa ahlinya Anda, tapi kalau tidak dimeditasikan, maka kualitas tahapan jalan tidak akan tumbuh di dalam batinmu. Untuk mendapatkan kualitas tahapan jalan, dibutuhkan meditasi. Meditasi wajib untuk benar-benar mendapatkan dan mempertahankan kualitas spiritual. Belajar saja tidak cukup. Belajar saja tidak bisa menghadapi kalau timbul kilesa di dalam batin Anda.

Belajar, Merenung, Meditasi

Buddha mengajarkan tahapan belajar, merenung, dan meditasi, dengan urutan sedemikian rupa. Ada sebab-akibat yang berlaku mengapa urutannya disusun seperti itu. Pertama-tama kita mulai dengan mendengarkan dan mempelajari ajaran. Kemudian, kita tidak berpuas diri dengan apa yang didengar. Kita harus merenungkan setiap bagian ajaran yang sudah kita dengar. Terakhir, kita harus memeditasikannya. Inilah cara satu-satunya untuk benar-benar mendapatkan kualitas spiritutal dan realisasi di dalam dirimu.

Kalau seseorang belum pernah mendapatkan atau mendengarkan ajaran Dharma, dan kemudian langsung bermeditasi, maka meditasi yang dilakukannya tidak akan begitu bermanfaat. Kalau ada orang yang memulai praktek dengan mengabaikan proses belajar dan merenung sebelum akhirnya benar-benar bermeditasi, maka ia tidak akan tahu bagaimana cara bermeditasi yang sebenarnya. Ia pun belum benar-benar memahami apa yang sedang dimeditasikannya.

Lebih lanjut, kalau ada yang mengabaikan proses pertama, dan langsung loncat untuk bermeditasi, apa yang terjadi adalah munculnya keragu-raguan dan pertanyaan-pertanyaan di dalam meditasinya. Semata-mata karena ia belum menjernihkan dan mengklarifikasi topik tersebut maka ia sesungguhnya belum mampu untuk bermeditasi. Seseorang hanya bisa mempraktekkan meditasi kalau ia sudah menyelesaikan proses belajar dan perenungannya. Itu sebabnya dikatakan bahwa dengan merenung, Anda akan menghancurkan keragu-raguan.

Dimulai dari proses belajar, yang dilanjutkan dengan merenungkan apa yang telah dipelajari. Kedua proses ini akan menghancurkan keragu-raguan. Setelah jelas dan jernih, maka kita bisa fokus dan mulai bermeditasi. Kalau tidak, maka segala bentuk keragu-raguan dan pertanyaan akan muncul seiring dengan kita mempraktekkan meditasi.

Apa itu Belajar?

Apa itu belajar? Harfiahnya adalah mendengarkan, apakah itu mendengarkan sesuatu yang belum pernah didengar sebelumnya. Artinya mempelajari sesuatu yang baru dan mempertahankannya di dalam diri kita. Atau, bisa juga sesuatu yang sudah pernah kita dengar tapi kita lupa. Itu berarti kita mempelajari kembali dan mendengarkannya lagi untuk mengingatkan diri kita serta mempertahankannya.

Apa itu Merenung?

Dari tahap pertama, belajar atau mendengar atau studi, kemudian kita lanjut pada fase kedua. Yaitu, fase perenungan atau kontemplasi. Fungsinya untuk memperdalam pemahaman kita. Kita bisa menunjuk persis pada pertanyaan atau keraguan yang muncul. Inilah fase yang harus dijalani karena fase ini berfungsi untuk menghilangkan keragu-raguan. Cara untuk melakukan fase kedua ini adalah melalui perenungan.

Apa itu Meditasi?

Setelah fase perenungan selesai, barulah kita lanjut dengan meditasi. Apa itu meditasi? Di dalam istilah Tibet, kata untuk meditasi ada dua. Yang pertama, gom yan artinya meditasi. Yang kedua, gom yang artinya membiasakan diri atau familiarisasi. Pada dasarnya, kedua kata ini mengandung makna yang sama. Artinya meditasi berarti membiasakan batin kita dengan topik atau ide tertentu. Mendekatkan sebuah kualitas spiritual di dalam batin kita.

Keraguan di dalam Praktek Spiritual

Jika Anda tidak menuruti urutan seperti ini, maka ketika Anda bermeditasi, segala macam keraguan dan pertanyaan akan muncul di dalam meditasi Anda. Itu nantinya akan mengganggu bahkan mengecewakan Anda karena Anda tidak melakukan meditasi dengan benar sehingga tidak mendapatkan hasilnya. Kalau sudah muncul pertanyaan, barangkali Anda mengangkat telepon dan bertanya ke sana ke mari hingga Anda mendapatkan penjelasan yang bisa menghilangkan keragu-raguan Anda.

Tapi, kalau Anda mengikuti urutan sebagaimana yang sudah dijelaskan, maka proses kemajuan Anda akan berjalan lebih mulus, lebih mudah, dan lebih efektif. Kalau tidak, maka yang terjadi adalah Anda mengacaukan urutan, mencampur-adukkan, loncat ke sana ke mari, maju-mundur, sehingga butuh lebih banyak waktu dan upaya.

Kita akan lanjutkan pada sesi berikutnya esok hari. Terima kasih.

Pelimpahan Kebajikan untuk Semua Makhluk

Hari ini kita sudah membangkitkan banyak kebajikan. Awalnya kita sudah membangkitkan motivasi yang bajik, kita sudah mendengarkan ajaran dengan baik, sehingga penting sekali kita mendedikasi kebajikan ini supaya tidak hilang. Yang paling baik adalah kita mendedikasikan agar semua pikiran-pikiran bajik bisa muncul di dalam batin semua makhluk dan semua pikiran-pikiran buruk atau keliru bisa dihentikan dan diganti dengan pikiran-pikiran yang valid.

End of Session 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *