Webcast Open Day Ganden Ling: Interdependence (Minggu, 17 Juni 2012)

  • July 4, 2012
Webcast Open Day Ganden Ling
“Interdependence”
Oleh Yang Mulia Dagpo Lama Rinpoche
Yiga Choedzin, Veneux-les-Sablons, Perancis
Minggu, 17-Juni-2012

 

Rangkuman ini disusun berdasarkan catatan tangan penerjemah bahasa Indonesia. Artikel ini bukan merupakan transkrip utuh kata-per-kata, tapi lebih menyerupai rangkuman yang disusun berdasarkan apa yang disampaikan oleh penerjemah bahasa Inggris. Tujuannya untuk mendokumentasikan ajaran Yang Mulia Dagpo Rinpoche pada setiap kesempatan yang berharga. Sesi webcast kali ini disiarkan dari Perancis dan bisa diterima di Indonesia, yakni di Dharma Center Kadam Choeling Indonesia, tepatnya di aula utama Center Bandung.

* * * * * *

Salam Pembuka “Tashi Delek”

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan salam khas Tibet, “Tashi Delek.” Tahun lalu kita sudah mengadakan acara seperti ini, yakni acara yang bertajuk “Open Day.” Sebagian dari Anda sudah pernah menghadiri acara ini sebelumnya, tapi sebagian lagi datang untuk pertama kalinya. Bagi yang sudah pernah datang, senang sekali bisa bertemu kembali dengan Anda semua. Bagi yang datang untuk pertama kalinya, saya ucapkan selamat datang.

Dalam acara seperti ini, ketika orang-orang dari berbagai latar belakang dan budaya yang berbeda-beda, termasuk cara dan pola pikir yang berbeda-beda bisa berkumpul bersama-sama, adalah acara yang menurut hemat saya sangat penting sekali. Ini merupakan kesempatan bagi kita untuk bertukar pikiran, saling berbagi pikiran, hingga studi banding dari berbagai sudut pandang berbeda. Menurut saya, kegiatan seperti ini sangat bermanfaat.

Pada kesempatan ini, cukup banyak orang yang berkumpul di sini. Kecil kemungkinan kita bisa menemukan orang-orang yang memiliki cara pikir yang persis sama. Di antara sekian banyak orang yang hadir di sini, masing-masing memiliki pendapat yang berbeda-beda sehubungan isu-isu tertentu. Masing-masing juga memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda, dan seterusnya. Sangat kecil kemungkinannya ada dua orang yang memiliki cara pandang yang persis sama. Memang ada orang-orang yang memiliki paham dan cara pandang yang sama, tapi tidak akan bisa sama persis sepenuhnya. Di dunia ini tidak ada dua orang yang memiliki cara pandang yang persis sama. Setiap orang memiliki cara pandang yang khas dan unik.

Orang-orang yang datang ke sini pada sesi hari ini masing-masing membawa cara pandangnya sendiri. Masing-masing punya pola pikir sendiri, yang memang sesuatu hal yang sah-sah saja. Tapi, ada satu kesamaan di antara kita semua, yaitu kita semua sama-sama berniat mendapatkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Kita semua ingin bahagia dan tidak ingin menderita, bahkan ketidak-nyaman sekecil apa pun.

Oleh sebab itu, akan sangat bermanfaat kalau kita bisa saling bertukar pikiran mengenai cara bagaimana kita bisa mencapai tujuan tersebut. Yakni, tujuan mencapai kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Diskusi dan tukar pikiran mengenai topik ini saya rasa akan bermanfaat. Itu persisnya alasan mengapa kita berkumpul di sini dan saya rasa itu adalah alasan yang sangat penting. Saya merasa lega karena kita semua berkesempatan untuk berkumpul dengan tujuan seperti ini.

“Interdependence” – Kondisi Saling Bergantungan

Topik yang sudah diumumkan untuk sesi hari ini adalah “Kesalingtergantungan.” Saya akan menjelaskan topik ini dari sudut pandang Buddhisme Tibet. Setelah selesai penjelasan, akan sangat baik kalau ada kesempatan untuk tanya-jawab. Dengan demikian, kita bisa bertukar pikiran setelah saya selesai memberikan penjelasan mengenai topik ini, sehingga sesi ini tidak melulu satu arah.

Kembali lagi, walaupun setiap orang memiliki cara pikir dan sudut pandangnya sendiri-sendiri, namun ada satu hal yang menjadi kesamaan kita semua. Yaitu, kita semua menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan. Kita semua ingin mencapai tujuan yang sama, yaitu mencapai suatu kondisi di mana kita bisa meraih kebahagiaan dan menghentikan semua jenis penderitaan. Ini adalah suatu kesamaan yang berlaku untuk kita semua.

Mari kita tinjau istilah kesaling-tergantungan yang dalam bahasa Inggris disebut ‘interdependence.’ Apa arti istilah ini? Dalam makna umum, ini berarti keadaan saling bergantung antara satu hal dengan hal lainnya. Istilah dalam bahasa Tibetnya adalah ‘ten-drel,’ yang artinya kemunculan yang saling bergantungan (dependent origination) atau eksistensi yang saling bergantungan (dependence existence). Sederhananya, arti dari istilah ini adalah segala sesuatu bergantung pada hal lainnya, sehingga membentuk keadaan yang saling bergantungan satu sama lainnya.

Kalau kita tilik lebih lanjut, makna yang disampaikan oleh kata ini dalam istilah bahasa Inggris maupun bahasa Perancis, sebenarnya tidak begitu jelas. Karena kondisi di mana segala sesuatu bergantung pada hal lainnya tidak begitu tepat mencerminkan makna sesungguhnya yang terkandung oleh istilah ini. Contohnya, di sini sudah hadir kira-kira seratus hingga dua ratus orang. Kalau kita terapkan makna kesalingtergantungan seperti itu, maka masing-masing setiap orang yang ada di sini bergantung pada orang lainnya. Sebaliknya, semua orang yang ada di sini secara keseluruhan bergantung pada masing-masing orang yang ada di sini pula. Apakah Anda yang hadir di sini merasa demikian? Apakah Anda merasa bahwa Anda bergantung pada masing-masing dan seluruh orang yang Anda di sini? Bagaimana menurut Anda?

Definisi Kesalingtergantungan

Kalau kita mengatakan semua orang yang ada di sini bergantung pada semua orang lainnya, maka itu sedikit problematis. Karena itu berarti kalau ada satu orang yang meninggalkan ruangan ini, maka semuanya akan ikut meninggalkan ruangan. Kalau misalnya ada satu orang di sini yang hilang atau lenyap, maka semua orang lainnya juga ikut lenyap. Tapi kita semuanya tentu tahu persis, kalau ada satu orang yang beranjak meninggalkan ruangan ini, tidak berarti semua orang juga ikut beranjak pergi. Sama halnya dengan contoh meja misalnya. Tidak berarti istilah kesalingtergantungan memiliki makna bahwa segala sesuatu bergantung pada hal lainnya.

Kalau demikian, apa makna dari kesalingtergantungan? Maknanya bisa kita rujuk pada sutra-sutra ajaran Buddha atau kitab-kitab penjelasan yang ditulis oleh guru-guru besar. Kita bisa menemukan penjelasan dan contoh kesalingtergantungan dalam teks-teks tersebut. Di dalam buddhisme sendiri, istilah kesalingtergantungan atau eksistensi yang saling bergantungan dijelaskan secara berbeda dalam konteks yang berbeda pula.

Salah satu penjelasan makna kesalingtergantungan/ eksistensi yang saling bergantungan adalah makna yang terkait satu kategori fenomena, yaitu fenomena komposit. Kesalingtergantungan berkaitan fenomena komposit adalah segala sesuatu mesti ada sebabnya. Dengan kata lain, kalau tidak ada sebab, maka hasilnya juga tidak ada. Artinya, suatu akibat bergantung pada sebabnya. Berikutnya, suatu sebab juga tergantung pada sebab dan kondisi yang mendahuluinya.

Penjelasan di atas hanya berlaku untuk satu kategori fenomena, yakni fenomena komposit. Ia tidak berlaku untuk fenomena non-komposit. Fenomena non-komposit tidak bergantung pada sebab-sebab dan kondisi. Jadi, penjelasan bahwa segala sesuatu bergantung pada sebabnya tidak berlaku secara menyeluruh, juga tidak mencakup semua fenomena.

Bagaimana penjelasan kesalingtergantungan terkait fenomena non-komposit? Tentu saja penjelasannya berbeda. Fenomena non-komposit bergantung pada unsur atau bagian pembentuknya, berikut basis penamaannya. Basis penamaan di sini terkait fenomena non-komposit yang menjadi sorotan. Pemahaman kesalingtergantungan yang kedua terkait bagian-bagian pembentuknya. Tanpa bagian-bagian pembentuk sebuah meja, misalnya bagian atasnya, dan seterusnya, maka sebuah meja tidak bisa eksis. Agar bisa eksis, meja bergantung pada bagian-bagian pembentuknya.

Contoh lain adalah sajian makanan. Contoh ini saya ambil karena kita semua barusan menyantap makan siang, sehingga contoh ini memiliki relevansi dengan penjelasan kita hari ini. jadi, sebuah hidangan yang lezat bergantung pada unsur-unsur pembentuknya, bagian-bagian yang menyusun sebuah hidangan sehingga menjadi sebuah menu makanan. Ketika sebuah menu masakan telah selesai disusun, maka menu ini bergantung pada unsur-unsur pembentuknya. Kalau misalnya kita pisahkan atau hilangkan salah satu unsur pembentuknya, maka menu hidangan itu juga akan hilang atau tidak eksis lagi. Misalnya, pada satu hidangan menu yang lengkap kita pisahkan saus atau sayurannya, maka menu itu sudah tidak lengkap lagi. Jadi, hasil akhir dari sebuah menu yang utuh dan lengkap bergantung pada unsur-unsur pembentuknya.

Tadi telah disebutkan bahwa fenomena non-komposit bergantung pada basis penamaannya. Tentu saja penjelasan ini sedikit lebih rumit karena merujuk pada basis di mana sesuatu kemudian diberikan nama atau pelabelan. Contohnya sebuah meja. Sebuah meja bergantung pada basis penamaannya, sesuatu yang kita cerap sebagai meja. Bagaimana prosesnya? Ketika bagian-bagian yang membentuk sebuah meja muncul di dalam batin kita, maka batin kita pun mengenalinya sebagai sebuah meja dan menyebutnya sebagai ‘meja.’

Jadi, penjelasan ini sedikit lebih rumit untuk dipahami, di mana fenomena bergantung pada sebuah basis berdasarkan kesan atau menganggap ada sesuatu yang eksis (lalu memberi atribut pada hal tersebut seolah-ada ada atau muncul dengan sendirinya).

Contoh lain, kalau seseorang tiba-tiba memasuki ruangan ini, maka saya akan melihat orang tersebut. Batin saya akan berpikir, “Seseorang memasuki ruangan ini.” Mengapa saya bisa berpikir demikian? Karena adanya persepsi visual akan badan atau tubuh seorang manusia. Sebenarnya yang dilihat itu bukan orangnya, tapi badannya. Berdasarkan persepsi visual akan badan jasmani seseorang, maka kita menganggap ada orang yang memasuki ruangan ini. Tanpa badan jasmani, tidak akan ada pemikiran seperti itu. Jadi, berdasarkan basis penamaan atau pelabelan berdasarkan kesan terhadap seseorang yang dimaksud, maka orang tersebut pun eksis sesuai dengan basis penamaan atau pelabelan berdasarkan kesan tersebut. Ketika kita melihat seseorang memasuki ruangan, sebenarnya yang kita lihat adalah badan jasmaninya. Tapi apakah orang tersebut sama dengan badan jasmaninya?

Badan jasmani adalah bentuk yang bisa dilihat atau dicerap oleh orang lain, sehingga orang lain tersebut bisa berpikir bahwa seseorang telah memasuki sebuah ruangan. Itulah fungsi basis penamaan atau pelabelan berdasarkan kesan. Ia berfungsi sebagai basis agar munculnya persepsi di dalam batin akan adanya seseorang yang memasuki ruangan.

Jika seseorang mengalami rasa sakit di tangan kanannya, ia akan berkata, “Saya mengalami kesakitan.” Ia tidak akan mengatakan, “Tangan kanan saya yang sakit, tapi saya-nya tidak sakit.” Di sini kita bisa melihat bahwa pemikiran akan ‘saya’ sama dengan ‘tangan kanan saya’, sehingga muncul pemikiran “Saya kesakitan.” Tapi sebenarnya yang sakit adalah tangan kanan. Kita tidak bisa mengatakan, “Tangan kanan saya yang sakit, tapi saya-nya tidak sakit” karena keduanya tidak terpisahkan. Karena tangan kanannya sakit-lah, maka kita mengatakan, “Saya sakit” atau “Saya kesakitan.”

Eksistensi sebuah fenomena yang bergantung pada basis penamaan berdasarkan kesan merupakan tingkat pemahaman kesalingtergantungan yang lebih tinggi. Tapi, ada pemahaman yang lebih halus lagi, yaitu eksistensi fenomena bergantung pada persepsi atau pikiran atau batin. Pemahaman atau penjelasan ini sedikit lebih rumit lagi.

Jadi, agar sesuatu eksistensi bisa dicerap atau dipersepsi oleh batin, maka harus ada batin yang mencerap atau mempersepsikan hal tersebut. Jika tidak ada batin yang mempersepsikan suatu fenomena, apakah fenomena tersebut eksis? Inilah pemahaman kesalingtergantungan yang lebih tinggi, yang melibatkan pemahaman yang lebih halus. Agar suatu fenomena dikatakan eksis, maka ia harus muncul di dalam batin makhluk yang bersangkutan. Suatu fenomena tidak bisa dikatakan eksis terkecuali ia muncul di dalam persepsi suatu batin.

Di satu sisi, itu adalah penjelasan yang diberikan. Tapi bila demikian halnya, apakah itu berarti segala sesuatu yang muncul atau dipersepsikan oleh batin serta-merta langsung berarti ia benar-benar eksis? Tentu tidak. Kesimpulan seperti itu sudah terlalu jauh. Bukan berarti segala sesuatu yang dicerap oleh batin adalah fenomena yang eksis. Untuk menentukan eksistensinya, harus ada kriteria lain yang harus dipenuhi.

Sejauh ini, kita telah membahas empat tingkatan definisi kesalingtergantungan (eksistensi yang saling bergantungan). Definisi yang pertama adalah penjelasan yang lebih kasar, yang hanya berlaku bagi fenomena komposit, yaitu: eksistensi sebuah fenomena bergantung pada sebab dan kondisi yang menghasilkannya. Definisi yang kedua: eksistensi fenomena bergantung pada bagian-bagian pembentuknya. Definisi ketiga: eksistensi fenomena bergantung pada basis penamaan atau pelabelan berdasarkan kesan. Definisi keempat: eksistensi fenomena bergantung pada batin yang mencerap fenomena tersebut.

Definisi pertama untuk memahami kesalingtergantungan berlaku untuk fenomena komposit, yakni eksistensi fenomena bergantung pada sebab dan kondisinya. Ini adalah sudut pandang yang diakui oleh berbagai aliran filosofis buddhis, yakni Vaibashika, Sautrantrika, dan Cittamatin. Di dalam aliran Madhyamika, aliran Madhyamika Sautantrika tidak memakai istilah kesalingtergantungan. Mereka mengakui bahwa akibat bergantung pada sebabnya, tapi sebab tidak bergantung pada akibatnya.

Aliran Madhyamika yang tertinggi, yaitu Madhyamika Prasangika, memakai istilah kesalingtergantungan dalam artian akibat bergantung pada sebab dan kondisinya. Tapi, selain itu, sebab dan kondisi juga bergantung pada akibatnya. Contohnya, seorang anak bergantung pada orangtuanya. Tapi, orangtua juga bergantung pada anaknya. Kalau tidak ada anak, seseorang tidak bisa disebut sebagai orangtua. Paling ia bisa disebut sebagai pasangan, tapi bukan orangtua kalau ia tidak memiliki anak. Bagaimana menurut Anda? Apakah orangtua (sebab) bergantung pada anaknya (akibat), atau tidak?

Untuk definisi kesalingtergantungan di mana eksistensi sebuah fenomena bergantung pada unsur-unsur pembentuknya, bisa kita pahami melalui contoh tubuh fisik, misalnya jasmani seorang manusia. Jasmani seorang manusia terdiri dari unsur-unsur pembentuknya, misalnya keenam unsur, seperti cairan, panas, dan seterusnya. Tanpa adanya unsur-unsur pembentuk ini, tidak ada akan badan jasmani. Kalau satu saja unsur pembentuknya tidak ada, maka badan jasmani yang dimaksud juga tidak akan eksis. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa eksistensi badan jasmani bergantung pada unsur-unsur pembentuknya.

Penjelasan di atas berlaku untuk banyak fenomena lainnya. Contohnya benda-benda yang konkrit, seperti sebuah rumah misalnya. Eksistensi sebuah rumah bergantung pada unsur-unsur pembentuknya.

Kriteria Penetapan yang Sahih

Definisi kesalingtergantungan di mana eksistensi sebuah fenomena bergantung pada basis penamaan atau pelabelan berdasarkan kesan adalah definisi yang mengandung istilah-istilah yang tidak lazim dipahami. Pertama-tama, batin akan mencerap sebuah basis penandaan. Berikutnya, di atas basis penandaan itu, batin akan melabeli atau memberi nama pada fenomena tersebut. Jadilah fenomena itu kemudian dipersepsikan. Tanpa adanya basis penandaan, batin tidak bisa mencerap (memikirkannya) dan tidak bisa melabeli (memberi nama).

Batin yang mencerap sebuah fenomena berdasarkan basis penanda dan pelabelan bukan merupakan batin analitik. Kalau batin yang mencerapnya adalah batin yang analitik, ia akan mengubah tampilan fenomena yang dicerap secara alami. Persepsi alami yang mencerap eksistensi sebuah fenomena adalah persepsi yang biasa, natural, dan non-analitik.

Agar sebuah fenomena yang dicerap oleh persepsi alami non-analitik ini bisa dikukuhkan eksistensinya, ia tidak boleh berlawanan dengan persepsi sejenis lainnya. Artinya, ia tidak dikontradiksikan dengan persepsi konvensional lainnya. Contoh: apabila seseorang berdasarkan ilusi dan bayangannya melihat seseorang yang tidak dilihat oleh orang-orang lainnya, maka keabsahan persepsi ini dihilangkan oleh persepsi orang lain yang tidak melihatnya. Dengan demikian, eksistensi adanya seseorang yang dilihat berdasarkan ilusi tidak bisa dikukuhkan eksistensinya, karena ia ditolak/ dilawan/ dihilangkan oleh persepsi valid sejenis lainnya yang tidak melihat fenomena adanya seseorang berdasarkan ilusi tersebut.

Kriteria lain yang harus dipenuhi adalah persepsi yang valid itu tidak bisa dikontradiksikan dengan batin yang mencerap modus eksistensi yang tertinggi (persepsi akan kesunyataan/ ketanpa-aku-an). Dalam kasus seseorang yang melihat eksistensi orang pada batin konvensionalnya, maka persepsi batin konvensional ini tidak boleh dikontradiksikan dengan batin yang mencerap modus eksistensi tertinggi. Artinya, tidak boleh ada konflik antara batin yang mencerap kebenaran konvensional dan batin yang mencerap kebenaran tertinggi.

Kriteria berikutnya, fenomena konvensional tidak bisa ditiadakan dengan menghilangkannya berdasarkan investigasi pada apakah mereka dihasilkan dalam satu dari keempat cara alternatif [dari diri, yang lain, keduanya, atau bukan keduanya].

Itulah tiga kriteria untuk mengukuhkan eksistensi sebuah fenomena. Penjelasan kriteria ini terkandung di dalam Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan (Lamrim Chenmo) karya Je Rinpoche. Begitu sesuatu muncul di dalam batin, untuk menentukan apakah ia benar-benar eksis, maka kita harus melakukan verifikasi berdasarkan tiga kriteria tersebut. Tidak cukup bagi sebuah eksistensi dinyatakan sebagai eksistensi yang valid semata-mata karena sebuah batin mencerapnya. Persepsi yang mencerapnya harus dinyatakan sebagai persepsi yang valid dan memenuhi tiga kriteria tersebut.

Makna Kesalingtergantungan dalam Hidup Sehari-hari

Mari kita kembali pada penjelasan definisi kesalingtergantungan yang pertama. Dikatakan bahwa akibat atau hasil bergantung pada sebab dan kondisinya. Ini adalah penjelasan yang sangat bermanfaat bagi kita. Ini berarti apa pun bentuk atau kondisi kita sekarang ini, itu ditentukan oleh sebab-sebab yang sudah kita lakukan di waktu lampau. Jika misalnya kita sekarang ini berada dalam kondisi kesehatan yang prima, memiliki posisi yang bagus, dan sebagainya; itu berarti kita sudah berperilaku sedemikian rupa sehingga kita menikmati kebahagiaan atau kondisi yang nyaman sekarang ini. Apa pun yang kita nikmati sekarang ini, itu semua bergantung pada apa yang telah terjadi atau dilakukan di masa lampau.

Pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan sebab yang sudah terjadi di masa lampau sangatlah berguna. Cepat atau lambat kita akan menghadapi masalah. Masalah adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Ketika masalah terjadi, kita bisa memahami mengapa itu terjadi. Kalau sudah paham, kita akan bisa menghadapinya dengan lebih baik. Kalau tidak paham, ada kecenderungan untuk menolak apa yang terjadi. Kita akan mengeluh “mengapa harus aku?”, “ini tidak adil,” dan sebagainya.

Reaksi mengeluh kalau menghadapi masalah sebenarnya tidak terlalu berguna. Akan lebih baik kalau kita memahami cara kerja sebab-akibat. Memahami bahwa segala yang terjadi dan menimpa kita itu adalah akibat dari karma lampau yang sudah kita lakukan. Segala sesuatu yang terjadi pasti ada alasan dan penyebabnya, apakah itu karena perilaku masa lampau, dan sebagainya. Tidak ada kejadian yang terjadi secara acak. Segala sesuatu yang terjadi pasti ada alasannya.

Jadi, apa pun masalah yang menimpa kita, apakah itu jatuh sakit, perasaan tak menyenangkan, kehilangan pekerjaan, tidak menemukan pekerjaan, tidak memiliki mata pencaharian, tidak akur dengan orang lain, maka kita bisa memahaminya dari sudut pandang sebab dan akibat, yaitu pemahaman akan karma dan akibat-akibatnya. Kalau kita paham akan karma dan akibat-akibatnya, kita akan lebih mudah menghadapi masalah. Kalau kita tidak paham bahawa segala sesuatu yang terjadi diakibatkan oleh suatu sebab yang dilakukan di masa lampau, akan lebih sulit bagi kita untuk menghadapi masalah.

Bagaimana Menghadapi Masalah?

Kalau sudah memahami penjelasan konsekuensi atau akibat-akibat Karma, maka kita akan bertanya pada diri sendiri: Siapakah yang menghasilkan Karma? Jawabannya adalah kita sendiri. Karma itu kita ciptakan di kehidupan sekarang atau pun di kehidupan lampau. Tidak ada orang lain yang menciptakan karma kita kecuali kita sendiri. Kalau sudah paham bahwa kita sendiri yang menciptakan karma, maka kita akan menghentikan kecenderungan untuk menyalahkan orang lain. Sifat menyalahkan orang lain dengan sendirinya akan berhenti. Kita akan memiliki kerangka berpikir yang jauh lebih baik. Kita pun akan berhenti mengeluh, berhenti menyalahkan orang lain.

Seandainya terjadi suatu masalah, maka kita akan melihat bahwa satu-satunya orang yang perlu disalahkan adalah diri kita sendiri. Yang disalahkan utamanya adalah sikap dan perilaku kita sendiri. Dengan sikap dan perilaku tertentu kita menciptakan karma dan karma inilah yang berbuah dalam bentuk masalah-masalah yang kita alami. Kalau kita bisa merenung dengan cara seperti ini, maka kita bisa menghindari kegalauan mental, kecemasan, ketakutan, dan seterusnya. Kita pun bisa menghindari kesedihan dan rasa kecewa.

Inilah kesimpulan yang bisa kita dapatkan kalau kita memahami bahwasanya akibat atau hasil bergantung pada sebab-sebabnya. Kalau tidak paham, kita akan cenderung berpikir bahwa kita akan hidup terus. Jika ada orang yang bertanya: Apakah Anda akan hidup seterusnya? Kita pasti menjawab “tidak.” “Suatu hari saya akan mati.” Walaupun kita mengakui bahwa suatu hari kita akan mati, tapi di balik pemikiran kita, kita mencengkeram keabadian. Kita berpikir bahwa kita akan hidup terus.

Sebab-akibat dan Ketidak-kekalan

Dengan memahami bahwa akibat berasal dari sebabnya, kita akan lebih memahami karma dan akibat-akibatnya. Dengan memahami karma dan akibat-akibatnya, kita akan lebih memahami ketidak-kekalan semua fenomena. Kita akan memahami bahwa semua fenomena muncul dari sebab dan kondisinya, termasuk diri kita sendiri. Dengan memahami ini, kita akan menyadari kenyataan bahwa kita pasti akan mati.

Kalau sudah menyadari dengan jelas, kita bisa lanjut pada pemahaman berikutnya, yaitu bahwa waktu kematian kita tidak pasti. Kita tidak tahu kapan kita akan mati. Kita bisa mati kapan saja. Ini adalah pemahaman yang sangat penting. Tak seorang pun yang bisa mengetahui kapan ia akan mati.

Kebanyakan orang membayangkan bahwa dirinya akan hidup terus, walaupun secara intelektual ia mengakui bahwa ia akan mati. Keyakinan bahwa kita tidak akan mati ini kita pegang kokoh di dalam sanubari yang terdalam. Kita yakin bahwa kita tidak akan mati sekarang juga. Kita yakin kita tidak akan mati hari ini. Kita yakin kita tidak akan mati esok hari. Keyakinan atau asumsi ini kita pegang kokoh dan selama kita tidak melakukan sesuatu untuk mengubahnya maka keyakinan ini akan kita pegang terus.

Kalau kita bisa merenungkan bagaimana akibat/ hasil berasal dari sebab-sebabnya, maka perenungan ini akan sangat bermanfaat. Ini akan memperkuat pemahaman akan sifat dasar semua fenomena. Semua fenomena berarti termasuk diri kita sendiri. Kita bisa memahami ketidakkekalan diri kita sendiri. Dengan memahami ketidakkekalan diri sendiri, kita akan semakin memahami betapa waktu kematian kita sangat tidak pasti.

Pemahaman definisi kesalingtergantungan bahwa eksistensi fenomena bergantung pada bagian-bagian pembentuknya juga sangat bermanfaat. Kita bisa mengaitkan definisi ini pada diri sendiri. Kita bisa eksis karena bergantung pada bagian-bagian pembentuknya, yang membentuk diri kita saat ini, yaitu gabungan dari batin dan jasmani. Jasmani kita juga terdiri dari bagian-bagian pembentuknya.

Kalau kita bisa merenungkan bagaimana kita merupakan gabungan unsur-unsur pembentuknya, maka kita menyadari bahwa kita bukanlah satu fenomena tunggal yang solid dan unik. Akibat kebodohan batin, kita mencerap keberadaan kita sebagai satu fenomena yang unik, permanen, dan berdiri sendiri. Padahal, sesungguhnya kita adalah gabungan dari bagian-bagian yang sangat banyak dan beragam jenisnya.

Dengan pemahaman kesalingtergantungan seperti ini, kita bisa mengguncangkan kebodohan batin dalam persepsi kita yang melihat diri sendiri. Goncangan ini akan sangat bermanfaat karena kebodohan batin yang salah memahami sifat dasar sendiri inilah yang menjadi sumber utama atau akar dari semua permasalahan kita.

Kalau kita paham bahwasanya eksistensi sebuah fenomena bergantung pada bagian-bagiannya, atau bergantung pada basis penandanya, maka pemahaman ini akan sangat bermanfaat untuk mengguncang cengkraman akan aku atau diri.

Nasihat Penutup

Karena kita sudah kehabisan waktu, maka akan sangat baik kalau kita merenungkan pemahaman ini dan mengaitkannya pada kondisi kita sendiri. Apa pun bentuk kebahagiaan atau kenyamanan yang kita nikmati, itu semua bergantung pada sebab-sebabnya. Badan jasmani kita pun bergantung pada bagian-bagian pembentuknya. Selanjutnya, badan jasmani kita ini juga bergantung pada orang lain.

Badan jasmani yang kita gunakan sekarang ini bukanlah sesuatu yang kita hasilkan sendiri. Ia berasal dari bagian-bagian tubuh orangtua kita. Apa yang selama ini kita sebut ‘tubuhku’ atau ‘badanku’ sesungguhnya bukan tubuh kita sama sekali. Ia berasal dari bagian-bagian tubuh orangtua kita.

Sama halnya dengan semua yang kita nikmati, apakah itu makanan, minuman, tempat tinggal. Semua hal tersebut bukanlah milik kita sendiri, tapi bergantung sepenuhnya pada kebaikan orang lain. Kalau kita sudah memahami betapa kita sangat bergantung pada kebaikan makhluk lain untuk memperoleh kebahagiaan pada kehidupan saat ini, maka itu akan mengubah cara kita melihat orang lain. Kita akan lebih perhatian pada mereka, lebih sayang, dan lebih hormat. Kita pun akan melihat betapa mereka memiliki peranan yang sangat penting bagi kita.

Kalau sudah bisa melihat betapa orang lain memiliki peranan penting dalam hidup kita, maka kita akan bekerja keras memperjuangkan kesejahteraan mereka. Kita berniat untuk membantu mereka mendapatkan kebahagiaan. Kita berniat untuk membantu mereka memecahkan permasalahan dan mengatasi penderitaannya. Kita akan menganggap kedua tugas ini sebagai tanggung-jawab yang penting untuk diemban, semata-mata karena kita menganggap orang lain sangat penting bagi kita.

Kalau kita benar-benar merenungkan penjelasan di atas, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa memang benar-benar tidak ada pilihan selain bekerja untuk kepentingan orang lain. Tidak ada pilihan selain menolong orang lain dan menganggap penting kesejahteraan orang lain. Kita akan merasa itu adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan semata-mata karena kebahagiaan kita bergantung sepenuhnya pada mereka. Kebahagiaan kita bergantung pada kebahagiaan orang lain. Kebahagiaan kita bergantung pada upaya kita untuk memperjuangkan kebahagiaan orang lain. Semua kesimpulan ini bisa kita peroleh kalau kita benar-benar merenungkan kesalingtergantungan.

Sekian penjelasan dari saya. Silahkan kalau ada yang mau mengajukan pertanyaan.

Tanya-jawab

Tanya: Tadi dijelaskan bahwa untuk mengatasi permasalahan kita, pemahaman karma dan akibat-akibatnya sangat penting. Tapi, apakah itu saja sudah cukup untuk mengatasi permasalahan kita? Apakah pemahaman lain tidak dibutuhkan? Apakah misalnya kesabaran tidak dibutuhkan untuk mengatasi penderitaan kita?

Rinpoche: Tentu saja kita butuh kualitas-kualitas lain untuk mengatasi penderitaan dan permasalahan. Akan tetapi, pembahasan kita kali ini merujuk pada pemahaman karma dan akibat-akibatnya. Pemahaman karma dan akibat-akibatnya ini pun sudah merupakan suatu bentuk kebijaksanaan. Kalau kita paham sebab-akibat dengan baik, bahwasanya segala sesuatu pasti ada sebabnya, maka kita akan lebih bisa menerima apa pun yang terjadi. Perenungan ini saja pun sudah bisa mengurangi tingkat penderitaan yang dirasakan dan mencegah kita menyalahi orang lain atas permasalahan atau penderitaan yang kita alami. Kita pun akan sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan penderitaan adalah dengan menghentikan sebab-sebabnya.

Jika kita benar-benar memahami bahwa apa pun yang terjadi itu adalah akibat dari suatu penyebab di masa lalu, maka kita akan lebih bisa menerimanya. Kita pun bisa memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak akan berlangsung untuk selama-lamanya. Kalau suatu sebab menghasilkan akibatnya, maka ketika kita selesai menjalani akibatnya, maka selesailah akibat dari karma tersebut. Dengan memahami sebab-akibat, kita juga bisa lebih memahami orang lain. Kita bisa mengamati bagaimana perilaku tertentu akan berakibat tertentu pula. Pengamatan ini bisa menjadi sumber bagi munculnya cinta kasih dan welas asih kepada orang lain.

Perenungan karma dan akibat-akibatnya memiliki efek langsung meredakan penderitaan saat ini, serta mencegah penderitaan di waktu yang akan datang. Pemahaman karma dan akibat-akibatnya mendukung seseorang untuk berhenti melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengakibatkan penderitaan. Pemahaman ini membuat kita sadar bahwa perilaku tertentu akan memiliki efek tertentu. Kalau kita berhenti berperilaku buruk, kita juga tidak akan mendapatkan akibat berupa karma buruk.

Tanya: Apakah kesadaran kita bisa dipengaruhi oleh kesadaran orang lain dan sebaliknya sehingga membentuk sebuah kesadaran global?

Rinpoche: Di dalam buddhis kita tidak mengenal adanya sebuah kesadaran global bersama. Masing-masing makhluk memiliki kesadarannya sendiri. Ketika dijelaskan bahwa kebahagiaan kita bergantung pada makhluk lain, tapi bukan berarti kesadaran kita dipengaruhi makhluk lain sebagaimana yang Anda maksudkan. Buddha mengatakan kita adalah pelindung diri sendiri, kita adalah pembimbing diri sendiri. Memang betul pandangan atau pemikiran kita bisa terpengaruh oleh orang lain. Sebaliknya, kita juga bisa memengaruhi pandangan atau pemikiran orang lain. Tapi, tidak ada yang namanya kesadaran global bersama.

* * * * * *

Sekian sampai di sini dulu. Terima kasih atas perhatian Anda semua. Saya mohon Anda semua berupaya sebisa-bisanya untuk memanfaatkan penjelasan yang telah diberikan supaya memberikan manfaat bagi hidup Anda. Anda bisa menerapkan penjelasan hari ini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, diharapkan Anda bisa akur dengan orang-orang di dalam hidup Anda serta meraih kebahagiaan bagi Anda sendiri berikut orang-orang di sekeliling Anda. Terima kasih. Sampai jumpa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *