Mencari Garam Dharma untuk Mendapatkan Rasa dalam Praktik Spiritual

  • October 16, 2013
Webcast Veneux, Perancis
Sabtu/ 12 Oktober 2013

* * * * * *

Pertama-tama saya hendak menyapa Anda semua, baik yang hadir di ruangan ini secara langsung maupun para pendengar yang tersebar di sejumlah negara di berbagai belahan bumi yang mengikuti sesi ini melalui siaran web. Saya ucapkan salam khas dalam bahasa Tibet, Tashi Delek!

Sudah beberapa saat lamanya kita tidak bertemu dalam sesi seperti ini karena libur musim panas yang baru lalu. Sekarang kita memiliki kesempatan untuk berkumpul kembali untuk mendengarkan ajaran Mahayana. Ini merupakan pertanda bahwa kita semua masih memiliki keberuntungan bisa bertemu ajaran, baik dari sisi guru yang mengajar maupun dari sisi para pendengar. Oleh sebab itu, kita harus mengikuti sesi ini dengan penuh semangat sekaligus penuh suka cita.

Mengapa saya mengatakan demikian? Karena seperti yang telah saya katakan di awal, kita semua sudah menjalani liburan musim panas tapi sekarang kita bisa berkumpul kembali untuk mendengarkan ajaran Dharma. Kalau tidak berhati-hati, sangat gampang sekali bagi kita untuk berpikir bahwa kesempatan seperti ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Kalau sampai Anda berpikiran seperti itu, tentu itu bukan merupakan sikap dan cara berpikir yang benar. Karena bisa jadi, misalnya pada saat liburan musim panas, Anda mengalami sesuatu hal sehingga tidak bisa berada di sini. Contoh, bisa saja Anda jatuh sakit sehingga Anda tidak bisa menghadiri sesi hari ini. Terlepas dari segala kemungkinan yang bisa terjadi, Anda harus berhati-hati dan tidak menganggap kehadiran Anda di sini adalah sesuatu yang memang seharusnya terjadi atau sesuatu yang biasa-bisa saja.

Lebih lanjut, kenyataan bahwa kita bisa menghadiri sesi ini dan mendengarkan ajaran Dharma tentu itu merupakan konsekuensi atau buah dari akumulasi karma baik yang kita miliki. Kenyataan bahwa kita masih bisa mendengarkan Dharma pada sesi hari ini merupakan bukti bahwa karma baik kita untuk bertemu dengan Dharma belum habis.

Berikutnya, kalau masing-masing Anda yang berada di sini mengambil waktu sejenak untuk benar-benar merenung, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kecenderungan umum yang berlaku adalah orang-orang pada umumnya menganggap kondisi yang beruntung seperti ini adalah sesuatu yang akan terus berlanjut untuk waktu yang sangat lama. Masing-masing dari kita di sini memiliki situasi dan kondisi pribadi masing-masing dan kalau tidak hati-hati merenungkannya kita akan menganggap bahwa situasi dan kondisi tersebut akan berlanjut terus-menerus, bahwa situasi kita akan berlanjut hingga bulan depan, tahun depan, dan seterusnya. Kita cenderung berpikir situasi akan tetap sama dan tidak mengalami perubahan.

Kalau demikian halnya kesan yang kita rasakan, tentu itu merupakan kesan yang sepenuhnya keliru. Segala situasi dan kondisi yang kita rasakan sepenuhnya tidak bisa dikendalikan dan dipertahankan, dengan kata lain ia senantiasa berubah. Perubahan terjadi setiap saat, dari satu momen ke momen berikutnya. Dengan kata lain, setiap momen dari eksistensi kita saat ini sedang mengalami perubahan terus-menerus.

Kondisi perubahan yang terus-menerus ini bukanlah sesuatu yang aneh dan jarang terjadi karena kita termasuk dalam kategori fenomena yang tidak kekal. Kita berubah terus-menerus, dari satu momen ke momen berikutnya, semata-mata karena kita merupakan hasil dari gabungan sebab dan kondisi. Karena itu kita tidak mungkin terus-menerus mempertahankan sebuah keberadaan yang tetap dan stabil, justru sebaliknya kita senantiasa mengalami perubahan.

Apa yang saya jelaskan di sini merujuk pada ketidak-kekalan yang halus, yaitu perubahan yang terjadi dari satu momen ke momen berikutnya, sebuah kondisi yang saat ini harus kita alami setiap saat. Seiring dengan kita mengalami perubahan, maka situasi dan kondisi apa pun yang kita alami pada saat ini akan berakhir dan berubah. Pada akhirnya kita akan kehabisan waktu dan kondisi kita mengalami perubahan drastis. Dengan kata lain, perubahan terjadi dan kita harus berangkat menuju kehidupan berikutnya.

Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah perubahan. Kita juga tidak mungkin memperpanjang periode kestabilan–seandainya saja kita memiliki yang namanya kestabilan. Jadi, kembali lagi, kita tidak mungkin mengubah atau melawan kondisi yang senantiasa berubah. Tentu saja apa yang saya sampaikan di sini berdasarkan sudut pandang buddhis.

Dewasa ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sedemikian rupa barangkali suatu hari nanti akan ada penemuan bagaimana mempertahankan dan memperpanjang momen kestabilan. Kalau sampai itu bisa terjadi, itu sesuatu yang luar biasa dan saya berharap para ahli bisa menemukan caranya sesegera mungkin. Namun, sebelum penemuan itu terjadi, mau tidak mau kita masih berpatokan pada prinsip buddhis tentang perubahan yang terjadi dari momen ke momen dan menyesuaikan cara pandang serta perilaku kita terkait perubahan.

Kenyataan bahwa kita harus mengalami perubahan dari momen ke momen yang pada akhirnya menuntun kita pada ketidakkekalan dalam bentuk kematian, ini sebenarnya mencakup satu sisi, karena di sisi lain ternyata ada keuntungan yang bisa kita tarik dari kondisi ini. Keuntungannya terkait dengan batin dan pikiran kita sendiri. Dikarenakan batin kita senantiasa berubah dari momen ke momen, maka sangat mungkin bagi kita untuk mentransformasikan batin yang tadinya pada suatu momen merupakan pikiran tak bajik atau pikiran netral, maka momen berikutnya kita bisa mengubahnya menjadi cara berpikir yang valid, yang berlandaskan logika, yang mengandung manfaat dan nilai penting. Hal ini mungkin terjad dikarenakan perubahan dan ketidakkekalan itu sendiri.

Poin yang sama bila diungkapkan dengan kata-kata lain adalah misalnya pada satu momen batin kita dipengaruhi oleh mental pengganggu atau klesha, dikarenakan kondisi tersebut bisa berubah, berarti kita bisa melakukan intervensi. Kita bisa menghentikan klesha yang sedang mencuat dengan kuat. Barangkali kita belum bisa sepenuhnya memadamkan klesha tersebut, tapi kita bisa berupaya untuk menetralisirnya. Kita bisa mengubah klesha tersebut menjadi bentuk pikiran yang netral atau bahkan yang bajik atau positif.

Bagaimana kita memaknai hal ini? Itu berarti apa pun yang sudah terjadi, apa pun yang sudah kita lakukan, kita tidak bisa kembali ke masa lampau dan mengubah sesuatu yang telah berlalu. Apa yang bisa kita lakukan adalah menjalani hidup kita dengan baik sejak sekarang hingga seterusnya nanti. Kita bisa berupaya untuk menjalani hidup bermakna, benar-benar berjuang untuk mengembangkan batin dan cara berpikir kita.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana caranya kita menjalani sisa waktu yang kita miliki dalam hidup ini? Jawabannya tentu saja bergantung pada keinginan mendasar yang Anda miliki. Keinginan mendasar Anda sama dengan keinginan semua makhluk, yaitu kita semua ingin bahagia tidak ingin menderita. Keinginan ini berlaku bahkan untuk serangga kecil seperti semut dan juga semua makhluk hidup, termasuk yang ukurannya sangat kecil. Kita ingin bahagia tidak ingin menderita, bahkan penderitaan kecil seperti mimpi buruk sekali pun.

Tentu saja tidak cukup bila kita hanya berharap-harap untuk bahagia. Kita harus menciptakan sebab-sebab kebahagiaan dan berhenti menciptakan sebab-sebab penderitaan. Dengan cara seperti ini barulah dikatakan bahwa hidup kita memiliki makna.

Berikutnya, apakah metode untuk mencapai aspirasi yang kita inginkan tersebut? Apakah untuk bahagia kita harus pindah ke tempat lain atau mengubah gaya hidup secara drastis? Apakah untuk bahagia kita harus makan obat-obatan tertentu atau membeli barang-barang tertentu? Cara-cara tersebut belum tentu berguna untuk menghasilkan tujuan yang diinginkan. Satu-satunya cara untuk berbahagia adalah mentransformasikan batin kita sendiri.

Yang dimaksud dengan transformasi batin adalah mengubah cara pandang dan pola pikir kita sedemikian rupa sehingga lebih selaras dengan kenyataan yang sesungguhnya. Lebih tepatnya lagi, apa yang seharusnya kita lakukan? Pertama-tama kita harus memahami prinsip-prinsip filosofis buddhis terkait apa yang terjadi di dalam batin, yaitu bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang kita alami. Segala bentuk pikiran dan perasaan tersebut bisa digolongkan dalam kategori-kategori tertentu. Ada kategori bentuk pikiran yang kalau muncul di dalam batin, ia merupakan sebab kebahagiaan. Di sisi lain, ada kateogori bentuk pikiran yang kalau muncul akan menimbulkan penderitaan. Yang ketiga adalah kategori bentuk pikiran yang sifatnya netral, yang kalau muncul tidak menimbulkan kebahagiaan maupun penderitaan.

Mari kita amati apa yang terjadi di dalam batin kita. Jangankan apa yang terjadi di batin kita sejak waktu tak bermula yang sangat lama, cobalah amati apa yang terjadi di dalam batin sejak bangun pagi hingga saat ini. Dalam rentang waktu yang relatif singkat tersebut, segala macam bentuk pikiran dan perasaan muncul di dalam batin kita. Ini adalah sesuatu yang bisa diamati. Ada bentuk-bentuk pikiran yang positif yang merupakan sebab kebahagiaan, tapi kita juga memunculkan segala bentuk variasi pikiran yang menimbulkan penderitaan, serta bentuk-bentuk pikiran yang memiliki sifat dasar netral.

Kalau kita sudah bisa mengamati apa yang terjadi di dalam batin kita selama ini, maka langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah mengurangi bentuk-bentuk pikiran yang mengakibatkan penderitaan serta mengembangkan dan memunculkan bentuk-bentuk pikiran yang menimbulkan kebahagiaan. Sesungguhnya, hanya dua hal inilah yang harus kita lakukan. Sesederhana itu. Kalau kita berbicara tentang mempraktekkan ajaran Buddha, pada dasarnya itulah inti dari praktek buddhis, yaitu melatih batin kita sesuai dengan cara yang baru saja dijelaskan.

Berikutnya, kalau berbicara metode untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah dijelaskan tadi, maka kita harus melatih batin. Ada banyak metode dan teknik di dalam ajaran buddhis, misalnya meditasi analitik maupun konsentrasi, praktek-praktek ritual, melakukan persembahan, mempersembahkan penghormatan, namaskara, pradaksina, praktek-praktek akumulasi kebajikan, praktek pengakuan kesalahan. Ada begitu banyak teknik berbeda yang tujuannya untuk mendukung pengembangan batin, termasuk juga praktek melafalkan teks. Teknik-teknik pengembangan batin buddhis juga termasuk menghafal teks, melafalkan teks, melakukan debat filosofis, dan lain sebagainya.

Keseluruhan metode dan teknik tersebut memiliki tujuan akhir yang merupakan inti dari praktek buddhis, yaitu mengikis berbagai bentuk pemikiran negatif yang berakibat penderitaan dan menumbuhkembangkan pemikiran-pemikiran yang menimbulkan kebahagiaan. Akan tetapi, ketika kita melakukan teknik-teknik tersebut dalam rangka menerapkan ajaran, penting sekali kita benar-benar memahami apa yang sesungguhnya sedang kita lakukan. Kita harus tahu bentuk pikiran seperti apa yang semestinya dimunculkan dan bentuk pikiran seperti apa yang harus dibuang. Pemahaman ini sangat penting sekali dan untuk itu kita harus benar-benar mempelajari apa yang semestinya dilakukan dan apa yang seharusnya dihindari.

Jika kita tidak mempersiapkan diri dengan baik, dengan kata lain mempelajari apa yang semestinya dilakukan dan semestinya dihindari, dan yang kita lakukan hanyalah berdoa agar kita mengalami kemajuan dalam praktek, tentu sulit bagi kita untuk mencapai hasil yang dikehendaki. Terkait dengan hal ini, ada kisah yang sudah sering saya ceritakan. Cerita ini terkait Geshe Potowa ketika beliau masih kecil dan tinggal bersama orangtuanya. Ketika itu, ada seorang praktisi tantra yang baru saja meninggal dan Geshe Potowa kecil menghadiri upacara pemakaman. Ketika tubuh praktisi itu dikremasikan, muncul pelangi yang ujungnya menyentuh jasad sang praktisi tantra. Menyaksikan hal tersebut, Geshe Potowa sangat terkesan dan bertanya kepada orang-orang yang lebih dewasa mengapa hal seperti itu bisa terjadi.

Jawaban yang diterima oleh anak kecil yang kelak menjadi geshe itu adalah dikarenakan orang yang meninggal tersebut adalah seorang praktisi tantra besar. Anak kecil tersebut spontan mengatakan, “Saya juga ingin mempraktekkan dharma dengan baik.” Ayahnya ketika itu berkata, “Bagus sekali. Kalau memang ingin praktek dharma, kamu harus pergi ke Biara Rating karena di sana ada Geshe Dromtonpa. Di sana kamu haruslah mempelajari teks Arya Vasubandhu tentang Pancaskandha dan topik Batin & Faktor-faktor Mental.”

Ayah Geshe Potowa mengatakan bahwa topik tersebut adalah garam-nya Buddha Dharma, yang kalau dipelajari akan menambah rasa di dalam praktek spiritual seseorang. Rasa inilah yang kemudian menyebabkan praktek spiritual seseorang menjadi signifikan dan efektif. Demikianlah nasihat yang diberikan oleh ayah Geshe Potowa ketika ia mengirimkan anaknya ke Biara Rating untuk belajar dengan Geshe Dromtonpa.

Dengan demikian, perlu diketahui bahwa penting sekali bagi kita untuk mempelajari topik Batin dan Faktor-faktor Mental. Pemahaman topik ini akan mengubah praktek spiritual seseorang menjadi lebih efektif dan berfungsi mengembangkan batin sang praktisi. Batin dan Faktor-faktor Mental ibarat garam yang memberi rasa pada praktek spiritual kita. Sama halnya garam memberikan rasa pada makanan, maka pemahaman topik tersebut akan memberikan rasa pada praktek spiritual kita.

Apakah cukup dengan hanya mempelajari topik Batin dan Faktor-faktor Mental? Tentu saja tidak. Anda harus menerapkan apa yang telah dipelajari pada batin Anda sendiri. Kalau diterapkan barulah akan berdampak pada pengembangan batin dan pola pikir yang pada gilirannya akan memengaruhi perilaku dan sikap seseorang. Instruksi yang mampu memadukan pemahaman Batin dan Faktor-faktor Mental dengan praktek spiritual agar menjadi lebih efektif adalah instruksi yang disebut Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi atau Lamrim.

Bertumpu pada instruksi ini akan berfungsi sebagai panduan bagi seseorang untuk memahami batin dan faktor-faktor mental, yang mana pemahaman ini pada gilirannya akan berfungsi mengembangkan batin secara efektif. Jadi, kalau Anda bisa mengombinasikan kedua hal tersebut, yaitu di satu sisi mempelajari batin dan faktor-faktor mental dan di sisi lain melakukan praktek-praktek Lamrim, maka gabungan dari kedua hal tersebut akan menjadi sangat efektif. Sebaliknya, bila Anda gagal memadukan keduanya, maka mustahil untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Dengan demikian, penting sekali bagi Anda semua di sini untuk mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan ajaran Lamrim. Itu sebabnya pula dalam sesi bulanan kita ini saya mengajarkan Lamrim atau instruksi Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi. Instruksi Lamrim yang kita bahas sekarang ini adalah teks yang disusun oleh Yang Mulia Dalai Lama Kelima yang berjudul Instruksi Lisan Manjughosa. Sebelumnya saya sudah mengawali pembahasan teks ini, oleh karena itu pada sesi ini saya akan melanjutkan penjelasannya. Saya akan tetap mengaitkan penjelasan Instruksi Lisan Manjughosa ini dengan garis-garis besar Lamrim pada teks Instruksi-instruksi Guru yang Berharga.

Penting sekali bagi kita semua untuk membangkitkan motivasi yang bajik ketika mendengarkan ajaran Lamrim ini. Saya tidak akan menguraikannya lagi satu per satu karena sebagian besar Anda sudah paham. Pada dasarnya kita harus mengenali bahwa semua makhluk masih berada di dalam samsara dan kita memiliki hubungan yang sangat dekat dengan semua makhluk. Mereka semua adalah ayah dan ibu kita pada kehidupan yang lampau. Sama halnya kita ingin bahagia tidak ingin menderita, maka semua makhluk juga menginginkan hal yang sama. Tidak pantas kalau kita semata-mata hanya mengejar kebahagiaan pribadi dan mengatasi penderitaan kita sendiri. Kita harus senantiasa mengingat dan menyadari hubungan dekat kita dengan semua makhluk, betapa mereka semua telah begitu baik kepada kita.

Semua makhluk telah menunjukkan kebaikan kepada kita pada kehidupan lampau, kehidupan saat ini, dan juga pada kehidupan-kehidupan yang akan datang hingga pada akhirnya kita mencapai Kebuddhaan yang lengkap sempurna. Pencapaian terkecil hingga yang tertinggi berupa Kebuddhaan bergantung pada kebaikan makhluk lain. Tanpa makhluk lain tidak mungkin kita bisa meraih kebahagiaan atau pencapaian apa pun juga.

Kita berhutang kepada semua makhluk dan kita akan terus berhutang kepada mereka. Sudah sepantasnyalah kita membalas kebaikan semua makhluk, terutama ketika pada kondisi saat ini kita memiliki potensi untuk melakukannya. Kita sudah mendapatkan kehidupan yang diberkahi dengan kebebasan dan keberuntungan. Kita sudah bertemu dengan ajaran Buddha. Ini adalah benar adanya pada kondisi kita karena tidak semua orang bisa bertemu dengan ajaran Buddha. Dalam kondisi yang beruntung seperti ini, kita harus membalas jasa atas kebaikan semua makhluk.

Untuk membalas jasa mereka, apakah sudah cukup kalau kita menyediakan makanan, minuman, dan kebutuhan lainnya? Tentu saja tidak cukup karena semua makhluk pada dasarnya berharap menghentikan penderitaan secara permanen dan meraih kebahagiaan yang stabil dan itulah yang seharusnya kita persembahkan kepada mereka semua. Kita harus mempersembahkan kebahagiaan nirwana dan Kebuddhaan yang lengkap sempurna kepada semua makhluk. Untuk itu, kita harus mengambil tanggung-jawab pribadi untuk mencapai tujuan tersebut dengan pertama-tama mencapai Kebuddhaan pada diri sendiri.

Kalau kita cermati kondisi kita saat ini, tentu tidak realistis bagi kita untuk mencapai tujuan terkait semua makhluk. Oleh sebab itu, kita sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya cara adalah mencapai Kebuddhaan. Pencapaian Kebuddhaan adalah cara untuk mencapai tujuan, jadi kita bertekad mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk yang jumlahnya seluas angkasa. Untuk mencapai Kebuddhaan inilah kita berada di sini untuk mendengarkan, merenungkan, dan memeditasikan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi.

Penjelasan Tahapan Jalan bisa diuraikan menjadi empat bagian besar, yaitu:
1) Penjelasan kualitas-kualitas agung Guru spiritual untuk menunjukkan kemurnian sumber ajaran.
2) Penjelasan kualitas-kualitas agung ajaran untuk membangkitkan rasa hormat terhadap instruksi.
3) Bagaimana cara mengajar dan mendengarkan ajaran dengan kualitas-kualitas di atas.
4) Bagaimana kita para murid dibimbing dengan ajaran Lamrim yang sebenarnya.

Berikutnya, sudah sampai mana pembahasan kita terhadap teks Instruksi Lisan Manjughosa? Baiklah, pertama-tama saya akan lanjut memberikan transmisi lisan teks ini. Pada sesi sebelumnya saya sudah menjelaskan bagian awal teks ini, yang dibuka dengan bait-bait dan dilanjutkan dengan bagian prosa. Inti dari bagian awal teks ini adalah pendahuluan dan penghormatan. Setelah itu dilanjutkan dengan bagian prosa yang menjelaskan empat kualitas yang terkandung dalam instruksi ini, yaitu penjelasan kualitas-kualitas agung ajaran.

(Transmisi lisan teks)
Bagian pertama teks ini bunyinya :
….
….

Penjelasannya adalah seseorang yang hendak mempraktekkan instruksi ini haruslah terlebih dulu menerimanya dari seorang guru spiritual yang memiliki silsilah murni tak terputus, yang artinya guru spiritual kita haruslah menerima instruksi dari guru spiritualnya, yang mana guru spiritualnya menerimanya dari guru spiritualnya, demikian seterusnya dirunut hingga sampai pada Buddha sendiri.

Terkait dengan bagian ini, Yang Mulia Dalai Lama Kelima memberikan referensi karya lain untuk mendukung pernyataan bahwa seorang praktisi seharusnya bertumpu kepada guru spiritualnya yang mana guru spiritualnya juga telah bertumpu pada guru spiritualnya, demikian seterusnya. Referensi yang dirujuk adalah teks “Baris-baris Pengalaman” yang bunyinya adalah:

 

“…..yang telah merangkum dengan sempurna, lengkap dan tanpa cela
Poin-poin yang esensial pada silsilah pandangan mendalam dan aktivitas luas,
Yang diturunkan dengan sempurna oleh kedua perintis yang agung”

 

Selain itu ada dua kutipan dari Lamrim Chenmo terkait poin ini, yang menyebutkan bahwa ajaran ini merupakan instruksi yang ditransmisikan dari silsilah tanpa putus yang bisa dirunut kembali kepada Buddha itu sendiri. Teks Lamrim Chenmo juga memaparkan penjelasan-penjelasan untuk menunjukkan kemurnian sumber ajaran yang ditunjukkan dengan memaparkan keagungan sang penulisnya.

Sebelumnya, pada teks Instruksi Lisan Manjughosa kita sudah memahami betapa Yang Mulia Dalai Lama menekankan bahwa seorang praktisi yang berniat mempraktekkan ajaran ini seharusnya bertumpu kepada seorang guru spiritual yang memiliki silsilah yang murni. Sesungguhnya, kalau kita benar-benar memeriksa dan merenungkan nasihat Yang Mulia Dalai Lama Kelima ini, maka kita akan betul-betul memahami betapa pentingnya poin yang disampaikan tersebut.

Teks lanjut mengatakan bahwa urutan silsilah mulai dari Putra Sudhana hingga Je Tsongkhapa dan seterusnya-urutan nama-nama guru spiritual yang bisa kita cermati di dalam Doa Permohonan kepada Guru-guru Silsilah. Di sini disebutkan bahwa sejak Je Rinpoche menuangkan pengalaman dan realisasinya di dalam karya-karya Beliau yang kemudian tersebar ke sepuluh penjuru, ada begitu banyak murid-murid yang menjadi praktisi spiritual, yang jumlahnya setara dengan bintang-bintang di angkasa dan debu-debu di atas permukaan bumi. Selain memiliki pengalaman dan realisasi unggul, Je Rinpoche juga merupakan pemegang banyak silsilah transmisi berbeda.

Yang Mulia Dalai Kelima menegur pihak-pihak tertentu yang dewasa ini cenderung hanya merujuk semata-mata pada guru-guru yang berasal dari biara yang sama. Beliau juga menegur pihak-pihak yang bertumpu pada guru-guru yang sesungguhnya silsilahnya tidak begitu murni dan bahkan tidak begitu jelas, orang-orang yang menerima instruksi dari guru yang silsilahnya tidak sepenuhnya merupakan silsilah yang murni. Kondisi seperti ini sangat aneh tapi itulah yang memang terjadi.

Lanjut, Yang Mulia Dalai Lama Kelima mengatakan bahwa apa yang hendak dituliskan di dalam teksnya ini merupakan penjelasan-penjelasan ajaran yang bertujuan menerangkan maknanya dan menghapus segala keraguan terkait ajaran tersebut. Selain itu, isi teks ini juga mengandung penjelasan praktis untuk tujuan praktek. Demi untuk menyusun teks ini, Yang Mulia Dalai Lama menyatakan bahwa Beliau telah mengeluarkan upaya besar untuk mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan instruksi tersebut.

Yang Mulia Dalai Lama Kelima sendiri secara pribadi telah menerima berbagai garis silsilah transmisi berikut penjelasannya. Terkait dengan praktek, Yang Mulia Dalai Lama Kelima juga sudah melaksanakannya dengan bertumpu pada ajaran Je Sherab Sengge dan juga guru spiritual akar pribadinya sendiri.

(Transmisi lisan teks)

Teks yang disusun oleh Yang Mulia Dalai Lama Kelima ini menjelaskan mulai dari praktek yang sesungguhnya, yaitu pertama-tama membersihkan tempat di mana kita akan menerima sebuah ajaran. Seperti yang dijelaskan di dalam Sutra Sang Ibu Penakluk (Sutra Prajnaparamita), untuk menerima ajaran pertama-tama kita harus membangkitkan rasa hormat kepada guru dan ajaran, kemudian mendirikan sebuah takhta yang tinggi. Sambilan itu, kita harus memandang sosok guru yang kita yakini dan hormati tersebut sebagai Buddha yang sesungguhnya.

Kutipan dari Sutra Ksitigarbha juga menyatakan hal yang sama, yakni bangkitkanlah keyakinan dan rasa bakti ketika menerima dan mendengarkan ajaran Dharma. Lakukanlah persembahan kepada Guru Dharma dan bangkitkanlah pandangan yang melihat guru Dharma sebagai Buddha yang sesungguhnya. Yang Mulia Dalai Lama Kelima menekankan pentingnya hal ini sebagai fondasi dasar dan jangan sampai salah memahami poin penting yang terkandung di dalamnya, yaitu melihat guru spiritual dari mana kita menerima ajaran sebagai Buddha yang sesungguhnya.

(Transmisi lisan teks)

Lanjut dijelaskan bahwa ketika hendak menerima ajaran yang sesungguhnya, sebelum mendengarkan ajaran yang diberikan, kita harus melafalkan “Sutra yang Dimohon oleh Sagaramati” yang bertujuan menghalau segala jenis makhluk pengganggu. Kita juga harus melafalkan Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan sebanyak tiga kali.

Di sini yang biasanya kita lakukan adalah membaca Sutra Hati sebanyak satu kali. Tadinya tradisinya adalah tiga kali. Saya tidak tahu apa yang terjadi di waktu antara sehingga sekarang hanya menjadi satu kali. Berikutnya kita mengajukan permohonan kepada guru-guru spiritual dengan urutan yang benar, seperti yang kita lakukan pada Enam Praktek Pendahuluan.

Sebelum sesi ajaran biasanya kita melakukan sesi Enam Praktek Pendahuluan dan ini sangat penting sekali karena praktek pendahuluan ini akan menentukan keberhasilan seorang murid. Jika seseorang mengambil jalan pintas, seperti misalnya ketika seseorang mempelajari “Kumpulan Topik” maka ia tidak akan berhasil. Dalam mempelajari teks, Yang Mulia Dalai Lama Kelima menasihati agar seorang murid harus mendayagunakan intelejensinya untuk memeriksa mulai dari awal, tengah, hingga bagian penutup sebuah teks ajaran secara cermat.

(Transmisi lisan teks)
Bagian berikutnya menyatakan:

…..
….
…..

Bagaimana cara melakukannya? Itu bisa dicapai dengan belajar, merenung, dan meditasi. Keseluruhan ajaran Mahayana yang berasal dari kedua perintis agung, yakni Asanga dan Nagarjuna, dan dari kedua guru besar ini mengalirlah dua sungai besar yang kemudian bermuara pada Guru Atisha Dipamkara.

Bagi kita di sini yang memiliki kecenderungan Mahayana, dengan mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan ajaran-ajaran Mahayana akan memungkinkan kita mengatasi dan mengakhiri penderitaan samsara serta meraih kedamaian yang berkelanjutan dalam bentuk pencapaian Kebuddhaan. Ajaran Mahayana berasal dari Buddha dan diteruskan kepada Nagarjuna dan Asanga. Kedua perintis agung ini menyebar-luaskan ajaran ibarat dua sungai besar yang kemudian bermuara pada Guru Atisha.

Kata-kata yang tercantum di dalam teks yang disusun oleh Yang Mulia Dalai Lama Kelima ini sangat elegan dan kompleks. Ringkasnya, makna kata-kata tersebut bagi kita sebagai pemula adalah bahwa ajaran ini mengandung kualitas dan manfaat dan berfungsi sebagai metode bagi kita untuk mengakhiri penderitaan. Secara khusus, ini merujuk pada tindakan mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan Tahapan Jalan Menuju Pencerahan untuk Ketiga Jenis Praktisi.

(Transmisi lisan teks)

Berikutnya, Yang Mulia Dalai Lama Kelima memaparkan manfaat-manfaat mendengarkan ajaran. Dengan mempelajari dan memahami ajaran, kita bisa menghentikan kesalahan-kesalahan dan berhenti melakukan aktivitas tak berguna. Dari situ, kita bisa mencapai tingkatan bebas dari penderitaan, dengan kata lain, Kebuddhaan.

(Transmisi lisan teks)

Setelah mendapatkan manfaat dari mendengarkan dan mempelajari ajaran, kita harus bisa benar-benar memantapkan ajaran di dalam batin dengan mempelajari sepenuhnya. Sutra mengatakan bahwa kita seharusnya mendengarkan dan mempelajari ajaran dengan sepenuhnya. Dalam mendengarkan ajaran, kita harus menghindari tiga kesalahan bejana. Selain itu, kita harus bisa melihat diri sendiri sebagai pasien, guru yang mengajar sebagai dokter, dan bertumpu pada ajaran Dharma selaku obat untuk menyembuhkan sakit yang diderita. Ketika mendengarkan ajaran kita juga harus bisa melihat Tathagata sebagai makhluk yang unggul serta berharap agar ajaran bisa bertahan untuk waktu yang lama. Cara berpikir seperti ini disebut enam jenis ingatan yang harus diterapkan ketika mendengarkan ajaran.

Idealnya, masing-masing aspek cara mendengarkan ajaran harus dijelaskan satu per satu, tapi saya yakin sebagian besar Anda semua sudah pernah mendengarnya dan juga memahami ketiga jenis kesalahan bejana yang harus dihindari. Salah satu kesalahan bejana yang harus dihindari adalah pot yang kotor. Ini adalah kesalahan yang sangat penting untuk dihindari.

Di waktu lampau guru-guru besar mengajarkan murid-muridnya untuk menghindari kesalahan tiga bejana, secara khusus menghindari kesalahan bejana yang kotor. Di masa lampau secara umum orang-orang memiliki ketertarikan pada Dharma dan mereka bisa mendengarkan dengan baik serta mempertahankan dalam ingatan. Dari itu, sisa orang-orang lainnya memiliki kecenderungan mendengarkan ajaran dengan motivasi yang tidak benar.

Dewasa ini kecenderungan yang terjadi telah berubah. Kesalahan yang umum terjadi dan harus dihindari adalah pot yang terbalik. Orang-orang bisa saja datang untuk mendengarkan sebuah sesi ajaran tapi sebenarnya perhatiannya tidak fokus. Fisiknya bisa jadi ada di sini, tapi batinnya mengembara ke mana-mana, ke rumah, ke tempat kerja, dan lain-lain. Jadi, walaupun badan jasmaninya ada di tempat ajaran, tapi sebenarnya ia tidak mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan.

Kesalahan yang ketiga adalah mendengarkan tapi tidak mampu mempertahankannya dalam ingatan. Misalnya seseorang yang menghadiri suatu sesi ajaran dan kemudian pulang ke rumah dalam keadaan seperti bejana yang kosong. Segala yang sudah dituangkan ke dalam akan mengalir keluar begitu saja. Dewasa ini kita semua harus berhati-hati dengan kesalahan ini, yaitu dua jenis kesalahan yang baru saja dijelaskan karena kita memiliki resiko yang sangat besar untuk mengalaminya.

Di antara keenam jenis ingatan yang harus dimunculkan ketika mendengarkan ajaran, yang paling penting adalah ingatan yang pertama yaitu melihat diri sendiri sebagai orang yang sakit. Ini sangat penting sekali. Kita semua di sini bisa bertanya kepada diri sendiri sekarang juga, apakah kita melihat diri sendiri sebagai orang yang sedang sakit? Apakah kita merasa menderita penyakit yang harus disembuhkan? Atau apakah Anda tidak merasa sebagai orang yang sakit sama sekali?

Berbicara tentang sakit, penyakit seperti apa yang diderita? Sakit yang kita derita merujuk pada tiga racun mental, yaitu kemelekatan, kemarahan, dan kebodohan batin. Inilah penyakit-penyakit yang sedang kita idap. Penyakit-penyakit tersebut, misalnya kemelekatan atau kemarahan, barangkali tidak muncul ketika kita sedang menghadiri sebuah sesi ajaran. Akan tetapi, penyakit ini sifatnya laten di dalam batin kita. Jadi, penyakit yang kita idap ini tidak mesti muncul setiap saat, tapi penyakit tersebut ada di dalam diri kita.

Contohnya saat ini kita dalam kondisi sehat, tapi sangat mudah sekali bagi kita untuk terjangkiti penyakit flu. Misalnya saja kalau kita tidak makan dengan benar, sangat mudah sekali untuk jatuh sakit. Terkait dengan kesehatan, kalau kita tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan sebaliknya melakukan yang tidak boleh dilakukan, maka kita akan jatuh sakit. Sama halnya dengan sakit mental yang sedang kita derita. Mungkin kemelekatan kita tidak muncul setiap saat, tapi begitu kita bertemu sesuatu hal yang menarik, yang kita anggap bagus, maka kemelekatan serta-merta muncul. Hal yang sama berlaku ketika kita bertemu dengan objek yang kita anggap tidak menarik, yang tidak kita sukai, maka begitu objek tersebut muncul kemarahan kita pun muncul.

(Transmisi lisan teks)

Saya telah membacakan beberapa halaman teks Instruksi Lisan Manjughosa ini. Penjelasannya akan saya berikan pada sesi yang akan datang. Setelah ini, Anda semua akan mengikuti sesi meditasi. Sebelum sesi meditasi dimulai, ada sesi rehat atau waktu jeda. Bisa jadi Anda menghabiskan waktu jeda ini dengan terlalu banyak berbicara. Kalau terlalu banyak bicara sebelum masuk sesi meditasi, resikonya adalah Anda akan melupakan apa yang baru saja dijelaskan pada sesi ini. Jadi, saran saya, setelah selesai beristirahat maka Anda boleh bersiap-siap memasuki ruang meditasi lebih awal untuk memulai sesi meditasi.

* * * * * * *

Catatan: Artikel ini merupakan rangkuman dari sesi webcast yang disiarkan dari Aula Yiga Choedzin, Veneux-les-Sablons, Perancis dalam sesi bulanan yang disampaikan oleh Yang Mulia Dagpo Lama Rinpoche pada hari Sabtu, 12 Oktober 2013. Sesi siaran web ini diterima di Bandung, Jawa Barat, dan dirangkum dari catatan tangan penerjemah bahasa Indonesia. Ada beberapa bagian kutipan yang belum berhasil dicatat dan akan dilengkapi setelah menerima salinan teks lengkap Instruksi Lisan Manjughosa. Bila terdapat kesalahan, itu sepenuhnya menjadi tanggung-jawab perangkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *