POLEMIK SEBUAH BUKU: LALAI ATAU INKOMPETEN?

POLEMIK SEBUAH BUKU: LALAI ATAU INKOMPETEN?

  • July 29, 2022

Bertanggung jawab terhadap pendidikan serta pembentukan karakter, moral, dan pola pikir seluruh generasi muda sebuah bangsa memang bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi, bagi bangsa Indonesia yang kemajemukannya luar biasa sekali ini.

Oleh karena itu, tugas yang diemban oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi bukanlah sebuah mandat yang bisa dianggap remeh. Sebab, nasib penerus bangsa berada di tangannya. Tugas berat namun berpahala besar jika dijalankan dengan benar. Oleh karena itu pula, tugas penyusunan kurikulum pendidikan yang diemban oleh Kemendikbudristek, baik dalam hal pedagogi, silabus, hingga ke kontennya haruslah dilakukan secara serius.

Kasus buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk tingkat SMP kelas VII yang ditulis oleh Zaim Uchrowi dan Ruslinawati dan diterbitkan oleh Kemendikbudristek pada 2021, yang diprotes salah satu bagian dari isinya oleh umat Kristen dan Katolik baru-baru ini, adalah sebuah contoh kasus yang sangat disesalkan. Apalagi, kesalahan di dalam buku tersebut ternyata tidak berhenti di situ saja.

Ketika membahas tentang sejarah perkembangan agama Buddha di Indonesia, tercantum bahwa agama Buddha baru mulai berkembang di abad ke-8 di masa Kerajaan Sriwijaya. Padahal sumber-sumber data yang ada dan sangat mudah diakses tidaklah mengatakan demikian. Itu antara lain bisa diketahui baik dari penemuan-penemuan arkeologis maupun catatan-catatan dari negara lain yang sudah menjadi bagian dari konsensus global dalam menentukan perjalanan sejarah berbagai hal di dunia.

Catatan kedatangan agama Buddha untuk pertama kalinya di Nusantara antara lain dapat ditemukan pada buku “Memoirs of Eminent Monks” karya biksu Hui Jiao dari vihara Jiaxiang di China pada abad ke-5. Di sana tercantum bahwa seorang biksu terkenal dari Kashmir bernama Gunawarman pernah datang ke Pulau Jawa. Seorang raja yang sedang berkuasa ketika itu, bersama dengan ibundanya, mengambil Tisarana dan Pancasila kepada Gunawarman. Tisarana dan Pancasila adalah penanda mendasar seorang Buddhis.

Kashmir adalah sebuah nama daerah di bagian utara India yang berbatasan dengan pegunungan Himalaya. Oleh karena itu, adalah keliru jika mengatakan bahwa agama Buddha di Indonesia adalah dikembangkan dari Tiongkok/China.

Gunawarman sendiri lahir sebagai seorang keturunan raja di Kashmir pada 367 Masehi yang kemudian memilih untuk meninggalkan kehidupan istana untuk menjadi seorang biksu Buddha. Beliau juga meninggalkan jejak historikal yang sangat penting bagi ajaran Buddha di Srilanka, tempat persinggahan pertama beliau, sebelum melanjutkan perjalanan ke pulau Jawa.

Menurut buku “Saints and Sages of Kashmir” karya Triloki Nath Dhar, dikatakan bahwa Kaisar China ketika itu (Dinasti Liu-Song) bahkan sempat mengirimkan kurir ke pulau Jawa dan berupaya mengundang Gunawarman ke China. Namun, mereka tidak berhasil menemuinya karena ketika itu Gunawarman sudah meninggalkan pulau Jawa.

Berdasarkan catatan-catatan tersebut, raja yang berkuasa di pulau Jawa ketika itu dipanggil dengan nama Po tuo jia atau Raja Vadhaka (Badhaka). Berdasarkan tafsiran para ahli, Raja Badhaka itu merujuk ke ayahanda dari Raja Purnawarman atau bahkan Raja Purnawarman itu sendiri dari Kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan Tarumanegara sendiri adalah kerajaan yang bercorak Hindu dan sekaligus Buddha, yang merupakan kerajaan tertua di pulau Jawa dan berkembang pada periode abad ke-5 hingga abad ke-7. Peninggalan dari periode kerajaan ini antara lain adalah kompleks percandian Batujaya yang memiliki banyak sekali artefak-artefak bercorak Buddha. Sebut saja, antara lain adalah amulet (sejenis lempengan berukir) yang bergambarkan Buddha. Amulet ini berdasarkan analisis Casparis, seorang filolog terkenal dari Belanda, adalah berasal dari periode abad 5-6 Masehi. Ada pula ditemukan prasasti-prasasti berisikan ayat-ayat suci Buddha yang juga diidentifikasi berasal setidaknya dari tahun 600-an. Tidak lupa pula catatan dari China, kitab “Fo Kuo Chi”, yang berisikan catatan perjalanan biksu Fa Hsien pada tahun 414 Masehi yang telah mengindikasikan adanya penganut Buddha di wilayah Tarumanegara.

Ketika buku pelajaran tersebut membahas mengenai kerajaan Sriwijaya, data yang disajikan juga kurang tepat. Berdasarkan catatan perjalanan biksu Yijing (I Tsing) dari China yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 Masehi dan bukti lainnya berupa prasasti Kedukan Bukit yang bertarik tahun 682 Masehi, diketahui bahwa agama Buddha sudah berkembang pesat di abad ke-7. Jadi jelas bahwa pernyataan “agama Buddha masuk ke Indonesia pada periode kerajaan Sriwijaya di abad ke-8” sekali lagi keliru.

Lalu apa yang bisa dilakukan sekarang?

Buku tersebut perlu segera ditarik dan direvisi, itu sudah jelas. Selain itu, saya juga mengimbau agar Kemendikbudristek benar-benar menjalankan mandatnya secara serius dan teliti, tidak bias, dan benar-benar memahami bahwa bangsa Indonesia sangatlah kompleks dan sudah jelas sangat heterogen. Bahkan dalam buku yang penuh polemik ini, telah didedikasikan satu bab khusus untuk berbicara tentang kebhinekaan Indonesia. Hanya saja sungguh disayangkan justru di dalam bab tersebut lah banyak terkandung materi-materi yang kurang akurat dan malah memicu polemik.

Saya sepakat dengan saran yang juga disampaikan oleh sahabat-sahabat Kristen dan Katolik bahwasanya adalah lebih baik jika otoritas-otoritas yang berkualifikasi terkait materi keagamaan dilibatkan dalam menggodok topik-topik terkait dalam kurikulum pendidikan. Adalah tidak bijak jika sampai materi-materi pendidikan yang akan dilahap oleh seluruh generasi penerus bangsa kita malah tidak melalui proses kurasi yang baik.

Bhadra Ruci, biksu
Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia (SAGIN)
Sekretaris Jenderal Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI)
Kepala Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya