Satukan Hati, Satukan Bakti: Pesan Suhu untuk Maha Pranidhana Puja

  • December 8, 2013

“Tiada jaminan setelah meninggal kita tidak akan terlahir di alam rendah,” Je Rinpoche bersabda. Andai mau lebih berterus terang lagi pada diri sendiri, sangat mungkin yang terjamin justru adalah kelahiran kita di alam rendah. Alasannya? Spontan berbuat karma buruk, tidak melakukan karma baik, buat pun sebatas abu-abu–setengah baik setengah buruk. Dengan demikian, kita harus mendorong diri sendiri agar tidak berakhir dengan tragis–terlahir di neraka maupun kelahiran rendah lainnya.

Setelah hampir sepenuhnya terdistraksi oleh materi indrawi dan segala yang duniawi, membuat kita tak ada waktu untuk mengurusi batin. Adalah sangat mendesak sekarang kita berikan perhatian padanya. Karena sungguh musibah, setelah terlahir sebagai manusia, bertemu guru spiritual, bertemu ajaran Lamrim, kita malah hancur-lebur di neraka. Kita seharusnya membangkitkan urgensi serupa kisah di balik upacara pertobatan Kaisar Liang.

Di Cina, Kaisar Liang Wudi (502-549) adalah seorang raja yang baik dan bijak. Ia melakukan praktik purifikasi untuk menolong permaisuri tercintanya yang terlahir kembali sebagai ular. Terdorong keinginan kuat menolong sang ratu, ditambah keyakinannya pada Triratna, Kaisar Wudi meminta petunjuk dari Biksu Bao Zhi tentang cara mengakhiri penderitaan mendiang istrinya. Biksu Bao Zhi lalu mengumpulkan anggota Sangha senior dan menyusun Sutra untuk praktik purifikasi setebal sepuluh bab.

Kaisar Wudi lalu mempraktikkan ritual pertobatan dengan sepenuh hati. Alhasil, permaisuri bisa terlahir kembali di alam surgawi. Sutra ini pun menjadi praktik tahunan untuk dilafalkan di banyak biara buddhis. Ini merupakan salah satu praktik purifikasi utama dalam buddhisme yang diberi nama sesuai kaisar penginspirasinya, Liang Wudi.

Terkait kisah di atas, kita dapat merenungkan bahwa seharusnyalah kita berlaku seperti Kaisar Wudi, berkeinginan menolong orang lain dan di sisi lain, kita juga seharusnya berkaca bahwa nasib kita sangatlah mirip dengan sang permaisuri. Yaitu, kita memiliki banyak karma buruk dan tak bisa lolos dari kelahiran alam rendah. Bahkan, sebentar lagi akan mengalami nasib terlahir di alam neraka yang paling rendah. Tak ada lagi waktu paling tepat untuk mengubah nasib hidup kita kecuali sekarang ini, saat ini juga, di sini!

Dalam Maha Pranidhana Puja, kurang lebih seminggu, mari kita melatih batin bersama-sama. Kita himpun karma baik bersama-sama. Tingkatkan yang sudah ada dan purifikasi karma buruk bersama-sama. Tujuannya untuk membawa perubahan dalam batin kita, perubahan yang nyata menyongsong tahun yang baru dan lembaran kehidupan yang baru.

Perubahan seperti apa? Paling tidak, kita bisa membawa batin kita agar lebih tertarik pada kehidupan mendatang untuk menjamin kita terhindar dari alam rendah dan sebaliknya beroleh kebahagiaan. Lebih baik lagi, jika kemudian kita bisa beraspirasi untuk bebas dari samsara. Dan tentunya, yang terbaik dari semua, setelah kita paham penderitaan kita sendiri, memahami semua makhluk juga menderita sama halnya dengan kita sendiri, sehingga tak tertahankan lagi upaya untuk mencapai Kebuddhaan lengkap sempurna.
Dengan cara seperti ini barulah tepat dikatakan kita melakukan puja, yaitu menyenangkan hati Para Guru dan Triratna, yang kepada mereka kita peruntukkan puja ini. Mereka bersukacita melihat kita sedang berjalan ke arah yang bahagia, menuju happy ending.

Pertama-tama kita purifikasi ketidakbajikan dengan terlebih dahulu melaksanakan praktik Kaisar Wudi, yaitu beberapa hari pertama melakukan puja Liang Huang Bao Chan, ritual pertobatan Kaisar Liang. Setelahnya, kita melakukan puja kepada Arya Tara dan Keenam-belas Arahat. Berikutnya, kita melakukan pelafalan Abhisamaya-alangkara.

Abhisamaya-alangkara adalah sebuah kitab luar biasa dan sangat poluler di zaman Sriwijaya. Kitab ini senantiasa menjadi acuan yang dipelajari oleh semua sarjana buddhis di Nalanda dan sekarang di semua sekte Buddhisme Tibet. Ketika para anggota Sangha Kadam Choeling Indonesia melantunkan kitab ini pada saat Rinpoche datang ke Indonesia tahun 2012 yang lalu, Beliau spontan mengatakan “Akhirnya, setelah sekian lama, kitab ini dilantunkan oleh orang Indonesia di negerinya sendiri.” Bisa dibayangkan betapa bahagianya kita semua, Rinpoche terutama. Setelah bekerja keras selama 25 tahun, akhirnya kitab akar Lamrim ini dilafalkan di negeri yang dulunya setiap orang bisa mendengar lantunannya di setiap pelosok nusantara.

Akhir kata, semua niat baik kita, semua upaya kita untuk menghimpun karma baik, mempurifikasi karma buruk, berikut rasa bakti kita terhadap Guru Spiritual dan Triratna–semuanya ini kita kumpulkan, padukan, dan kombinasikan menjadi satu. Kita dedikasikan untuk Yang Mulia Dagpo Lama Rinpoche, yang sudah 25 tahun merawat kita di Indonesia. Sekali lagi, seperti yang saya uraikan di atas, rasa urgensi, rasa mendesak dan terdesak oleh ketakutan akan karma buruk dan ketakutan akan kejatuhan ke salah satu alam rendah ini harus bisa menjadi sebuah motivasi yang mendorong batin kita untuk merampungkan aktivitas luar biasa ini. Dengan semangat inilah kita bisa mengirimkan doa dan dedikasi kita, agar para Buddha mendengarkan niat tulus kita, membantu menwujudkan harapan kita, dan menjaga setiap nafas kita.

Semoga Guru kita yang teramat baik, Dagpo Rinpoche, berumur panjang. Semoga karya Yang Mulia senantiasa lestari. Semoga dalam setiap kehidupan kita tidak pernah terpisahkan dari Yang Mulia Guru nan Jaya. Semoga setiap insan Indonesia dapat mempelajari dan mengandalkan Lamrim menuju Kebahagian Tertinggi.

Bandung, 8 Desember 2013
Bhadra Ruci

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *